BEGITU tiba di bandar udara Kemayoran, Jakarta, Jumat pekan lalu, Menlu Mochtar Kusumaatmadja - yang turun dari pesawat sambil menjinjing topi bulu dari Rusia - langsung diberondong wartawan. Bukan tentang keadaan di Uni Soviet sepeninggal Andropov. Tapi, seperti sudah diduga, tentang kunjungan Panglima ABRI Jenderal L. Benny Moerdani ke Vietnam, pekan lalu juga. Ia tampaknya sudah siap akan menerima "sambutan" seperti itu dari pers. "Itu 'kan suatu kunjungan biasa, antara dua negara sahabat," katanya. "Tak ada maksud untuk mendobrak kemacetan dalam masalah Kamboja." Sembari mengelus topinya, Mochtar mengatakan, kunjungan Pangab Moerdani ke Vietnam adalah untuk memenuhi undangan Menhan-Pangab mereka: Jenderal Van Tien Dung. Menurut Mochtar, itu ada baiknya, karena Menlu Vietnam, Nguyen o Tach, akan datang lagi ke Jakarta 1 Maret ini. Kenapa bukan Mochtar yang ke Vietnam? "Ya, selain tak baik di mata rekan ASEAN yang lain, Jenderal Moerdani memang sudah di dikenal di sana," kata seorang pejabat. Ada benarnya. Sebelum memangku jabatan Pangab, Moerdani sudah dua kali ke Vietnam - tahun 1981 dan 1982. Tapi kali ini kunjungan Jenderal Moerdani lebih resmi, disambut dengan upacara kebesaran militer. Vietnam, tentu saja, menilai kunjungan seresmi itu penting sekali. Seperti kata Pangab Van Tien Dung, "Itu menandai suatu tahap baru dalam persahabatan dan kerja sama antara kedua negara." Jenderal Van Tien, seperti dimuat dalam kantor berita resmi Vietnam News Agency, memang tak menjelaskan lebih jauh apa yang ia maksudkan dengan "tahap baru" itu. Tapi pemerintah Republik Demokrasi Vietnam kabarnya sudah menyetujui untuk menempatkan seorang atase militernya di Jakarta dalam waktu dekat. Jenderal Van Tien Dung, menurut sebuah sumber Vietnam, juga sudah menerima undangan balasan dari Jenderal Moerdani untuk berkunjung ke Indonesia. "Hanya waktunya yang masih perlu diatur," kata sumber tadi. Adalah Jenderal Moerdani yang merupakan pangab pertama di luar blok Komunis yang mengunjungi Vietnam. Selama empat hari di sana, Moerdani telah mengunjungi beberapa instalasi militer, antara lain galangan kapal, satuan 7 peluru kendali dan artileri pertahanan udara di Long San, kota perbatasan antara RSV dan RRC, 160 km utara Hanoi. Ia juga melihat beberapa instalasi militer di Ho Chi Minh City. Di kota yang dulu bernama Saigonitu, ia telah berundin dengan Co Tach, dan ketika di Hanoi, Moerdani diterima PM Pham Van Dong dan istri. Ia tak sampai bertemu dengan Le Duan, Sekretaris Jenderal Partai Pekerja RSV. Orang yang dipandang No. 1 di RSV itu memang dikenal jarang menemui tamu dari luar. Dan ketika Moerdani di sana, Le Duan, 76 tahun, kabarnya sudah punya acara lain yang tak bisa ditunda: mengunjungi suatu pekan pemuda. Ada pula yang bilang, orang tua itu lagi sakit. Apa komentar Jenderal Moerdani tentang militer Vietnam? "Setelah dengan mata kepala sendiri melihat peralatan militer mereka, dan kehidupan tentaranya, saya beranggapan tentara Viernam adalah tentara yang tangguh dalam mempertahankan tanah airnya. Peralatan tempur mereka tidak menunjukkan bahwa mereka punya kemampuan untuk membiayai suatu pasukan ekspedisi," katanya kepada TEMPO, Senin lalu. Itu pula yang membuat dia "berkeyakinan kuat bahwa tidak pernah akan terjadi konflik antara kedua negara." Ia melanjutkan, "Ada beberapa negara mengatakan Vietnam merupakan bahaya bagi Asia Tenggara. Tapi angkatan bersenjata dan rakyat Indonesia tidak percaya akan hal itu." Sebelum meningalkan Ho Chi Minh City, Jenderal Moerdani, yang bersama rombongannya menumpang pesawat Hercules TNI AU, berkata, "Kami meninggalkan negeri Anda dengan gembira, karena telah mendapat kesempatan mengenal wilayah, rakyat, dan tentara Vietnam - yang merupakan teman dekat kami. Kami berharap di waktu lain hubungan persahabatan antara kedua rakyat dan angkatan bersenjata kita akan menjadi lebih erat." Seorang pengamat hankam berpendapat Jenderal Moerdani ingin menunjukkan sikap yang lebih realistis dalam hubungan Vietnam-RI. Dan hal itu, menurut pengamat tadi, tak perlu dianggap akan mengganggu beleid luar negeri RI dan anggota ASEAN yang lain dalam mencari jalan keluar tentang masalah Kamboja. "Pak Mochtar melihatnya sebagai seorang diplomat, dan Pak Benny melihat dari kaca mata strategi militer," katanya. "Dan mereka samasama ingin melihat Asia Tenggara sebagai suatu kawasan yang damai." Pangkal tolak Jenderal Moerdani agaknya melihat RRC sebagai ancaman yang lebih besar bagi Asia Tenggara - bukan Vietnam. Dan sebelum berkunjung ke Vietnam, kabarnya Jenderal Moerdani sudah memberitahukan kepada para Pangab ASEAN yang lain. Demikian juga Menlu Mochtar, sesaat sebelum bertolak ke Moskow untuk mewakili pemerintah RI dalam upacara pemakaman Sekjen Partai Yuri Andropov, telah memanggil dan menjelaskan kepada para duta besar ASEAN di Indonesia tentang kunjungan Pangab Moerdani. Ketika itu hanya Duta Besar Malaysia yang berhalangan hadir. Namun, pernyataan Jenderal Moerdani telah memancing tanggapan di luar negern Harian Bangkok Post, pekan lalu, melaporkan pernyataan "seorang pejabat Muangthai", yang berpendapat bahwa pernyataan Jenderal Moerdani "bertentangan dengan sikap ASEAN". Hadirnya pasukan Vietnam yang sekitar 150.000 orang di Kamboja, menurut pejabat tadi, "merupakan ancaman buat Muangthai dan kawasan ini". Kabarnya, Menlu Muangthai, Siddi Savetsila, juga sedang menunggu penjelasan dari Mochtar. KUNJUNGAN yang diliput oleh pers luar negeri, seperti kantor berita Prancis AFP dan Reuter, serta direkam oleh TV NHK dari Jepang, tak bisa lain akan mengundang banyak reaksi. Tapi Menlu Mochtar Kusumaatmadja, dalam keterangannya, tak melihat rekan ASEAN perlu khawatir, dan menyalahartikan kunjungan Pangab Moerdani. Mochtar mengakui, memang ada sedikit perbedaan posisi Indonesia terhadap Vietnam dibanding negara ASEAN lain terhadap negara itu. Indonesia dan Vietnam mempunyai persamaan latar belakang sejarah. Salah satu adalah latar belakang sejarah: Kedua negara pernah mengalami masa penjajahan yang lama. Juga dalam masalah Kamboja, kata Mochtar, Indonesia tak pernah mengirim pasukan untuk membantu musuh Vietnam. "Sebutir peluru pun tak pernah kita berikan," kata Pangab Moerdani. Persamaan antara kedua negara itu juga dikemukakan oleh Jusuf Wanandi, direktur pelaksana CSIS. Jusuf, yang kini juga wakil ketua bidang luar negeri DPP Golkar, menilai bahwa Indonesia dan Vietnam tak menghendaki tekanan dari negara besar mana pun, termasuk RRC. "Vietnam dan Indonesia mempunyai peranan, agar di masa depan jangan sampai ada negara besar menekan dan memaksakan kehendaknya," katanya. Jusuf Wanandi, yang pekan ini menjadi salah seorang pembicara dalam suatu seminar bilateral Indonesia-Vietnam di Hanoi, yang diadakan oleh CSIS, menilai Indonesia mempunyai dua strategi terhadap Vietnam: di satu pihak ikut menyelesaikan masalah Kamboja, di pihak lain memelihara hubungan jangka panjang dengan Vietnam. "Kunjungan Pak Benny menunjukkan kita memperhatikan keduanya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini