YUSTEDJO Tarik dilarang pergi ke luar negeri. Dua pekan lalu, tatkala sampai di ruang pemberangkatan bandar udara Halim Perdanakusuma, pemain tenis nasional yang dikenal urakan ini diberitahu petugas imigrasi tentang adanya "perintah atasan" yang melarang keberangkatannya. Hari itu Yustedjo, bersama pemain nasional lain, Atet Wiyono, merencanakan pergi ke Bangkok - dengan biaya sendiri - untuk mengikuti turnamen tenis Singha Beer. Belakangan, terungkap bahwa pencegahan itu dilakukan pihak imigrasi atas permintaan Ketua Umum Pelti, Mayor Jenderal (pur.) Jonosewojo. "Mengingat kepergian Yustedjo Tarik tanpa diketahui dan disetujui Pengurus Daerah Pelti DKI Jaya ataupun Pengurus Besar Pelti, maka untuk tertib organisasi dan untuk menegakkan disiplin, Ketua Umum minta kepada yang berwajib untuk mencegah keberangkatan Yustedjo ke Bangkok," kata Jonosewojo dalam suatu pertemuan pers Rabu pekan lalu. Anehnya, sehari setelah Yustedjo urung berangkat, atau dua hari sebelum mengadakan jumpa pers, di Surabaya Jonosewojo menyatakan tidak tahu tentang dicegatnya pemain tenis itu di Halim. 'Apa ya begitu?" Jonosewojo balik bertanya. "Saya belum tahu," katanya lagi (TEMPO, 18 Februari 1984). Yang juga menjadi tanda tanya bisakah suatu organisasi swasta seperti Pelti meminta "yang berwajib" mencegah keberangkatan seseorang ke luar negeri karena dianggap melanggar tertib organisasi. Sebelum 10 November 1981, semua instansi pemerintah memang bisa mengajukan permintaan pencegahan seseorang untuk berangkat ke luar negeri. Tapi Surat Keputusan Menteri Kehakiman 10 November 1981 mengakhiri semua itu. Menurut SK itu, hanya empat pejabat yang berhak mengajukan permitaan untuk melakukan pencegahan atau penangkalan (larangan terhadap orang asing maslk ke wilayah RI). Mereka adalah Ketua Mahkamah Agung bila yang hendak dicegah itu terlibat perkara perdata tingkat kasasi. Bila orang tersangkut perkara pidana, yang bisa mengajukan permintaan adalah Jaksa Agung. Menhankam atau Pangab berhak mengajukan permintaan pencegahan atau penangkalan terhadap mereka yang tersangkut masalah pertahanan keamanan, dan ketertiban masyarakat. Sedangkan bila seseorang tersangkut masalah politik, ekonomi, sosial budaya, terorisme internasional, dan keimigrasian, yang berhak adalah Kepala Badan Koordinasi Inteligen Negara (Bakin). Yustedjo Tarik dan Atet Wiyono terlibat masalah apa? Masalah politik dan ekonomi jelas bukan. Instansi yang diminta Jonosewojo mencegah keberangkatan mereka adalah Bakin. "Bakin 'kan instansi saya," jawab Jonosewojo, ketika ditanya mengapa harus Bakin. "Bisa saja saya sebagai sopir di Bakin . . . ," katanya sambil tertawa, sewaktu ditanya jabatannya di Bakin. Kepada TEMPO Jonosewojo menjelaskan alasannya mencegah kepergian Yustedjo ke luar negeri. "Loyalitas Yustedjo terhadap negara RI diragukan," katanya. Di samping itu, PB Pelti ingin menegakkan tertib organisasi. "Yustedjo juga menipu saya karena sebelumnya dia bilang tidak akan pergi," kata Jonosewojo. Sebuah sumber Bakin membenarkan, Jonosewojo memang meminta tolon Bakin untuk mencegah Yustedjo bila akan berangkat ke luar negern Permintaan itu konon diajukan secara mendadak. Alasan yang diajukan: keberangkatan Yustedjo dianggap dapat merusakkan citra nasional Indonesia di luar negeri. Citra nasional yang mana? Belum jelas. Yang jelas, kasus Yustedjo merupakan kejadian pertama seorang olahragawan dilarang pergi ke luar negeri karena dianggap melanggar tertib organisasi. Sebelum ini, umumnya larangan karena alasan politis. Para penanda tangan Petisi 50, misalnya, diketahui dilarang berangkat ke luar negeri. Belakangan, beberapa penanda tangan memang mendapat izin pergi ke luar negeri untuk pengobatan, atau karena telah menyatakan mengundurkan diri dari kelompok itu. Sementara itu, aktivis mahasiswa yang dianggap terlibat demonstrasi pada 1978 juga pernah dilarang pergi ke luar negeri. Begitu pula sejumlah dosen di zaman Menteri P 8 K Daoed Joesoef, yang dilarang Menteri. Namun, umumnya, mereka tidak diceah setelah sampai di lapangan terbang dan teah membayar biaya flskal seperti Yustedjo dan Atet. Peserta lomba ratu kecantikan sejagat dari Indonesia malah tidak pernah dicegat, sekalipun ada larangan resmi mengikuti kontes itu. Maka, bisa dimengerti kalau hampir semua pihak menganggap tindakan Jonosewojo "berlebihan". Pendapat seperti itu, misalnya, disuarakan Abdul Rachman Saleh, salah seorang direktur Lembaga Bantuan Hukum (LH) Jakarta. "Penggunaan wewenang untuk mencegah atlet pergi ke luar negeri berlebihan bila dikaitkan dengan ketidaksertaannya dalam seleksi pemain regu Davis Cup," ujarnya. Semula, Abdul Rachman mengira bahwa pencegahan keberangkatan Yustedjo berkaitan dengan pemilikan pistol tanpa surat izin yang dulu sempat dihebohkan. "Kalau dikaitkan dengan masalah itu, masih bisa diterima," katanya. Wakil Ketua Komisi III DPR, Albert Hasibuan, juga menganggap bahwa "kasus Yustedjo" tidak benar. Pemain tenis itu dinilainya tidak termasuk kelompok mana pun yang bisa dicegah keberangkatannya ke luar negeri menurut perundangan yang ada. "Larangan itu merupakan pelanggaran yang cukup prinsipiil," tuturnya. Menurut Albert, PB Pelti sebenarnya tidak berwenang meminta pencegahan Yustedjo pergi. "Kalaupun ada konflik, itu konflik intern. Jadi, harus diselesaikan secara intern," ujarnya. Ia khawatir, seandainya budaya semacam ini diteruskan, bisa-bisa setiap orang akan dilarang. Sumber Bakin yang tadi berpendapat, mempergunakan Bakin untuk mencegah Yustedjo pergi sebenarnya "terlalu tinggi" karena kasusnya tidak membahayakan keamanan nasional. "Menggunakan Bakin untuk menyetop Yustedjo ibarat membunuh nyamuk dengan meriam," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini