PENIPUAN di Akademi Pelayaran Niaga Maluku (APNM) dan Sekolah Pelayaran Menengah (SPM) Ambon baru sekarang terungkap. Setelah dipungut berbagai biaya sampai ratusan ribu rupiah per orang tiap tahun, para taruna dan siswa hampir tak pernah mendapatkan pelajaran di perguruan itu. Hanya pada hari-hari pertama mereka memperoleh kesibukan di kampus yang nebeng di gedung SD Negeri Tawiri, Ambon. Setelah itu, hampir tak pernah ada dosen dan pengajar muncul. Yang mengurus administrasi pun tidak ada, sehingga segala urusan diselesaikan di rumah direktur, Frans Everthardus Amanupunyo, 54. Sebanyak 63 taruna tahun ajaran 1983/1984, yang berasal dari beberapa daerah di Irian Jaya, akhirnya melaporkan ketidakberesan itu kepada yang berwajib. Kejaksaan Tinggi Maluku pun turun tangan dan sang direktur, yang juga dikenal sebagai pengacara senior dan pejabat Kanwil Departemen P & K di Ambon, kini ditahan."Ditemukan indikasi dan bukti-bukti kuat bahwa ia telah melakukan penipuan. Paling tidak, ia telah melakukan penggelapan sejumlah uang," kata sebuah sumber kepada James R. Lapian dari TEMPO pekan lalu. Laporan para taruna APNM dan SPM dikirimkan 3 September lalu kepada gubernur Maluku serta beberapa pejabat lain, dengan tembusan kepada beberapa menteri dan pejabat di Jakarta. Dalam laporan itu para taruna dan siswa, yang antara lain datang dari Jayapura, Fak-Fak, Manokwari, Biak, dan Merauke, menyatakan bahwa mereka merasa dipermainkan dan dirugikan Frans. Tahun lalu mereka mendaftar ke APNM atau SPM karena tertarik oleh selebaran dan iklan yang disiarkan RRI setempat. Adanya komisariat yang ditunjuk di kota tempat tinggal mereka menambah keyakinan bahwa lembaga pendidikan itu bukan sekadar papan nama. Para tamatan SMP dan SMA itu umumnya juga tertarik pergi ke Ambon karena janji akan diasramakan dan mendapatkan fasilitas komplet. Mereka lalu mendaftar dan menjalani tes. Taruna SPM Polince Wona, misalnya, mengikuti testing di kantor Syahbandar, Jayapura, yang diadakan oleh komisariat. Sedangkan Saul Herietringgi, taruna APNM, dan beberapa kawannya mengikuti tes lewat komisariat Fak-Fak. "Ketika itu, 1983, yang menjadi komisaris Pendeta T. Toisuta," kata Saul. Setelah dinyatakan lulus, para calon taruna segera ditarik pungutan. Antara lain uang pangkal, uang pakaian, SPP, dan uang asrama yang besarnya sekitar Rp 245 ribu per orang. Dengan semangat tinggi, para pemuda dan pemudi pencinta bahari itu sekitar Agustus 1983 berangkat menuju Ambon. Setiba mereka di Ambon, yang digembar-gemborkan dalam pamflet atau radio ternyata hanya omong kosong. Yang disebut kampus ternyata hanya sebuah bangunan SD. Sedangkan asrama, yang dikatakan berfasilitas lengkap, tak lain rumah kontrakan sempit berdinding papan yang terletak di Wainitu, Belakang Soya, dan Batumerah. "Asrama" tersebut sama sekali tak memenuhi syarat. Yang di Batumerah, misalnya, hanya berukuran 3 m x 3 m untuk 11 orang penghuni. Pangdam Pattimura Brigjen H. Simanjuntak, yang meninjau lokasi asrama setelah para taruna mengirim surat pengaduan, sampai geleng kepala melihatnya. Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, B.A.S. Tobing, pun ikut terheran-heran. "Mereka harus tidur berdesakan, pria dan wanita. Untung saja, mereka anak-anak muda yang taat, sehingga tidak terjadi kumpul kebo," kata Tobing kepada TEMPO. Yang telah menjadi korban tampaknya tak hanya 63 pemuda-pemudi dari Irian Jaya itu. Sebab, SPM diketahui dikelola Frans sejak tahun 1977, sedangkan APNM didirikan setahun kemudian, 1978. Saat mendirikan lembaga pendidikan tersebut, kata sebuah sumber, Frans memang pernah memohon kepada Ditjen (Direktorat Jenderal) Perhubungan Laut, agar SPM dan APNM bisa didaftarkan di instansi itu. Tapi Kanwil Ditjen Perla Maluku lalu meneruskan surat permohonan tadi ke Jakarta. Meski belum mendapat izin sampai sekarang, Frans telah menggebu-gebu mencari siswa dan mahasiswa. Menurut pengakuan Frans sendiri, sejak berdirinya tercatat sudah 122 taruna SPM dan 106 mahasiswa APNM. Dari mereka itu diperkirakan Frans telah menangguk uang Rp 42 juta. Yaitu, dari para siswa SPM hampir Rp 24 juta dan dari taruna APNM Rp 18 juta. Mulanya, menurut sumber itu, taruna yang tertarik oleh bujukan Frans berasal dari sekitar Ambon. Pemuda dari daerah lain, seperti Ujungpandang dan Pulau Buton, kemudian menyusul berdatangan. Adapun pemuda asal Irian Jaya baru mulai digarap tahun 1981, karena rupanya pemuda dari daerah lain sudah mulai mencium ketidakberesan perguruan itu. Tapi pada tahun pertama, lembaga pendidikan itu kabarnya sempat menyelenggarakan pendidikan secara agak wajar. Meski tak setiap hari, para pengajar masih sering muncul. Pada tahun-tahun berikutnya, para taruna hanya dijadikan semacam obyekan. Yang masih suka muncul hanyalah Frans untuk memberi pelajaran Hukum Laut, PMP, atau IPS. Lucunya. meski mata pelajarannya berbeda, Frans selalu memberikan materi yang sama. "Dia bercerita tentang tenggelamnya kapal Tampomas atau tenggelamnya kapal Titanic. Itu saja terus yang diulang-ulang," kata Saul. TENTU saja, karena dia rupanya memang tak menguasai ilmu tentang kelautan. Meski begitu, Frans tak mau dianggap telah menipu. Diakui bahwa dosen dan para pengajar tidak aktif. Tapi, katanya, ketika diperiksa, hal itu karena para taruna sudah selesai mengikuti pendidikan atau bisa belajar sendiri. Tentang asrama, menurut Frans, ia memang hanya menyediakan rumah sewa. "Apakah rumah itu memenuhi persyaratan atau tidak, itu urusan mereka sendiri dan di luar tanggung jawab saya," katanya. Urusannya atau bukan, dalam waktu dekat ini ia akan diajukan ke pengadilan. Dan sidang tampaknya bakal ramai juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini