Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Ardy, 36 tahun, duduk di sebuah kursi beton sambil membuka bekal. Sesekali ia menyesap kopi di dalam tabung minum dan melihat ke seberang, gedung putih besar berjendela hijau yang pernah menjadi Balai Kota pada zaman kolonial Belanda dan kini menjadi Museum Sejarah Jakarta. Ardy terlihat sangat menikmati waktu makan siangnya. “Sekarang Kota Tua sudah bagus banget,” ujarnya, Kamis, 8 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pegawai sebuah bank yang gedungnya di dekat Stasiun Beos (Jakarta Kota), ia menyaksikan perubahan besar-besaran di kawasan Kota Tua. Dulu Ardy sempat berjalan kaki menyusuri kawasan Kota Tua hingga ke Jembatan Intan. Namun, ia merasa kurang nyaman. “Beda dengan sekarang. Trotoarnya lebar, enak buat jalan kaki,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan, lanjutnya, untuk bersepeda sudah tersedia dua jalur. Rekan kerjanya pun ada yang berangkat dan pulang kantor dengan bersepeda. “Paling enak ke sini bawa sepeda lipat. Boleh masuk ke kereta. Enak deh sekarang di sini. Ke sini pun gampang kendaraan umumnya,” ucap Ardy yang menyarankan pagi dan sore untuk berwisata mengelilingi kawasan tersebut agar tidak kepanasan.
Kesan Ardy terhadap perubahan Kota Tua merupakan potret keberhasilan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevitalisasi kawasan tersebut. Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengatakan, memang ingin mengubah paradigma tentang kota masa depan. Selama ini, kendaraan pribadi berbahan bakar minyak, baik roda dua maupun roda empat, selalu menjadi prioritas pertama di jalan raya. Sementara, pejalan kaki serta pesepeda berada di urutan bawah.
“Sekarang kita ubah. Nomor satu adalah pejalan kaki, nomor dua kendaraan yang bebas emisi, sepeda atau kendaraan listrik. Ketiga transportasi umum, dan keempat baru kendaraan pribadi,” tutur Anies.
Untuk mewujudkannya, kawasan Kota Tua pun dipermak total. Trotoar dengan lebar 2 sampai 5 meter dibangun selama empat tahun terakhir. Kini, ungkap Anies, total panjang trotoar di Kota Tua mencapai 240 kilometer. Sedangkan jalur sepeda dipasang dua jalur.
Kota Tua kini menjadi Low Emission Zone (LEZ) atau Kawasan Rendah emisi (KRE). Hanya kendaraan beremisi rendah, seperti sepeda dan kendaraan listrik, yang boleh melewatinya. Total area Kota Tua seluas 846 hektare dengan panjang kawasan LEZ 1,72 kilometer.
“Kota Tua mewakili wajah kota masa depan. Kota masa depan itu didominasi oleh pejalan kaki. Tempat ini semua disiapkan untuk mudah diakses oleh pejalan kaki. Kedua, terjangkau oleh transportasi umum. Ketiga, kota masa depan adalah kota yang emisinya rendah dan udaranya bersih. Karena itu di sini diterapkan kawasan LEZ,” papar Anies.
Konsep ini membuat wisatawan yang ingin melihat bangunan-bangunan tua jadi lebih nyaman. Ditempuh dengan berjalan kaki, udara yang kita hirup pun lebih minim polusi. Di sisi lain, menurut Anies, hal ini untuk membiasakan setiap orang yang datang ke Kota Tua harus berjalan kaki. “Karena orang jadi intimate dan tidak ada jarak. Mau superkaya atau miskin, kalau berjalan kaki tidak ada bedanya. Ini berarti kita juga bicara tentang kesetaraan. Ada pembelajaran lagi di situ. Bahwa orang datang, jalan kaki, berinteraksi dengan orang lain lebih dekat. Kita bisa lihat ada lintas sosial ekonomi, lintas etnis, lintas kewarganegaran. Ini yang kita sebut kesetaraan,” jelasnya.
Lagipula, menikmati Kota Tua yang sarat dengan gedung peninggalan masa lampau akan lebih bermakna dengan berjalan kaki. Bisa lebih mengamati secara detail setiap bangunan, sambil menghirup udara segar seperti pada masa kolonial ketika alat transportasi hanya kuda dan sepeda.
Hal ini sesuai dengan bayangan Gubernur Anies tentang Kota Tua. Seseorang yang datang ke lokasi tersebut seolah akan terlempar ke era kolonial. “Orang itu bisa berjalan ke tahun 1600, 1700. This is where time convert to space. Kawasan kota tua ditawarkan kepada dunia. Kalau Anda ingin melihat ke zaman dahulu, datanglah ke kota ini. Tapi, fasilitasnya disiapkan sesuai abad ke-21, dari mulai internet, fasilitas jalan, dan lainnya,” pungkasnya.
Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, mengapresiasi konsep yang dibeberkan Gubernur Anies. Menurut Yayat, ada dua aspek yang ditawarkan pada revitalisasi Kota Tua. Pertama, aspek planologis, artinya Gubernur Anies telah melakukan reformasi struktur pelayanan dengan mengubah Kota Tua menjadi ruang untuk pejalan kaki. “Selama ini kan selalu pakai kendaraan, pejalan kaki nomor dua. Nah, revitalisasi membalikkan paradigma itu. Jadi memuliakan para pejalan kaki,” katanya.
Aspek kedua yakni sosiologis, struktur yang membangun kultur. Pemprov DKI membangun wajah baru Kota Tua dilengkapi dengan struktur berupa jaringan pelayanan. Guna menuju kawasan ini dipermudah dengan jaringan transportasi yang sangat dekat ke lokasi, antara lain kereta Commuter Line dan bus Transjakarta.
Yayat juga menilai, desain dengan konsep LEZ sudah tepat. Kota Tua bukan kawasan bisnis supersibuk seperti Jalan Sudirman atau Jalan M.H. Thamrin, sehingga sangat tepat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan memperbanyak aktivitas berjalan kaki. Pengunjung jadi lebih sehat dan bahagia. “Satu hal lagi yang penting, wisata di Kota Tua itu gratis,” ujar Yayat. (*)