Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemangkasan anggaran ala Prabowo Subianto akibat manajemen keuangan pemerintah yang kacau.
Rajin berutang ala pemerintahan Jokowi membuat pemerintah kini harus membayar utang jatuh tempo.
Prabowo dan Sri Mulyani adalah anggota kabinet Jokowi yang seharusnya paham kondisi keuangan negara.
PEMANGKASAN besar-besaran bujet kementerian dan lembaga negara merupakan buah buruknya perencanaan keuangan pemerintah. Keinginan Presiden Prabowo Subianto memaksakan program populisnya terus berjalan bisa mengganggu jalannya pemerintahan dan memacetkan pelayanan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo memerintahkan pemotongan anggaran lewat Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 yang terbit pada 22 Januari 2025. Melalui regulasi itu, Kementerian Keuangan memangkas anggaran sebesar Rp 306,6 triliun dari 16 pos pengeluaran yang terdiri atas Rp 256,1 triliun belanja kementerian/lembaga dan Rp 50,5 triliun dana transfer ke daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan ini bermula dari kekeliruan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 oleh Presiden Joko Widodo dan tim ekonominya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyiapkan anggaran yang tidak berpijak pada kenyataan beban utang yang mesti dibayar pemerintah.
Selama sepuluh tahun Jokowi menjadi presiden, utang pemerintah bertambah hampir Rp 6.000 triliun atau melonjak 224 persen. Dalam lima tahun ke depan, pokok dan bunga surat berharga negara yang jatuh tempo mencapai Rp 3.036 triliun, yang pada tahun ini mesti dibayar Rp 803 triliun. Dalam APBN 2025, pemerintah mengalokasikan pembayaran pokok dan bunga senilai Rp 1.353 triliun.
Beban besar ini diabaikan Jokowi. Dalam APBN 2025 masih terdapat pos-pos anggaran untuk kebijakan mercusuar seperti alokasi bujet bagi Ibu Kota Nusantara sebesar Rp 14,4 triliun dan program populis makan siang gratis Rp 71 triliun.
Namun badai besar datang karena penerimaan pajak meleset akibat bermasalahnya Coretax, sistem perpajakan digital terbaru. Dampaknya, hingga Januari 2025, Direktorat Jenderal Pajak hanya bisa mengumpulkan 20 juta faktur pajak, jauh di bawah periode yang sama pada 2024 yang sebanyak 60 juta. Dampaknya, hingga Januari 2025, penerimaan pajak yang terhimpun baru sekitar Rp 50 triliun, jauh di bawah capaian tahun lalu yang senilai Rp 172 triliun.
Defisit besar ini mengguncang keuangan negara. Kementerian dan lembaga negara tidak memiliki dana untuk menjalankan pelbagai program yang sudah dirancang. Untuk sementara, selama dua bulan, keuangan negara bersumber dari sisa anggaran 2024 senilai Rp 45,4 triliun.
Prabowo dan Sri Mulyani tak boleh menyalahkan kondisi kahar. Sebab, dalam penyusunan anggaran 2025, mereka adalah anggota kabinet Jokowi. Terpilih sebagai presiden dan Menteri Keuangan dalam pemerintahan berikutnya, Prabowo dan Sri Mulyani semestinya memahami kondisi dan memiliki proyeksi atas pelbagai tantangan tahun berikutnya.
Pemangkasan anggaran—oleh pemerintah dibungkus dengan istilah “efisiensi”—juga terasa janggal. Ada kesan kementerian dan lembaga yang anggarannya tak dipotong mendapat privilese karena berhasil melobi Istana dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemangkasan dilakukan tanpa kriteria yang jelas dan terkesan mengandung unsur “like and dislike”.
Sejauh ini, terdapat 17 lembaga negara yang tak terkena pemotongan. Mereka antara lain Kementerian Pertahanan, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung. Ketiga lembaga tersebut mendapat alokasi yang besar: Rp 166,2 triliun, Rp 126,6 triliun, dan Rp 24,2 triliun.
Sebaliknya, pemangkasan besar-besaran menimpa kementerian teknis yang banyak memberi pelayanan publik. Misalnya anggaran Kementerian Pekerjaan Umum yang dipangkas Rp 81,38 triliun dari semula Rp 110,95 triliun serta Kementerian Perhubungan yang ditetak Rp 17,9 triliun dari pagu Rp 31,5 triliun. Patut dipersoalkan: anggaran pertahanan keamanan untuk tentara dan polisi dipertahankan, tapi biaya pemeliharaan jalan dan jembatan dipangkas serta subsidi angkutan umum dan penerbang perintis dihapus.
Di luar itu, pemborosan malah terjadi dalam kunjungan kenegaraan Presiden yang selalu membawa rombongan besar. Tak ada pula tanda-tanda kabinet gemuk bakal disingsetkan. Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyebutkan tambunnya kabinet Prabowo berpotensi memboroskan anggaran Rp 39,55-158,21 triliun pada 2025 saja.
Jika pemerintah tetap dablek, Indonesia bukan tak mungkin akan menjadi negara gagal. ●