Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kurikulum baru: beban bagi guru

Keputusan baru kurikulum 84, memberi penegasan tentang sistem kredit dengan penambahan satu program ialah ilmu-ilmu agama. Pekerjaan rumah terasa menambah beban guru. (pdk)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir satu semester Kurikulum SMA 1984 berjalan. Tiba-tiba muncul keputusan Menteri P & K 25 Oktober lalu. Kurikulum baru akan diubah lagi? Alhamdulillah, tidak. Justru keputusan yang baru itu memberi penegasan tentang sistem kredit di SMA vano kini tak laoi terkotak-kotak menjadi jurusan itu. Ketentuan bobot mata pelajaran, yang dulu diukur dengan jumlah jam pelajaran, kini dinyatakan dengan jumlah kredit. Dengan itu hendak dijamin, "Asas keluwesan Kurikulum 1984," kata Conny Semiawan dari BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) Departemen P & K. Maksud Conny, yang Senin pekan ini dilantik menjadi rektor IKIP Negeri Jakarta (Lihat: Album), "Dijamin siswa mendapatkan program pelajaran sesuai dengan minat dan bakatnya." Seperti diketahui, sebagai ganti jurusan di SMA, Kurikulum 1984 yang tahun ini baru diberlakukan untuk kelas I SMA menawarkan paket program pilihan. Ada empat program: Ilmu-Ilmu Fisik, Biologi, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Pengetahuan Budaya. Lewat keputusan Menteri P & K 25 Oktober, ditambah satu program lagi, Ilmu-Ilmu Agama. Program itu dipilih ketika siswa naik ke kelas II. Sementara itu, ada yang disebut program inti - dan ini harus diikuti semua siswa tanpa kecuali, dari kelas I sampai dengan III. Selain soal keluwesan itu, yang lebih penting yakni adanya kontrol terhadap hasil belajar siswa. Dengan sistem kredit, kenaikan kelas tak lagi asal naik. Siswa boleh naik, tapi bila ada angka di bawah enam untuk beberapa mata pelajaran, ia harus mengikuti program perbaikan untuk mata pelajaran tersebut. Bahkan, ketentuan ini pun berlaku dalam pergantian semester. Angka di bawah enam dalam semester pertama, misalnya, harus diperbaiki, sementara si siswa terus pula mengikuti pelajaran di semester kedua. Yang juga baru dalam Kurikulum 1984, nilai rapor tak hanya dari kelas. "Sebab, satu kredit berarti satu jam pelajaran tatap muka, ditambah setengah jam tugas atau pekerjaan rumah," tutur Padidi, kepala SMAN I Jakarta. Jadi, "Nilai kredit tak hanya ditentukan hasil ulangan dalam kelas, tapi juga nilai PR," kata Pater Drost, kepala SMA Kanisius Jakarta. Maka, kedua kepala SMA itu - dua-duanya dari SMA favorit dan dikenal para gurunya suka memberikan PR - mengakui, "Sistem ini baik untuk siswa, tapi menambah beban guru." Dulu, PR (pekerjaan rumah) sunah hukumnya, sekarang wajib. "Dalam rapat, teman-teman uru sering mengeluh, beban bertambah, tapi kesejahteraan tidak," kata Padidi, tersenyum. Karena itu, ada yang membuat Padidi khawatir. Yakni "Untuk meringankan kerjanya, guna memanipulasikan pekerjaan rumah siswanya." Lebih dari Kurikulum 1975, kurikulum baru memberikan tanggung jawab menentukan kenaikan kelas siswa pada tiap guru. "Dulu, hal ini ditentukan bersama dalam rapat," tambah Padidi. Dengan kata lain, seperti dikatakan Conny Semiawan, Kurikulum 1984, "Menuntut guru benar-benar menguasai profesinya, dan mengikuti perkembangan muridnya." "Memang, tugas saya sekarang lebih banyak," kata Syahrul Djabar, 38, guru Fisika SMAN I Jakarta. Untuk menjelaskan teori-teori, tak ada masalah. Tapi untuk membahas soal, misalnya membahas hasil PR anak-anak, tak ada lagi waktu." Maksud Syahrul, baginya memeriksa PR para siswa gampang. Tapi mendapatkan waktu guna menjelaskan kesalahan-kesalahan PR itu yang sulit. "Jadi, saya ragu apakah anak-anak menangkap pelajaran sepenuhnya atau belum," tambahnya. Itu semua berarti, kurikulum baru, "Menuntut guru untuk lebih banyak meluangkan waktunya di satu sekolah," kata Padidi. "Tapi kalau melulu di satu sekolah, bisa-bisa dapur mereka tak berasap." Menyadari dua hal itu, Padidi hanya bisa mengimbau, agar teman-teman gurunya pandai-pandai mengatur waktu. Ia tak menyembunyikan bahwa sejumlah guru SMAN I merangkap di SMA swasta. Itu di SMA Negeri yang mempunyai 87 guru tetap dan 24 guru tidak tetap, untuk hampir 2.900 siswa. Maka, bisa dimaklumi bila SMA Muhammadiyah V, Yogyakarta "Masih bingung melaksanakan Kurikulum 1984," kata Hadiefah Zuharon, kepala SMA Muhammadiyah itu. Untuk sekitar 500 siswa SMA ini, hanya tersedia 4 guru tetap plus 36 guru tidak tetap. Agaknya, kurikulum baru benar-benar menuntut guru jadi "pahlawan tanpa tanda jasa". Tapi, apa kata para siswa SMA itu sendiri? "Rasanya, kurikulum yang dulu lebih berat dibandingkan yang sekarang," kata Ronnie Soeadji, 17, siswa kelas I SMAN I Jakarta. Ronnie, tentu saja, bisa membandingkan kedua kurikulum, karena tahun lalu ia tinggal kelas. Ronnie kini merasa lebih ringan bukan karena ia tinggal kelas - karena itu ia hanya mengulang. Bukan pula karena jumlah mata pelajaran kini lebih sedikit (dulu 14 mata pelajaran, dalam Kurikulum 1984 pun 14). Bahkan pekerjaan rumah, "Sekarang sedikit lebih banyak," kata anak berkaca mata ini. Jadi? "Rasanya, kini pelajaran lebih cepat habis, tapi lebih mudah dimengerti," jawab Ronnie. Siswa ini, yang kadang-kadang di jam istirahat sekolah merokok, merasa bahwa kini guru hanya menguraikan hal-hal pokok, kemudian memberikan PR yang harus dikerjakan siswa di rumah. "Kata guru, sekarang kami harus lebih banyak belajar sendiri," ujar Ronnie. Tapi, mungkin, dengan cara "belajar sendiri" dan banyak mengerjakan PR inilah Ronnie lebih memahami materi pelajaran. Dulu, "Waktu di kelas hanya habis untuk mencatat." Menurut Harsja Bachtiar, kepala BP3K Departemen P & K, kurikulum baru, "Memang menyederhanakan pembagian jam pelajaran." Maksudnya, kepada guru dianjurkan hanya membahas pokok-pokok pelajaran yang penting. Yang kira-kira bisa dipelajari sendiri oleh siswa tak perlu dibahas lagi. Untuk sementara, pemilihan materi yang akan dibahas diserahkan kepada para guru sendiri. "Kini kami sedang menyusun silabus secara terperinci," kata Harsja pula. Tampaknya kurikulum baru memang, "Bukan harapan kosong," kata Pater Drost. "Kalau sistem ini jalan, bukan cuma mutu anak meningkat, tapi juga kualitas dunia pendidikan kita itu sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus