Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DKI Jakarta dipastikan akan terus membutuhkan air baku dari luar daerah. “Permasalahannya di DKI Jakarta banyak. Di antaranya air baku dan layanan yang belum maksimal,” kata Direktur Perumahan dan Pemukiman Bappenas Tri Dewi Virgiyanti dalam acara Tempo Sustainability Dialogue Water Series dengan tema “Kapan Sumber Air bersih di Jakarta Bisa Diandalkan?,” Rabu 8 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tri Dewi menuturkan, sumber air di Jakarta 94 persen dari luar Jakarta, hanya enam persen dari internal Jakarta. Dari 13 sungai yang mengalir ke Jakarta, yang menjadi kekhawatiran adalah ancaman banjir. “Padahal, seharusnya resources sungai bisa dimanfaatkan. Tetapi sayangnya kondisi kualitasnya tidak layak sebagai air baku. Rata-rata tercemar sedang sampai berat. Jadi tidak bisa dijadikan air baku,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, akses air minum layak seluruh Indonesia sekitar 90,21 persen. Layak, karena ada target SDGs yang harus dicapai yaitu 100 persen. Kemudian akses aman baru sekitar 12 persen.
Menurut Tri Dewi, ketersediaan air layak sudah mencapai 99 persen. Artinya, kata dia, hanya tersisa satu persen penduduk yang belum terlayani akses air minum layak. Sayangnya, capaian jaringan perpipaan PAM Jaya di ibu kota baru 37 persen. “Nonperpipaan lebih besar 63 persen. Itu data kami dari susenas.”
Mantan Dirut PAM Jaya Erlan Hidayat mengatakan hal senada. Jika diperhatikan, lanjut dia, air itu dari luar Jakarta. “Jakarta memang tidak punya air. Terdapat 13 sungai dan itu dari luar Jakarta. Kotornya dari luar, kotorannya sampai berhenti di Jakarta.”
“Tapi apakah itu layak diolah, barangkali kita luruskan sedikit dengan teknologi saat ini,” tambah dia. Menurut dia, sudah banyak sekali water treatment plant, pengolahan air, di Jakarta. Saat ini sudah ada peningkatan supply air minum di Jakarta. Hanya saja, peningkatan itu tidak signifikan dan cenderung lambat.
Dia menutrurkan sejak 1997 supply air di Jakarta sudah mencapai 18.025 liter per detik, namun saat ini setelah 25 tahun baru mencapai 19.720 liter per detik. Erlan menilai, salah satu yang menghambat karena air diatur berdasarkan kewilayahan sungai tetapi treatmennya berdasarkan administrasi. “Mungkin berdasarkan itu yang membuat perkembangan menjadi lambat.,” kata dia.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna, mengatakan jika mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), target air minum layak mencapai 100 persen dan 30 persen rumah tangga mempunyai akses ke perpipaan. “Kami sepakat akses sebenarnya yang kepipaan ini. Bagaimana secara sistematis penggunaan air tanah bisa berpindah ke perpipaan,” kata dia.
MenurutHerry, ada beberapa hal yang mendasar yang harus diperkuat dan lakukan, Pertama model bisnisnya, kedua dari sisi delivery. Ketiga melayani masyarakat yang tidak mampu. Dan keempat dari sisi stakeholder. Untuk itu kolaborasi harus intensif dan sinergi harus dikuatkan. Jika kolaborasi bersama dapat dilakukan maka dapat saling mengisi. “Harapannya target 100 persen, 30 persen atau berapapun itu yang dituangkan bisa kami capai.”
Direktur Pelayanan PAM Jaya Syahrul Hasan menuturkan, sumber air baku di Jakarta yang paling mainstream ada di 13 sungai di Jakarta, setu, lumbung air, dan danau serapan. Air baku, lanjut dia, menjadi penting ketika ada gap cakupan layanan yang eksisting hari ini dari 66 persen terlayani dengan gap 34 persen. “Gap latarnya adalah dari kekurangan air baku,” kata dia.
Menurut Sayhrul kekurangan air baku tidak berdiri sendiri. Tapi memang harus ada peran stakeholder di luar DKI Jakarta yang urun rembuk mengenai ketersediaan air baku di Jakarta.