MENJELANG kedatangan Perdana Menteri Zhao Ziyang di Washington, 10 Januari, tiga masalah klasik menunggu pemecahan. Yakni masalah-masalah Taiwan, perdagangan, dan teknologi - serta relevansi ketiga masalah tadi dengan politik domestik kedua negara besar itu. Sudah sejak akhir tahun silam, sekali lagi Cina memperlihatkan sikap kesal terhadap Amerika dalam urusan Taiwan. Malahan, ketika Ketua Partai Komunis Cina Hu Yaobang mengunjungi Tokyo, November tahun lalu, ia mengatakan bahwa boleh jadi rencana kunjungan Reagan ke Beijing, April mendatang, akan dibatalkan. Itu gara-gara munculnya sebuah resolusi Senat Amerika, 15 November 1983, yang dianggap RRC sebagai campur tangan "urusan dalam negeri" Cina. Resolusi itu mendukung hak Taiwan menentukan masa depannya tanpa mengindahkan tekanan Beijing. Tentu saja ada faktor lain - masalah penjualan senjata kepada Taiwan, misalnya. Tapi, yang membuat RRC selalu curiga pada Washington tak lain sikap pemerintah Reagan yang sangat bersahabat dengan Taipei. Bahkan, sejak Reagan berkampanye untuk jadi presiden tiga tahun yang silam, salah satu janjinya adalah "renormalisasi" hubungan dengan negara yang dicap haram itu. Hanya karena tekanan beberapa gelintir orang dalam administrasi Reagan-lah, penjualan senjata kepada Taiwan ditunda, dan hubungan Washington-Taipei masih tetap setengah resmi. Soal perdagangan pun tak kurang sensitifnya, terutama dalam hal tekstil. Dalam hal ini, Reagan telah terperangkap kebijak-sanaannya sendiri. Dia telah berjanji untuk melindungi industri tekstil Amerika, yang terpukul banjir tekstil dari luar yang lebih murah, dengan cara mengurangi impor. Tindakan proteksi ini, antara lain, memukul ekspor tekstil Cina. Bcijing membalasnya: secara drastis mengurangi pembelian hasil pertanian Amerika. Padahal, kepada para petani Amerika, Reagan telah menjanjikan bahwa mereka akan mengecap keuntungan dari pasaran Cina yang begitu luas. Suatu kompromi, bagaimanapun sukarnya, mesti dicari. Ada pengamat yang berpendapat, Zhao tak terlalu keras kepala dalam masalah ini. Itu disebabkan Cina sangat memerlukan teknologi tinggi Amerika- yang erat bertaut dengan program empat modernisasi, tema utama rezim yang berkuasa sekarang. Walau demikian, masalah teknologi tak akan mudah. Permintaan Beijing untuk membeli hasil teknologi maju Amerika sampai sekarang selalu ditolak. Pangkal penyebabnya adalah keberatan sementara tokoh di Pentagon, yang curiga bahwa penjualan komputer dan hasil teknologi semacam itu bisa membahayakan keamanan Amerika seridiri. Mereka tidak mcngesampingkan kemungkinan kembalinya Cina ke pangkuan Uni Soviet. Zhao pasti akan memprotes penundaan penjualan teknologi tinggi itu. Boleh jadi, faktor ini akan jadi satu-satunya tali pengikat Beijing-Washington, mengingat faktor-faktor lain sudah demikian mengecewakan Cina. Untuk menjaga dan memperkuat pertalian ini tak ada jalan lain bagi Reagan selain memberikan konsesi. Satu-satunya hal yang menempatkan Reagan dan Zhao pada posisi yang sama adalah ancaman Uni Sovict. Tapi di sini pun soalnya tidak sederhana. Sikap antikomunis pemerintahan Reagan, yang cenderung kembali ke pola perang dingin, telah menggoyahkan hubungan dengan Beijing. Dalam pada itu, di kalangan para ahli strategi Amerika ada anjuran untuk meninjau kembali hubungan strategis dengan Cina. Mereka umumnya mengkritik penmerintah sekarang yang kelewat tinggi menghargai "kartu Cina", dan menilai RRC bukan sebagai superpower. Antara lain karena punya senjata nuklir, Cina memang punya potensi jadi superpowcr, tapi masih memerlukan waktu. Karenanya dalam konflik dengan Uni Sovict, sebagai sekutu, RRC tak akan banyak gunanya. Di pihak Cina sendiri ada semacam kekecewaan. Beijing sudah jemu oleh sikap Amerika, yang baru menganggap penting hubungan dengan Cina bila hubungan dengan Moskow mcngalami keguncangan. Sementara itu, sejak akhir 1982, gagasan buat bersekutu dengan Amcrika untuk melawan Uni Soviet tidak lagi jadi tema utama kebijaksanaan Beijing. Propaganda Beijing sekarang diwarnai serangan terhadap sepak terjang "kaum hegemonis" Amerika dan Soviet. Dikatakan, usaha Uni Soviet buat menguasai dunia tidak tercapai. Di Afghanistan, kata Cina, Uni Soviet terpaku. Demikian pula di Timur Tengah dan di Asia. Propaganda akan kegagalan Moskow diimbangi dengan serangan terhadap kebijaksanaan Washington di Timur Tengah, Karibia, dan Amerika Latin. Karenanya, banyak pengamat Cina yang berpendapat bahwa politik luar negeri Beijing sekarang beralih ke "tengah" lagi, dan mendekati negara-negara Dunia Ketiga. Sikap Beijing terhadap Washington banyak hubungannya dengan perkembangan terakhir di negara satu bilyun manusia itu. Sejak dua bulan belakangan ini, Deng Xiaoping dan kawan-kawannya sedang mengadakan pembersihan. Kali ini yang jadi sasaran "pembetulan partai" (zhengdang) bukan saja anasir "kiri", tapi juga unsur "kanan". Babatan ke kanan itu ditujukan kepada yang dinamakan "pencemaran spiritual" - sebutan untuk pengaruh kebudayaan "dekaden" kapitalisme Barat. Ada pengamat yang mengatakan bahwa sabetan ke kanan, ditambah dengan peringatan hari lahir Mao ke-90 baru-baru ini, adalah untuk menetralisir golongan kiri dan ideolog. Mereka masih menaruh kecurigaan atas politik liberalisasi Deng. Buat Reagan, berita televisi, radio, dan surat kabar tentang baaimana ia diterima para pemimpin Cina bulan April mendatang akan merupakan keuntungan. la bisa mengeksploatirnya untuk kampanye pemilihan umum yang tak lama lagi. Buat Cina soalnya lain. Gambaran bagaimana Zhao Ziyang diterima dengan permadani merah di ibu kota negara biang kapitalisme itu akan merupakan tamparan. Apalagi kalau April nanti Deng, Hu, dan Zhao menerima gembong imperialis di Beijing. Kedua hal itu bisa Jadi bumerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini