SEHARUSNYA, pada 29 Agustus lalu, Sersan Kepala Bambang Sumarno berulang tahun yang ke-36. Tapi ia tewas tiga hari sebelum ulang tahunnya. Almarhum meninggalkan seorang istri dan dua anak yang masih kecil. Pangkatnya dinaikkan menjadi sersan mayor anumerta. Bambang lulusan Sekolah Bintara di Lido, Sukabumi, tahun 1982. Ia dikenal ramah, tinggal di asrama polisi Munjul, Jakarta. Perabot rumahnya sangat sederhana, bahkan televisi pun ia tak punya. Istrinya jualan gulai dan kue. Dalam tahun ini, selain Bambang, ada enam polisi gugur dalam tugas. Misalnya Mayor Sanusi, Wakapolres Tegal. Ia tewas dikeroyok beberapa pemuda yang ditegurnya karena mabuk-mabukan saat Idul Adha, Juni lalu. Di bulan Juni pula, Sersan Satu Herman tewas ditusuk saat melerai perkelahian pemuda di depan apotek di Manado. Kopral Datuk juga tewas dikeroyok berandal di Stasiun Poncol, Semarang. Kopral Satu Harmaini malah tewas di Pos Jaga Peranap, Riau. Di Majalengka, Jawa Barat, Sersan Kepala Sri Ayem juga gugur dalam tugas, saat menggerebek pengikut Abdul Manan. Kasus yang dikenal dengan sebutan Haur Koneng ini juga menewaskan pengikut aliran itu. Yang lebih mengenaskan nasib Kopral Satu Suyatno. Ia ditembak seorang sopir bus. Akhir Agustus lalu, sopir bus Jaya Raya menabrak hingga mati dua wanita di Maospati, Magetan. Yatno, atas perintah atasannya, membawa sopir itu ke Polres Magetan, untuk menghindari amukan massa. Sopir yang dibonceng motor itu tanpa diborgol mengambil pistol di pinggang Yatno, lalu menembak dada korban. Banyaknya polisi tewas terutama setelah terbunuhnya Bambang Sumarno membuat Kapolda Metro Jaya, Mayor Jenderal Moch. Hindarto, prihatin. ''Petugas yang pergi ke lapangan nanti harus dua orang, tidak boleh sendiri-sendiri lagi,'' katanya. Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini