Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Namanya Juga Cuma Patokan

Ardiono tertuduh perkara narkotik hanya divonis satu tahun di malang. menurut hakim, ia hanya terbukti sebagai pengisap, itu pun karena dibujuk polisi. di yogya, a. fahmi, tertuduh narkotik, dibebaskan. (hk)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDATI hukuman buat penjahat narkotik sudah "dipatok" Mahkamah Agung -- agar dijatuhkan hukuman maksimal -- toh yang namanya vonis akhirnya terpulang juga kepada keyakinan dan rasa keadilan hakim. Pengadilan Negeri Malang, misalnya, dua pekan lalu hanya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara terhadap seorang mahasiswa, Ardiono, yang dituntut jaksa dengan hukuman 15 tahun penjara karena kasus narkotik. Sebelumnya Pengadilan Tinggi Yogyakarta, malah, berani membebaskan seorang remaja, A. Fahmi, yang divonis peradilan bawahan dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara karena terbukti mengisap ganja. Hakim memang mempunyai kebebasan memutuskan perkara: tidak perlu peduli dengan segala macam patokan. Namun, vonis-vonis di atas mengecewakan pihak kejaksaan yang membawa kasus itu ke pengadilan. Nyonya Anita, yang semula menuntut Ardiono dengan hukuman berat kontan banding atas vonis hakim. "Untuk memberantas narkotik, kami -- selaku wakil negara -- harus memberikan hukuman yang setinggi-tingginya," kata Anita, pekan lalu. Lebih keras lagi Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, H.R. Djoko Moeljo, menanggapi vonis bebas Fahmi tersebut. "Tidak saja kejaksaan, tapi juga masyarakat terkejut dengan vonis bebas itu," ujarnya kepada wartawan, awal Juli lalu. Ia menduga ada apa-apa di balik vonis narkotik yang sering ringan. "Kalau pengedar narkotik atau pemakainya -- yang lebih dari satu kali melakukan -- ternyata dihukum ringan patut dipertanyakan latar belakangnya," ujar Djoko Moeljo. Tapi hakim memang tidak harus selalu sependapat dengan jaksa. Apalagi kalau perkara narkotik itu bisa sampai ke meja hijau dengan cara seperti cerita di bawah ini. Pertengahan Januari lalu, seorang reserse menyamar, memasuki sebuah rumah di Jalan Cimandiri di Malang. Di rumah itu sudah ada tiga orang pemuda: Ardiono, Hariyanto, dan tuan rumah, Risko. Entah bagaimana mulanya, ketiga pemuda itu bersama "teman" barunya, hanyut oleh minuman keras. Di saat ketiga pemuda itu mabuk, konon, si polisi menawarkan sebatang rokok yang sudah ada "isi"-nya kepada Ardiono. Kedua temannya pun ikut-ikutan menikmati rokok itu. Semuanya tenggelam dimabuk ganja. Belum cukup sampai di situ drama yang disutradarai Polresta Malang itu. Ardiono disuruh membeli rokok di rumah Agung, seorang pengedar narkotik, di Jalan Narotama. Bersama Risko, dengan modal Rp 5.000 dari "kawan" barunya itu, Ardino membeli barang terlarang dari Agung. Lalu pulang. Tapi, beberapa menit kemudian, ketiga pemuda tadi bersama kawan barunya digerebek dan digiring ke Polresta. "Itu taktik polisi untuk menangkap penjahat," kata Kepala Polres Malang, Ferry St. Mailansun. Ardiono dan kawan-kawannya, kecuali tentu polisi tadi, diadili. Ia jelas bersalah: tertangkap basah mengisap ganja. Tapi, menurut keyakinan hakim, Ardiono hanyalah terbukti sebagai pengisap alias korban -- bukan sebagai pengedar. Karena itu, ia hanya mendapat vonis setahun penjara. "Vonis itu sudah melalui pertimbangan matang dan pengaruh siapa pun," ujar Hakim Djumirah Hasan Sutrisno, hakim anggota dalam perkara itu, yang juga Kepala Humas Pengadilan Negeri Malang. Putusan hakim itu memang dinilai berbagai pihak tepat. Sebab, bagaimanapun, Ardiono mengisap ganja gara-gara bujukan polisi. "Boleh jadi Ardiono bukan ganjais. Hanya saja, ketika disuruh membeli ganja itu, ia dalam keadaan mabuk," kata pembelanya, F.M. Valentina. Yang mungkin terasa kurang pas adalah vonis untuk kedua rekannya, Risko dan Hariyanto, yang ternyata berbeda. Mereka dihukum masing-masing empat tahun penjara. Cerita A. Fahmi di Yogya berbeda dengan Ardiono. Pemuda itu tertangkap, September lalu, ketika membeli ganja dari seorang pengedar, Hamdan, di Janti. Berdasarkan keterangan saksi, polisi dan petugas Kodim yang menangkap, Pengadilan Negeri Yogyakarta kemudian memvonis Fahmi 1 tahun 6 bulan penjara. Pengadilan tinggi ternyata tidak sependapat. Sebab, di dalam sidang Fahmi membantah terlibat dalam jual-beli barang terlarang itu. Ketika tertangkap, katanya, ia baru datang di rumah Hamdan. "Terdakwa berada di situ hanya kebetulan saja: tidak membawa ganja dan tidak terbukti pula akan membeli atau mengisap ganja," begitu bunyi putusan hakim banding. Enam orang saksi yang dihadirkan di sidang, para petugas yang menangkap Fahmi, menurut hakim bandmg, tidak mempunyai kualitas sebagai alat bukti. Sebab, tidak seorang pun yang melihat Fahmi membeli ganja dari Hamdan. Sebab itu, hakim membebaskan Fahmi dari tuduhan. Vonis-vonis di atas tentu saja tidak seirama dengan hukuman-hukuman berat yang dijatuhkan berbagai lembaga peradilan di Indonesia dalam perkara narkotik, akhir-akhir ini. Misalnya dengan vonis Mahkamah Agung terakhir, yang tetap menghukum penjara seumur hidup seorang pengedar narkotik Yan Abdul Munar, April lalu. Dan tentu saja vonis-vonis itu tidak sejalan dengan patokan hukuman yang digariskan Mahkamah Agung, dalam rapat kerjanya di Yogyakarta, Maret 1985: Ditetapkan bahwa terdakwa yang terlibat kejahatan narkotik harus mendapat hukuman maksimal. Tapi timbangan tetap di tangan hakim yang memegang palu vonis. Karni Ilyas Laporan: Yuyuk S. (Yogya) dan Slamet S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus