MACAN pengadilan ini, Pengacara Soemarno P. Wirjanto, bertubi-tubi diketuk palu hakim. Setelah dikalahkan dalam perkara perdata, sehingga rumah tempat tinggalnya yang juga kantor LBH Solo harus dilelang, pekan lalu ia divonis pula dalam perkara pidana: dihukum 6 bulan penjara. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Solo, yang diketuai Sucipto, menganggapnya terbukti mencoba menjual tanah oranglain. Itulah perkara yang dikenal sebagai Kasus Tanah Sontohartanan. Persidangan Soemarno itu menjadi lebih menarik karena sebelum majelis membacakan vonis, kedua pengacaranya, J.C. Soedjami dan Yazis Wijayakusuma, meminta hakim menunda sidang. "Sebab, kasus ini ternyata lebih cocok diadili di peradilan profesi," ujar pengacara itu. Tapi permohonan itu ditolak hakim. Setelah berdebat sebentar dan sidang ditunda sekitar lima menit, kedua pengacara itu akhirnya memilih meninggalkan sidang, karena tuntutannya tidak dipenuhi. Begitu pula Soemarno. "Saya juga minta izin meninggalkan sidang," katanya. Vonis tetap jatuh walau hanya dihadiri jaksa dan pengunjung. Kasus Tanah Sontohartanan itu bermula dari sengketa tanah warisan Nyonya Sontohartono. Warisan berupa tanah seluas 1.753 m2 di Jalan Achmad Dahlan Solo, itu semula, 1963, telah dihibahkan Almarhumah kepada Muhammadiyah. Sejak 1910, di atas tanah itu memang sudah berdiri berbagai bangunan milik Muhammadiyah, seperti masjid, sekolah, dan asrama perawat. Pada 1967, selaku ketua ahli waris, Soemarno mendapat info "menarik" dari anak angkat Almarhumah, Haji Muhtarom: seorang pedagang Bandi Soetono berniat membeli tanah itu Rp 800 ribu. Tidak hanya itu: setelah jual beli tanah itu akan disumbangkan kembali kepada Muhammadiyah. Kendati tawaran itu aneh, Soemarno setuju. Pada 19 September 1967, melalui perantara Muhtarom, jual beli itu terlaksana di depan notaris. Sebagian uangnya, Rp 600 ribu, menurut Soemarno, diserahkan kepada ahli waris yang membutuhkan dan sisanya disumbangkan kepada Muhammadiyah. "Saya sendiri tidak menerima sepeser pun," kata Soemarno. Buntut jual beli itu ternyata menjerat Soemarno: Bandi menuntut tanah itu menjadi miliknya. Ketegangan sempat terjadi antara Bandi, kini lurah di Klaten, dan Muhammadiyah. Tawaran Muhammadiyah, berupa pengembahan uang serta ganti rugi Rp 200 ribu, ditolak yang bersangkutan. "Sebab, saya sudah susah payah mengumpulkan uang untuk membeli tanah itu," kata Bandi, yang konon berniat menjual tanah itu kepada seorang pengusaha. (TEMPO, 21 Juni 1986). Bandi lalu memperkarakan Soemarno -- baik secara perdata maupun pidana. Atas instruksi Mahkamah Agung, perkara pidana ditunda penyidangannya, sampai perkara perdata selesai diputus dan mempunyai kekuatan hukum. Pada 1983, Mahkamah Agung memutuskan perjanjian jual beli antara Bandi dan Soemarno batal, dan karena itu tanah dikembalikan kepada Muhammadiyah. Tapi Soemarno harus mengembalikan uang harga tanah itu Rp 800 ribu berikut ganti rugi Rp 150 juta. Berdasarkan itu, 1985, Pengadilan Negeri Solo memutuskan melelang rumah Soemarno yang juga kantor LBH. Untunglah, eksekusi bisa ditunda Mahkamah Agung, setelah Soemarno berkirim surat sampai ke Presiden meminta peninjauan kembali keputusan peradilan tertinggi itu. Tapi, dengan selesainya perkara perdata itu, Soemarno menghadapi tuduhan pidana: menjual tanah milik orang lain. Jaksa Sakiri, berdasarkan tuduhan itu, menuntut Soemarno dengan hukuman satu tahun penjara. Tapi majelis berkeyakinan bahwa Soemarno hanya terbukti mencoba menjual tanah milik orang lain dan karena itu mengganjarnya dengan hukuman 6 bulan penjara. Wewenang majelis itulah yang kini dipertanyakan Soemarno. "Saya tidak bersedia mendengarkan vonis hari ini. Saya meminta persoalan ini diperiksa lebih dulu oleh peradilan profesi, seperti yang ditempuh peradilan dalam perkara yang menyangkut dokter," ujar Soemarno. Menurut dia, semua perbuatannya dalam perkara Sontohartanan dilakukannya dalam kualitasnya sebagai pengacara, seperti juga kasus dr. Setyaningrum dan dr. Anida. Dokter Setyaningrum, misalnya, terkena perkara gara-gara seorang pasiennya meninggal setelah disuntiknya dengan obat antibiotik. Tapi, belakangan, ia dibebaskan Mahkamah Agung karena IDI menganggap tindakan dokter wanita itu masih dalam batas kewajaran. Rekannya, Dokter Anida, bahkan tidak diadili, walau ia diadukan gagal mengoperasi anak kecil yang menyebabkan kematian pasiennya itu. Perkaranya dihentikan setelah peradilan kode etik kedokteran menyatakan bahwa tindakannya benar. "Saya ingin diperlakukan seperti dokterdokter itu. Sebab, yang saya lakukan dalam perkara Sontohartanan adalah semacam taktik advokat agar wasiat Almarhumah bisa dilaksanakan: tanah itu menjadi milik Muhammadiyah," katanya. Soemarno mengaku bahwa akta jual beli dengan Bandi itu dibuat dalam rangka melaksanakan taktiknya itu. Tapi dalih Soemarno itu tidak diterima majelis hakim. Dalam vonisnya, majelis mengatakan, "Yang kami adili adalah Soemarno sebagai pribadi -- selaku ketua ahli waris Sontohartanan -- dan bukan dalam kedudukannya sebagai advokat." Seorang anggota majelis mengatakan kepada TEMPO, perbuatan Soemarno itu jelas-jelas dilakukannya bukan sebagai advokat. "Lihat, semua surat Soemarno memakai kepala surat sekretariat ahli waris -- bukan kop surat advokat," kata hakim itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini