KEADAAN Paeran kini sangat memilukan. Ia berjalan tertatih-tatih dengan kaki mengangkang seperti beruang. Kedua kakinya remuk dan engselnya bergeser dari tempatnya. "Saya disiksa polisi, padahal bukan saya yang membunuh," kata Paeran, 38, di LP Labuhanbatu, Sumatera Utara. Ia bersama rekannya, Ponirin, telah enam tahun mendekam di LP itu. Pengadilan menganggap mereka terbukti membunuh tetangganya, Atmo, beserta anaknya, Sumarni. Belakangan, terungkap pembunuh sebenarnya: Nealsingh, seorang keturunan India. Di Pengadilan Rantau Prapat, Nealsingh mengaku sebagai pelaku pembunuhan itu, dan ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Selasa lalu, diantar direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Mulya Lubis, utusan LBH Medan, Syafruddin Kalo, menemui wakil ketua Mahkamah Agung, Purwoto Gandasubrata. LBH meminta Mahkamah Agung melakukan peninjauan kembali (herzienin) atas perkara itu, seperti yang pernah dilkukan untuk perkara Sengkon dan Karta. Sebab, "janggal sekali untuk kasus yang sama terdapat dua vonis dari peradilan," ujar Syafruddin selesai diterima Purwoto. Kasus itu bermula dari peristiwa pembunuhan keji terhadap Atmo dan Sumarni, dinihari, 10 Maret 1977. Atmo 45, ditemukan penduduk mati dengan penuh bekas pukulan. Sementara itu, putri Almarhum Sumarni, tewas dalam keadaan telanjang bulat. Belakangan, setelah diperiksa, Sumarni, 17, ternyata diperkosa sebelum dibunuh. Kecurigaan polisi tertuju kepada Ponirin dan Paeran. Sebab, kedua orang itu, pada malam sebelum kejadian, kelihatan bersama korban. Kebetulan pula, sebelum kejadian Atmo mendapat pekerjaan di peternakan milik Gurdial Singh - kakak sepupu Nealsingh - menggantikan kedudukan Paeran. Polisi sulit mengorek pengakuan Ponirin dan Paeran. Sebab itu, kata Paeran, mereka disiksa. Pada suatu hari, menurut Paeran kakinya dikerek ke atas sementara kepalanya dibenamkan ke bak air. "Waktu itu, saya terpaksa mengaku, walau sungguh saya tidak berbuat," tutur Paeran diselingi tangis, didampingi rekannya, Ponirin (TEMPO, 21 Agustus 1982). Pada November 1977, Ponirin dan Paeran dijatuhi hukuman, masing-masing 10 dan 7 tahun penjara. Keputusan itu kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Bahkan, di peradilan banding dan kasasi itu, hukuman kedua orang itu diperberat menjadi masing-masing 12 tahun penjara. Padahal, menurut direktur LBH Medan, Kamaluddin Lubis, baik dalam pemeriksaan polisi maupun pengadilan, banyak keanehan terlihat. Nealsingh, dalam perkara Ponirin dan Paeran, hanya diajukan sebagai saksi - walau ia mengaku ikut membunuh. Kamaluddin menduga pembunuhan itu diatur kakak sepupu Nealsingh, Gurdial, yang setelah kasus itu menjual peternakannya dan menghilang. Konon, menurut Kamaluddin, uang hasil penjualan peternakan itu digunakan untuk "menebus perkaranya". Barulah pada 1980, Nealsingh diadili, setelah melakukan pembunuhan lagi di Rantauprapat. Di Rantauprapat itu Nealsingh dijatuhi hukuman 10 tahun. Ia terbukti membunuh istrinya, yang dituduhnya berzina. Setelah itu, ia dihukum lagi 12 tahun karena terbukti membunuh Atmo dan Sumarni Tapi, sampai tiga tahun setelah perkara Nealsingh diputus, Ponirin dan Paeran tetap saja menjalani hukuman- tanpa ada petugas hukum yang hirau. Persoalan itu baru terungkap ketika LBH Medan mengunjungi mereka di LP Labuhanbatu, tahun lalu. Setelah yakin bahwa mereka tidak bersalah, LBH meminta herziening ke Mahkamah Agung. "Hasil. Kedua orang itu diizinkan dirawat di rumah sakit," ujar Syafruddin. Wakil ketua Mahkamah Agun, Purwoto, memang belum memastikan apakah proses herziening akan diberlakukan untuk Ponirin dan Paeran. "Kami akan mempelajari dulu kasus itu," ujar Purwoto kepada TEMPO. Kedua orang itu belum dibebaskan Mahkamah Agung. "Sebab, kalau nanti permohonan mereka ditolak, 'kan mereka tetap di LP," ujar Purwoto. Bagaimanapun, nasib Ponirin dan Paeran masih lebih baik dari Taliso Gea dan anaknya, Sodiaro Gea, yang juga diadukan nasibnya oleh Syafruddin kepada Purwoto. Kedua anak-beranak dari Pulau Nias itu kini tengah menjalani hukuman di LP Kotanopan, Tapanuli Selatan, masing-masing 6 tahun dan 4 tahun penjara. Keduanya, bersama Almarhum Arosokhi Gea- juga anak Taliso- dan Taliruddin diaanggap terbukti membunuh Tamajiso, sesama nelayan, pada 1980. Menurut Taliso, 48, ia terpaksa mengaku melakukan pembunuhan karena tidak tahan dipukuli polisi. Tapi Aroshoki, kata Taliso, tetap membantah. Karena itu, ia paling sering dipukuli. Akibatnya, beberapa bulan di tahanan, Aroshoki menderita batuk darah dan kemudian meninggal setelah dijatuhi hukuman. Belakangan, terungkap pembunuh yang sebenarnya: Taliruddin dan Buala Halawa. "Dulu, saya tidak berani mengaku karena takut pada Buala," ujar Taliruddin. Dan karena kasihan kepada keluarga Taliso, Taliruddin mengungkapkan cerita yang sebenarnya. Bahkan, ia membuat pernyataan bersegel di LP Kotanopan, November lalu, bahwa Taliso dan anak-anaknya tidak terlibat dalam pembunuhan itu. Meskipun demikian, pernyataan itu saja belum cukup untuk meminta herziening ke Mahkamah Agung. Sebab, pelaku sebenarnya, Buala, sampai kini belum diadili. "Kami belum cukup bukti untuk meyakinkan Mahkamah Agung," ujar Syafruddin. Sebab itu, untuk kasus Taliso, LBH Medan baru berkonsultasi dengan peradilan tertinggi itu. Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, tidak menutup kemungkinan terjadinya kekelirban pengadilan dalam memutus perkara. "Itu karena keterbatasan hakim sebagai manusia," katanya. "Waktu itu, bukti-bukti menguatkan putusan mereka itu," katanya. BOKS Sepekan di Sel Polisi SUDAH sering terjadi bahwa seseorang yang diduga berbuat jahat belakanga terbukti tidak bersalah. Namun, masih saja ada tersangka teraniayaa di tempat tahanam Rabu pekan lalu, misalnya, kantor PWI (Persatuan Wartan Indonsia) Padang ke datangan tamu istimewa: seorang lelaki lumpuh. Kepada para wartawan, Ielaki yang bernama Bisman itu menuturkan kisah sedihnya, disiksa polisi selama seminggu sehingga kakinya tidak berfungsi lagi Inilah kisahnya: Bisman Arif 35, sopir truk ditangkap polisi 14 Oktobcr lalu karena dituduh mencuri tekstil yang diangkutnya. Malam Minggu, keesokan hariny, ia mulai diperiksa enam anggota polisi Padang yang dipimpin kepala reserse, Edi Murdiono. Ia segera mengaku, "saya memang salah, Pak, dan saya bersedia dihukum," kata Bisman mengulangi pengakuannya di pemeriksaan itu. Tapi, rupanya, pengakuan itu tidak menyelamatkannya. Keenam polisi itu mengajukan pertanyaan beruntung dengan cepat sehingga pesakitan itu tergagap menjawabnya. Malapetaka itu pun dimulai: ia ditinju bergantian oleh keenam polisi itu. Setelah letih dan terkulai, ia dimasukkan kembali ke sel. Malam berikutnya, Bisman "diperiksa" lagi. Ia disuruh membuka baju. Seperti di adegan film, Bisman dicambuk dengan rotan. Kemudian seorang polisi lainnya menyuruh berdiri dan menghujani dengan tinju. Bukan hanya polisi, orang yang menitipkan tekstil padanya. Djamal, ikut pula mengirim bogem mentah. "Djamal memukul hidung saya hingga remuk," ujar Bisman sambil memegang hidungnya. Begitulah terjadi setiap malam- sampal seminggu. Suatu kali, ia disuruh jongkok. Sepotong kayu diselipkan di lipatan pahanya. Seorang polisi menginjak pangkal pahanya dan yang lain menginjak kayu. "Saya terjungkal," tutur Bisman. Dan pada kali lain, katanya, ia ditusuk dengan kabel-listrik pada pangkal telinganya. "Saya menjerit dan kemudian tidak sadar lagi." la baru sadar setelah tangan dan badannya disulut dengan api rokok. Sejak itu, Bisman tidak bisa lagi bergerak di selnya. Makan pun ia tak bisa lagi. Para pemeriksanya rupanya cemas. Bisman dibawa ke rumah sakit. Walau kesehatannya pulih, kakinya lumpuh. Mukjizat baru datang, ketika ada kabar bahwa Presiden akan berkunjung ke Padang. Disebut-sebut bahwa Kapolri akan datang Iebih dahulu. Pemeriksa, yang khawatir melihat keadaan Bisman, mengluarkan tahanan itu dan mengirimkannya ke negeri asalnya di Lubuksikaping, Kabupaten Agam, sekitar 160 km dari Padang. Keluara Bisman melapor kan kasus itu kepada Badan Bantuan Hukum Universitas Andalas. Berkat jaminan dari pengacranya P.H Aroeman, Bisman mendapat status tahanan rumah sejak 14 Desember. Setelah itu, Bisman membuat pengaduan atas perlakuan polisi itu ke Kapolri, Menhankam, Laksusda, dan Kapolrcs. Terakhir, ia mengadu kepada wartawan wartawan di PWI Padang itu . Benarkah cerita Bisman? Secara resmi, polisi belum memberi jawaban. Namun, atas pertanyaan wartawan, Kapolda Sumatera Barat Brigadir Tenderal Polisi Poedi Samsuddin membantah penyiksaan itu. "Tidak benar ada penyiksaan di tahanan. Yang benar, seorang tahanan mogok makan dan menderita sakit maag," ujar Samsuddin ketika berlangsung penandatanganan kerja sama PWI dengan Polda Sumatera Barat, 7 Desember lalu, sebelun Bisman mengadu ke PWI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini