Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Wadah Tunggal, Wadah Bebas?

Diskusi para advokat dengan menteri kehakiman, ali said, membahas masalah pembentukan wadah tunggal bagi para advokat. (hk)

25 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT malam pekan lalu deretan mobil sampai lewat tengah malam memenuhi halaman parkir rumah dinas Menteri Kehakiman Ali Said di Kompleks Pejabat Tinggi Negara, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Yang terjadi ternyata sarasehan (diskusi santai) para advokat - yang sudah sejak lama dibidani Ali Said. Omong-omong itu berlangsung di teras rumah. Ke-21 tamu yang hadir duduk membentuk lingkaran, sementara tuan rumah duduk di pojok hingga mudah dilihat segenap yang hadir. Ali Said tampaknya berusaha menciptakan suasana kekeluargaan. Namanya saja sarasehan, hingga yang diundang pun sebagai pribadi-pribadi - bukan mewakili organisasi. "Mereka pun saya undang atas nama pribadi saya," ujar Menteri. "Dan kami berbicara sehagai abang-adik, tanpa melihat siapa yang diwakili." Bukan hanya itu. Ali Said juga sengaja memilih tanggal 17, yang dianggap angka keramat, sebagai tanggal pertemuan. Dengan suasana santai kekeluargaan seperti itulah Menteri Kehakiman berusaha mempersatukan para advokat yang selama ini membentuk kelompok sendiri-sendiri. Menjelang tengah malam, peserta sarasehan, yang umumnya berbicara secara blakblakan dan demokratis, sepakat menyusun sebuak ikrar - yang ditulis dengan tangan Ali Said sendiri: Dengan rahmat Tuhan yang Mahakuasa, pada petang hari ini, hari Jumat, 17 Febrari 1984, kami para penandatangan ikrar ini berkesamaan pendapat akan perlunya dicipeakan suaeu lembaga yang mandiri dan yang mengemban misi luhur para advokat Indonesia untuk turut membangun dan membina hukum nasional serta mengembangkan profesi yang penuh integritas dalam keterikatannya dengan pembangunan bangsa dan negara. Semoga Tuhan yang Mahakuasa memberkati tekad kami untuk mewujudkannya. Ikrar itu ditandatangani oleh 21 advokat yang hadir, antara lain Boedi Soetrisno, R.O. Tambunan, Harjono Tjitrosubono, Maruli Simorangkir, Malikus Suparta, Amin Arjoso, Ny. Nurbani Jusuf, dan T. Mulya Lubis. Diputuskan pula membentuk kelompok perumus yang dipimpin (istilah Ali Said : tetua) Harjono Tjitrosubono dan Malikus Suparta, dibantu enam anggota dan dua pencatat: Amin Arjoso dan Duriat Raharjo. "Mereka bertugas merumuskan bentuk lembaga yang mandiri itu, anggaran dasarnya, anggaran rumah tangganya, kode etiknya,' kata Ali Said. Tapi itu tidak berarti secara otomatis lantas lembaga mandiri itu akan berdiri. Sebab, rumusan itu masih akan ditawarkan kepada "masyarakat advokat" - yang terdiri dan sekitar 40 organisasi. Gagasan membentuk wadah tunggal advokat itu menurut Menteri Kehakiman pernah dilontarkannya sekitar 1974. Peradin yang sudah berusia 20 tahun itu (didirikan di Solo) rupanya dinilai tidak cukup representatif mewakili segenap advokat. Meman nyatanya dari sekitar 800 advokat - yang diangkat oleh Menteri Kehakiman baru sekitar 600 yang menjadi anggota Peradin. Di antara para advokat di luar Peradin terdapat R.O. Tambunan, bekas anggota Komisi III DPR dari FKP yang membentuk organisasi sendiri, PusbaIhi (Pusat Bantuan Pengabdian Hukum Indonesia). Selain itu, ada beberapa anggota Peradin yang diskors atau dipecat - karena dianggap melanggar kode etik profesi advokat - ternyata masih bebas berpraktek. Misalnya Ny. Nurbani Jusuf, Amin Arjoso, atau Soenarto Soerodibroto. Juga Boedi Soetrisno, yang mengundurkan diri dari Peradin kemudian bahkan membentuk organisasi baru HPHI (Himpunan Penasihat Hukum Indonesia) dan kemudian juga Kesatuan Advokat Indonesia. Meskipun sangat populer, dan cukup berwibawa, sementara organisasinya rapi lengkap dengan kode etik profesinya - lagi pula banyak berjasa dalam menyediakan pembela dalam perkara-perkara subversi dan pidana, Peradin tidak diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya wadah advokat seperti halnya PWI untuk wartawan. Agaknya, karena merasa perlu segera dibentuknya wadah tunggal advokat itulah Menteri Kehakiman Ali Said lantas "menagih" Peradin - sesuai dengan anjurannya di depan kongres organisasi tadi dua tahun lalu di Bandung. Selasa 24 Januari lalu, DPP Peradin berembuk dengan Ali Said, yang sebelumnya (atau sesudahnya) tentu juga omong-omong dengan organisasi advokat yang lain. Dari tukar pikiran itulah lantas muncul undangan Ali Said kepada sejumlah advokat 17 Februari itu. Menurut Amin Arjoso, pencatat kelompok perumus, dalam sarasehan itu muncul beberapa pendapat mengenai bentuk lembaga yang mandiri itu. Ada yang menghendaki serupa Orde Advocaae (Belanda), Bar Associacion (AS), ada lagi yang menginginkan sistem komite. "Tanpa DPP, tetapi ada Ketua Dewan Harian yang dijabat bergilir," katanya. Para advokat umumnya menyambut baik pembentukan "lembaga yang mandiri" itu. "Tapi kalau benar-benar mandiri, pihak mana pun harus tunduk. Artinya, hukum harus bisa berkembang. Kalau tidak demikian berarti melanggar hukum itu sendiri," kata Harjono Tjitrosubono, Ketua Umum DPP Peradin. Sekretaris Jenderal DPP Peradin, Maruli Simorangkir, sependapat bahwa wadah seperti itu perlu. Artinya, suatu wadah yang bisa dikontrol. Di pihak lain, dua tokoh LBH mempersoalkan masalah kebebasan advokat. T. MuIya Lubis, Ketua Yayasan LBH, menyatakan bahwa untuk membenahi dunia advokat yang masih suram, ikrar yang mengandung cita-cita luhur itu memang ideal. "Tapi pembenahannya tidak harus dengan membentuk wadah tunggal. Biarlah mereka tumbuh secara alamiah. Pembentukan wadah tunggal seperti itu berarti tidak sesuai dengan pasal 28 UUD 45," katanya. Sedang Abdul Rachman Saleh, direktur LBH, agaknya berusaha bersikap realistis dan moderat. "Di satu pihak kita ingin diatur oleh pemerintah, misalnya yang melanggar kode etik, izin prakteknya dicabut. Tapi di lain pihak pengaturan itu sedapat mungkin tidak mematikan profesi. Kalau bisa, sepert PWI," katanya. Katanya, gagasan wadah tunggal itu pernah disampaikan Peradin ketika menteri kehakiman dijabat Mochtar Kusumaatmadja. "Tapi gagasan itu kandas karena Pak Mochtar bilang: kalau pemerintah ikut campur kelak jangan disesali bila ada pembatasan-pembatasan," tutur Rachman. Namun, sejak pagi-pagi Menteri Kehakiman Ali Said sudah memasang janji, "Tidak akan ada pemaksaan-pemaksaan, hingga menghilangkan arti kemandirian, orisinalitas, dan hak asasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus