Tak ada hal yang tak mungkin terjadi di dunia ini. Dan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) telah membuktikan pemeo itu. Mereka telah berhasil menyepak kata "tak" dan pernyataan "tak mungkin". Dan hasilnya, kini bisa disaksikan dengan penuh kebanggaan oleh segenap bangsa Indonesia. Sebuab jalan layang tol sepanjang 12 kilometer, plus jalan tol biasa sepanjang 3,6 kilometer, pun telah membentang antara Cawang dan Tanjung Priok. Inilah jalan terpanjang, dan terlebar dengan enam lajur -- di sentero Asia Pasifik. Atau, khusus untuk jalan layangnya, 12 kilometer itu identik dengan 318 jembatan. Jadi bisa dibayangkan, betapa rumitnya membangun jalan tol yang satu ini. Sebagai perbandingan, untuk membangun sebuah jembatan penyeberangan yang permanen saja, rata-rata, dibutuhkan waktu satu tahun. Nah, ini 318 jembatan. Tapi, tentu saja, tidak harus dibangun dalam waktu 318 tahun. CMNP, yang semula menargetkan akan menuntaskannya dalam waktu 1.200 hari, bahkan bisa membangun dengan waktu yang lebih singkat -- hanya 776 hari. Begitu pun pemakaian biaya pembangunannya, yang semula dianggarkan Rp 236 milyar, bisa dihemat menjadi tinggal Rp 220 milyar. Artinya, CMNP yang notabene muka baru dalam bidang penyelenggaraan jalan tol, yang mengkoordinir kontraktor Nasional dalam pembangunan jalan, apalagi jalan tol, ternyata, bisa bekerja lebih efisien dibanding kontraktor-kontraktor yang sudah kondang. Bandingkan saja. Di Amerika, biaya pembangunan jalan layang per kilometer mencapai Rp 80 milyar. Begitu pula di Thailand, kendati jauh lebih rendah, setiap kilometer jalan layang menelan Rp 25 milyar. Sedangkan CMNP? Hanya Rp 14 milyar per kilometer. Sungguh, ini suatu kejutan yang tidak diduga sama sekali. Bagaimana tidak? Jauh sebelum proyek ini digarap, masih ketika masa tender berlangsung, banyak pihak yang meragukan kemampuan putra-putri Indonesia. Maklum, yang sudah-sudah, proyek-proyek yang besar dan canggih seperti ini merupakan lahan empuk bagi kontraktor-kontraktor asing yang sudah punya nama. Tapi, itulah, jika sebuah tekad sudah terpancang di hati, maka tak akan ada kendala yang tak bisa terpecahkan. Begitupun niat Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, yang akrab dengan panggilan Mbak Tutut. Ketika pada suatu petang ia melintasi beberapa proyek pembangunan jalan, dan jembatan, hatinya trenyuh. Kenapa proyek-proyek itu dilaksanakan oleh kontraktor asing. Sementara, bangsa Indonesia hanya menjadi kuli, begitu pikirnya. Itulah sebabnya, pada 1986, ketika pemerintah menawarkan investasi penyelenggaraan jalan tol Cawang-Priok pada swasta, yang mencakup membangun, mengoperasikan dan memelihara, Mbak Tutut pun bertekad untuk turut memperebutkan. Tapi, bagaimana caranya? Untuk langkah pertama, wanita yang aktif dalam kegiatan sosial ini berpikir dan melakukan aspirasinya, dan selanjutnya menjumpai pejabat Departemen Pekerjaan Umum, c/q Ditjen Binamarga selaku Pembina Teknis Utama, Ir. Wiyoto Wiyono MSc, salah seorang pejabat di Ditjen Bina Marga ketika itu -- kini sudah almarhum. Dari beliaulah Mbak Tutut memperoleh pengetahuan tentang tehnik konstruksi. Tentu saja, tidak rinci benar. Sebab, seperti diakuinya, ia merupakan anak bawang dalam bisnis konstruksi. Tapi, ternyata, dari keterangan yang sederhana itulah matanya terbuka lebar. Keberanian, serta rasa percaya dirinya bertambah. Dan ia tidak lagi gentar melihat nilai proyek yang diincarnya. Apalagi Wiyoto membumbui nasihatnya dengan kalimat seperti ini, "Anda tak perlu belajar mengemudikan kapal untuk memulai usaha di bidang perkapalan. Yang penting, anda punya intuisi yang baik untuk memilih nakhoda yang baik, dan mengelola usaha itu berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang semestinya." Keberanian itu bertambah ketika Mbak Tutut berjumpa dengan Pak Harto, yang dianggap sebagai "konsultan pribadinya". Dari sang Bapak, ia tidak sekadar memperoleh nasihat, tapi sekaligus pernyataan yang cukup menantang. "Kalau kamu yakin bisa menanganinya, lakukan. Tapi kalau ragu, sebaiknya jangan," begitu kata Pak Harto kepada putrinya. Suatu pernyataan yang tak berlebihan, memang. Sebab, bukan saja proyek flyover Cawang-Priok ini menuntut kemampuan teknologi yang canggih, tapi untuk memperebutkannya diperlukan keuletan yang sangat alot. Soalnya, pesaing-pesaing yang muncul sama sekaii tidak bisa disepelekan. Ada yang dari Jerman, Jepang, Korea Selatan, bahkan RSCA dari Taiwan yang belakangan terkenai sebagai lago merebut tender pun naik sebagai pesaing. Melihat suasana seperti itu, Mbak Tutut pun mulai berhitung-hitung. Kalau hanya mengandaikan PT Citra Lamtorogung Persada (CLP), ia yakin akan kalah. Lalu apa yang harus dilakukan, sementara masa persiapan tender yang disediakan oleh pemerintah tidak begitu panjang. Tapi untunglah, naluri bisnisnya cepat berputar. Tanpa perundingan yang bertele-tele, dalam waktu yang relatif singkat CLP berhasil "merekrut" tujuh mitra lokal sekaiigus dalam wadah sebuah konsorsium yang dinamai CMNP. Memang, jika dibanding dengan tujuh mitranya, CMNP bukanlah pemegang saham mayoritas. Bahkan, boleh dibilang yang terkecil. Sebab, dengan bagian yang hanya 5,88%, berarti jatahnya sama besar dengan pemilikan PT Yala Perkasa International, PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama, dan PT (Persero) Hutama Karya. Sementara, empat mitra lainnya, seperti PT Jasa Marga, PT Usaha Gedung BDN, PT Krakatau Steel, dan PT Indocement Tunggal Prakarsa menguasai saham di atas 10%. Tapi, itu tidak berarti peran CLP di CMNP menjadi kecil. Bahkan, pada pelaksanaannya, Mbak Tutut dengan CLP-nyalah yang memegang kemudi. Mulai dari urusan ke dalam, hingga hubungan ke luar perusahaan. Buktinya, cukup banyak. Ketika soal pembiayaan muncul sebagai masalah pertama, misalnya. Peran pucuk pimpinan CLP ketika itu, tak mungkin dilupakan oleh tujuh mitranya. Maklum, mencari dana untuk membangun jalan tol, tidak semudah memperoleh kredit untuk membuka tambak udang, yang mudah mendatangkan untung. Itu contoh. Sedang jaian tol? Semua orang sudah tahu, ini merupakan proyek yang menelan investasi besar, dengan masa kembali modal (return of invesment) yang cukup panjang. Paling tidak, investasi jalan tol membutuhkan masa pengembalian 15 tahun. Lantas darimana modal bisa diperoleh? Dari bank dalam negeri? Rasanya, tak mungkin, karena mereka rata-rata hanya menyalurkan pinjaman berjangka delapan sampai sepuluh tahun. Sedang kalau meminjam dari bank asing, selain akan terancam dengan devaluasi, mereka juga selalu mensyaratkan agar memakai jasa kontraktor asing. Padahal, Mbak Tutut sejak awal mulanya sudah bertekad untuk sepenuhnya menggunakan kontraktor dan pelaksana dalam negeri. Akhirnya, terpilihlah Taspen sebagai saiah satu mitra yang, sudah pasti, memiliki cukup modal. Merasa sudah lolos dari masalah dana, "tim kalkulator" pun segera membuat berbagai perhitungan dan analisa, agar konsorsium perusahaan-perusahaan nasionai ini berhasil menang tender. Tak jarang, mereka bekerja nyaris 24 jam. Dan Mbak Tutut, selaku kapten konsorsium, dengan sabar mengikuti setiap tahap yang dicapai para awaknya. Juga sering hingga larut malam. Kalau kebetulan sang nakhoda punya kepentingan lain, ia tak lupa menitipkan perintah-perintahnya, yang selalu disertai dengan kiriman konsumsi. Singkat kata, mulai dari pucuk hingga akar, dengan persepsi sama dan dedikasi serta ketekunan yang tinggi, semuanya terlibat secara aktif. Tapi, apa yang terjadi tiga hari menjelang batas waktu penyerahan usulan proyek untuk tender? Sebuah kabar yang sangat tidak diharapkan muncul dari Departemen Keuangan. Isinya, sungguh mengejutkan. Karena Taspen (sebagai salah satu BUMN) tidak diperkenankan untuk turut dalam konsorsium. Entah, apa alasan persisnya. Yang pasti, soal dana, kembali muncul sebagai suatu masalah yang benar-benar mentah. Padahai, Tutut sebagai komandan ketika itu sedang menghadiri pertemuan Masyarakat Kopi di Bengkulu. "Saya diberitahu tentang mundurnya Taspen oleh Dipl. Ing. Bambang Soeroso, direktur pelaksana CLP, melalui telepon, "katanya. "Anak-anak sudah lemas semua, Bu," kata Bambang ketika itu. Di sini, kepemimpinan Tutut kembali diuji. Ia langsung marah besar begitu mendengar sikap putus asa anak buahnya. Tanpa banyak bicara, Tutut pun kembali ke Jakarta. Setelah singgah di rumah sebentar, untuk menjenguk suami dan anak-anaknya, ia langsung menuju ke para awaknya yang sedang giat bekerja. Kepada anak buahnya, semangat kembali ditanamkan. Dengan janji, pagi keesokan harinya ia akan segera mencari investor pengganti. Janji itu dibuktikan. Pagi-pagi benar, sang ketua konsorsium sudah "nongkrong" di ruang tunggu Direktur Utama Bank Dagang Negara. Nah, kalau sudah ada di sana, apalagi sasarannya kalau bukan untuk mengajak bank pemerintah ini sebagai mitra. Sayang, kendati kunjungan tersebut mendatangkan sinar cerah, BDN tak sanggup untuk menyediakan dana sebesar yang dibutuhkan Proyek Cawang-Priok. Kendati, mereka tahu benar, proyek yang disodorkan Tutut cukup feasible. Akhirnya, Widarsapradja, Dirut BDN ketika itu, menyarankan agar pinjaman itu berupa kredit sindikasl beberapa bank pemerintah. Artinya, perjuangan mencari modai masih belum selesai. Selesai berembuk dengan Dirut, dan Direktur Kredit BDN, Mbak Tutut langsung meluncur ke ruang kerja Dirut Bank Bumi Daya. Untung, di sini pun perundingan -- yang juga disertai oleh Samadikun (Ketika itu Direktur Kredit BBD) -- tak memakan waktu lama. Mereka langsung mencapai kata sepakat. Dan akhirnya, masih di hari yang sama, "paraf ACC" secara prinsip diperoleh dari Dirut Bank Rakyat Indonesia, Kamardi Arief. Selesai? Belum. Setelah itu adaiah giliran staf konsorsium, yang dipimpin oleh Bambang Soeroso, untuk membuat perhitungan ulang. Sebuah kerja berat, tentunya, karena waktu penyerahan usulan hanya tinggal dua hari. Tapi Alhamdulillah, berkat kerja keras, konsorsium akhirnya berhasil menyerahkan usulan tepat pada hari terakhir yang ditentukan. Dan perjuangan, ternyata, tak sia-sia. CMNP muncul sebagai swasta nasional pertama yang mampu merebut proyek penyelenggaraan Jalan tol. Ini berarti, sah pulalah CMNP sebagai partner PT Jasa Marga. Kenapa harus Jasa Marga? Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 1980 ditegaskan, bahwa hanya BUMN inilah yang berhak untuk mengelola, dan mengoperasikan jalan tol. Sedangkan swasta sebagai pelaksana proyek hanya memiliki hak konsesi sepanjang waktu yang telah disepakati bersama. Langkah Awal yang Mengayun Seret Orang boleh bilang, bahwa CMNP tak mungkin mampu menyelesaikan proyek yang berhasil direbutnya. Atau kalaupun selesai, pasti akan memakan waktu yang berkepanjangan. Dan kalangan awam pun boleh menduga-duga dengan sikap yang pesimistis: Siapa tahu biaya pembangunan Tol Cawang-Priok akan membengkak. Ramaian-ramaian yang bernada minus itu, mungkin, akan terjadi seandainya jajaran CMNP tidak bekerja ekstrakeras. Maklum, kendati Mbak Tutut menjadi putri presiden, proyek tolnya yang pertama ini sama sekali tidak memperoleh dispensasi apapun. Dalam hal pajak, misalnya. Ketika mulai membangun, CMNP sudah dikenakan pajak pertambahan nilai. Ditambah lagi, pada awal dari proses pembangunannya -- setelah beberapa waktu tiang pancang pertama ditancapkan pada 30 Juni 1987 -- CMNP sudah jalan terseok-seok. Bagaimana tidak? Selama beberapa bulan sejak tiang pancang pertama ditancapkan ke bumi pada 30 Juni 1987, armada CMNP boleh dibilang menjalani masa menganggur. Soalnya, kembali padahal yang mendasar, dana. Maklum, kendati secara lisan tiga bankir sudah menyatakan kesiapannya, tapi persetujuan secara tertulis belum ada kata sepakat kredit dari tiga bank yang menjadi anggota sindikasi tersebut. Nah, adakah persoalan yang lebih mengerikan dari itu? Ketika pancang pertama sudah dipancang, pembangunan tak dapat dilangsungkan. Hanya karena tak ada uang. Celakanya, di masa prihatin seperti itu, bukannya faktor-faktor pendorong yang muncul. Malah sebaliknya. Beberapa pihak, di luar CMNP, menyungging seulas senyum sisnis. Mereka menyarankan agar pembangunan ditunda saja. Atau, kalau memang merasa tak mampu, sebaiknya proyek itu dialihkan kepada kontraktor asing. Akankah menyerah di langkah yang pertama? Sementara dalam batin tetap menggebu: Sekali layar terkembang, surut kita berpantang. Sang direktur primadona -- disebut demikian karena di jajaran direksi Mbak Tutut satu-satunya wanita -- pun kembali memutar otak. Mulanya sih, untuk biaya pembangunan awal, Mbak Tutut dengan usaha pribadi merogoh kocek. Pertama Rp 800 juta, tandas. Kemudian ditambah lagi hingga Rp 2 milyar, juga habis. Tapi, belum mencukupi. Ditambah lagi, muncul sebuah persoalan sampingan yang tak kalah mahalnya. CMNP diharuskan lebih dulu menanggulangi biaya pembebasan tanah. Karena Ditlen Bina Marga, yang berkewajiban untuk itu, belum memperoleh persetujuan pembayaran dari Departemen Keuangan. Apa akal? Sebagai usaha pertama, kemana lagi CMNP harus mencari pemecahan kalau bukan kembaii mengunjungi calon-calon investor. Dan untung, setelah segala masalah dibeberkan, Direksi BDN, BBD dan Bapindo mau mengerti. Mereka kemudian menyetujui bridging financing sejumiah Rp 20 milyar. Cukup? Ternyata, belum. Akibatnya, setenang-tenangnya Mbak Tutut sebagai komandan, mengahadapi masalah seperti itu tak urung ia merasa panik juga. Bahkan, kepanikan muncul pula di kalangan anggota konsorsium. Otak kembali berputar. Dan pesan "konsultan pribadi" kembali mengiang. "Kalau kamu menghadapi masalah, jangan panik. Tenang, dan berdoalah, pasti akhirnya akan terpecahkan." Ternyata, benar. Sebuah peluang muncul, berupa kemungkinan memperoleh pinjaman lunak dari luar negeri. Namun, melihat gelagat seperti itu, Pak Harto kembaii menyampaikan pesannya. Kali ini tidak berupa petuah, tapi peringatan. "Awas, jangan bawa-bawa nama negara, sekalipun kamu anak saya," katanya ketika itu. Posisi yang sedang terjepit, tidak berarti harus mengabaikan pesan Sang Bapak. Itulah sebabnya, ketika Mbak Tutut mempresentasikan studi kelayakan proyeknya, ia hanya berbekal bendera CMNP. Tanpa embel-embel, atau basa-basi apa pun, kendati pemerintah punya kepentingan di dalam proyek ini. Alhamdulillah, berhasil. Hanya beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Jakarta, sebuah kabar gembira tiba di tanah air, bahwa pinjaman CMNP telah disetujui, dan akan disalurkan melalui sebuah bank internasional. Ini berarti, masa krisis yang berlangsung sekitar enam bulan itu sudah teratasi. Dan semangat kerja dari staf konsorsium, yang sudah mulai loyo, bangkit kembali. Hanya saja, bukan semangat kerja yang bangkit, penanggulangan masa krisis ini juga telah menimbulkan penyempurnaan terhadap tatanan manajemen yang sudah terbentuk. Mungkin karena dituntut suatu kesigapan dan kecepatan dalam bertindak, para pelaksana inti dan anggota konsorsium mengusulkan agar jabatan Direktur Utama, yang semula dipegang oleh Teddy Kharsadi, dijabat oleh Ny. Siti Hardiyanti Rukmana. "Saya tak punya pilihan kelika itu. Dan dengan berat hati, serta rasa tanggungjawab usul itu saya terima," komentar Mbak Tutut. Memang, pada kenyataannya disadari, bahwa untuk mendapatkan hasil-hasil yang produktif dan optimal dituntut suatu ketekunan dan manajemen yang benar-benar terpadu dan koordinatif, serta harus dilaksanakan secara konsekuen. Dengan kata lain, Sang Dirut yang baru saja memangku pimpinan, langsung membagi habis tugas-tugas yang harus diemban oleh setiap unit kerja. Sekretariat perusahaan, misalnya, yang berfungsi untuk mengkoordinasikan urusan internal perusahaan dan eksternal dengan instansi-instansi terkait. Dan unit kerja inilah yang berkewajiban memonitor serta mengendalikan penerapan sistim informasi manajemen yang telah ditentukan. Direktorat Keuangan, dengan segala unit kerjanya, harus dapat pula memenej dan mengadministrasikan masalah yang menyangkut keuangan dan pinjaman perusahaan -- yang sudah pasti dalam jumlah yang tidak kecil -- dengan cara yang profesional. Sedang Direktorat Umum, mempunyai fungsi penunjang untuk melengkapi tersedianya sarana dalam unit-unit kerja organisasi yang demikian besar. Semua itu, utamanya, adalah untuk memback up seluruh kegiatan pelaksanaan fisik. Akan halnya Pimpro, yang dirangkap oleh Direktur Tehnik, mempunyai tanggungjawab, dan fungsi langsung yang sangat besar di lapangan. Dari tatanan manajemen ini segera dapat dibayangkan, proyek yang sedemikian besar dengan tingkat kecanggihan dan presisi yang tinggi, memang menuntut organisasi yang solid. Khususnya, sub organisasi proyeknya. Begitu menduduki posisi eksekutif, Sang Dirut baru pun langsung mencanangkan program kerja yang ketat. Jika perlu 24 jam sehari. Dan itu benar-benar dilakukan. Ia tak mau, kegagalan di awal proyek terulang kembali. Ketika itu, selama 6 bulan setelah pemancangan tiang pancang pertama, hanya 1,5% pekerjaan yang terselesaikan. Artinya, kerja memang harus dilakukan dengan seefisien dan seefektif mungkin. Menyingkat Langkah Menghemat Dana Ketika Tol Cawang-Priok diresmikan Presiden, 9 Maret 1990, banyak orang yang bertanya-tanya, bahkan nyaris tak percaya. Benarkah jalan tol yang panjang melayang ini dibuat oleh putra-putri Indonesia? Kekagetan, kalau tidak boleh dibilang ketakjuban, lebih menyentak ketika dinyatakan bahwa proyek ini dikerjakan dengan waktu yang jauh lebih singkat, dan lebih murah ketimbang target yang direncanakan. Apa betul? Begitu benak orang-orang itu bertanya. Sebuah kecengangan yang wajar, tentunya. Maklum, baru kali ini ada proyek sebesar itu yang dikerjakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Dengan tingkat efisiensi yang cukup tinggi lagi. Makanya, tidak aneh, kalau dalam pembangunan tol Cawang-Priok ini terentang kisah yang panjang. Ambil contoh, pembuatan lempengan bala "Sosrobahu", yang hanya dikerjakan dengan biaya sekitar Rp 1 juta. Padahal, di luar negeri harga setiap lempeng mencapai Rp 100 juta. Memang, ini bukanlah hasil kerja staf operasi CMNP semata. Sebab, peran PT Krakatau Steel sebagai pemasok baja, dan PT Indocement sebagai pemasok semen, pun turut menentukan. Tapi, seperti dimafhumi banyak orang, apalah artinya kekuatan yang bertumpuk, jika tidak disertai dengan kemampuan koordinasi yang canggih. Penghematan juga terlihat ketika mengerjakan pembuatan cetakan beam. Dan di Indonesia, baru pertama kali inilah terjadi ada pembuatan cetakan beam dengan biaya hanya Rp 40 juta. Sementara, jika membeli dari Singapura, harganya Rp 200 juta. Proyek Jalan Tol Cawang-Tanjung Priok ini juga berhasil memacu hal-hal yang semula masih menjadi hambatan bagi sektor konstruksi. Pabrik-pabrik pengecoran gelagar beam di Indonesia, misainya, sebelumnya hanya mampu berproduksi 700 gelagar (pfer) per lima tahun. Sementara proyek Cawang-Priok ini membutuhkan 300 gelagar setiap bulannya. Atau 30 kali lipat dari kapasitas yang ada. Apa akal? Mbak Tutut pun segera mengumpulkan stafnya untuk berembuk. Di dalam acara ini, berbagai perhitungan, dan metoda baru disusun kembali. Sasarannya, bagaimana cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan gelagar, yang 300 per bulan, tanpa harus mengurangi kualitas. Akhirnya, dengan berbagai penerapan value engineering, dan beberapa perhitungan lainnya, ternyata, dari pabrik-pabrik yang sama bisa diperoleh gelagar sesuai dengan jumiah yang dibutuhkan. "Hai itu pasti tidak akan terjadi, kalau kami hanya meminta, tetapi tidak ikut terlibat," kata Mbak Tutut. Itu semua adalah cerita tentang keterlibatan pelaksana inti CMNP, dalam mengusahakan kerja efektif, di luar perusahaan. Penghematan di dalam perusahaan sendiri, lain lagi ceritanya. Ibu Dirut, yang memang tidak sekadar aktif di daiam rapat-rapat staf -- yang sering dilakukan hingga larut malam, juga aktif meninjau langsung kerja di lapangan. Dan ia terkejut ketika melihat anak buahnya sedang menghancurkan sebuah gelagar. "Kenapa, harga komponen yang dibuat dengan biaya mahal itu dihancurkan?" tanyanya. Dengan tenang, dan lugas, sang penanggungjawab, Arie Prabowo, yang membawahi Divisi Pengendalian Logistik, menjawab. Menurut dia, pembuatan gelagar tersebut tidak dijalankan sesuai dengan yang semestinya. Sehingga, ketika diuji, ternyata gelagar itu tidak memenuhi persyaratan konstruksi. Sebuah keteledoran? Belum tentu. Dan, rupanya, dari pada mencari-cari siapa yang bersalah -- tanpa akan bisa mengembalikan biaya yang telah digunakan membuat gelagar tersebut Mbak Tutut lebih suka mengambil hikmah dari kejadian itu. Kebetulan, dia teringat pada cerita jembatan The Bay Bridge di San Fransisco yang rubuh. Nah, kalau persyaratan konstruksi tidak sesuai, bukankah hal demikian dapat terjadi? Dari kisah itu jelas, kendati mengejar efisiensi, CMNP tak mau mengesampingkan kualitas. Artinya, efektivitas dari produk akhir pun tidak dijadikan sebagai sasaran nomor dua. Efisiensi, juga diterapkan pada penggunaan alat-alat berat. Di sini CMNP tidak banyak melakukan investasi. Walaupun banyak orang bilang, bahwa untuk mempercepat proyek harus digunakan peralatan yang modern. Sedang, yang dipakai, dan yang tersedia hanyalah peralatan yang sudah tua. Lantas apa pendapat karyawan CMNP ketika ditanya oleh Dirut mereka? "Selama alat-alat itu berfungsi, dan tidak menghambat pekerjaan, harus kita manfaatkan secara maksimum." Kekurangan peralatan terjadi pula pada concrete pumps. (Pompa Beton) Bayangkan saja, di Kawasan Jabotabek, hanya ada 20 concrete pumps. Maka, beruntunglah kalau proyek CMNP berhasil menggaet 12 unit di antaranya. Tapi, ternyata, itu masih belum mencukupi untuk mengebut Proyek Cawang-Priok. Maka, Djoko Ramiadji MSc., CE, Direktur Teknik yang merangkap Pemimpin Proyek pun berembuk dengan para staf lain. Dan hasilnya, mereka berhasil memodifikasi Stationary Concrete pumps, untuk memenuhi kebutuhan penyelesaian pekerjaan. Kalau melihat proses yang berlangsung, kendati banyak kendala, tampaknya manajemen sudah ditata sejak awal. Artinya, masalah-masalah seperti pendanaan, hingga soal-soal teknis, mungkin telah diperhitungkan sebelumnya. Sehingga, begitu persoalan muncul, maka pemecahan pun langsung ditemukan. Benarkah semuanya sudah dipersiapkan? Sebagian besar, mungkin, iya. Tapi, ada beberapa hal yang krusial, ternyata muncul belakangan. Tanpa direncanakan sama sekali. Ini terjadi, kebanyakan menyangkut soal-soal manajemen. Perubahan pertama yang terjadi jajaran manajemen -- seperti telah diungkapkan di atas, adalah penggantian Dirut. Nah, sejak itulah kebijaksanaan-kebijaksanaan baru bermunculan. Anglenya, memang tak berubah, efisien dan efektif. Namun, semua orang akhirnya tahu, peran ibu Dirut yang cukup besarlah yang membuat semua itu bisa terjadi. Padahal, ketika Mbak Tutut masih menjabat sebagai komisaris, tak sedikit orang yang melontarkan keraguan mereka akan kemampuan wanita ini. Ada yang bilang, Mbak Tutut cuma punya modal, dan hanya bisa menyediakan dana yang dibutuhkan. Tapi, sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengelola. Kini, dugaan itu terbukti salah. Seperti dikemukakan oleh beberapa bawahannya. "Justru tanpa ibu -- maksudnya Mbak Tutut -- semua ini tak mungkin terlaksana." Pernyataan itu bukan sekadar pujian kosong, dari bawahan kepada atasannya, tampaknya. Lihat saja, setelah sukses dengan Cawang-Priok, CMNP memperoleh tawaran untuk melanjutkan pembangunan jalan pelabuhan -- yang merupakan kelanjutan dari jalan Cawang-Priok. Selain itu, CMNP juga kini tengah bersiap-siap untuk melaksanakan pembangunan jalan di Malaysia. Nah, bukankah munculnya tawaran-tawaran baru itu merupakan keberhasilan pola manajemennya? Suara senada juga dikemukakan oleh Bambang Soeroso, yang menjabat sebagai sekretaris perusahaan -- yang juga adalah Direktur CLP. Menurut dia, Dirut selalu terlibat dalam setiap kegiatan CMNP. Bali, rapat, maupun kerja di lapangan. Jika ada rapat, misalnya, tak jarang wanita yang satu ini meninggalkan suami dan anak-anaknya hingga larut malam. Dan, kalau kebetulan tak bisa menghadiri rapat para bawahannya, "Ibu selalu mengirimkan penganan buat kami. Sehingga, kami merasa dia selalu hadir dalam setiap pertemuan," katanya. Agak aneh, memang, kalau menceritakan tentang rapat dalam sebuah proses pembangunan seperti jalan tol Cawang-Priok ini. Sebab, tentu saja, yang paling berperan dalam proyek seperti ini bukannya meeting, melainkan acting. Dugaan itu, mungkin ada benarnya. Namun, rapat yang digalakkan eksekutif CMNP bukanlah sekadar pertemuan debat kusir, yang tak menghasilkan apa-apa. Justru, dari sinilah munculnya ide-ide baru untuk mempercepat jalannya proyek. Hal ini khususnya yang menyangkut masalah teknis, tentunya juga mendapat pengarahan-pengarahan dari para pakar-pakar senior konstruksi Indonesia. Selintas, memang manajemen yang dilaksanakan CMNP tak berbeda dengan manajemen proyek konstruksi lainnya. Network planning, ada. Delegation of autbority, juga tak ketinggalan. Hanya, mungkin, bedanya CMNP melaksanakan dan menerapkannya secara konsekuen. Di samping itu, di sana-sini juga dilakukan beberapa penyempurnaan agar lebih sesuai dengan besar dan tuntutan dari pekerjaan yang dihadapi. Sebuah manajemen gaya baru? Tampaknya, bisa dibilang begitu. Maklum tak sedikit staf CMNP -- yang kebanyakan terdiri dari tenaga usia muda itu, yang berpengalaman bekerja pada kontraktor asing. Mereka dengan tegas menyatakan, bahwa manajemenlah yang membedakan kontraktor asing dengan kontraktor nasional. "Saya beruntung, bahwa dalam proyek ini saya diback up oleh orang-orang yang bukan hanya ahli di bidangnya, tapi juga manajer-manajer yang terampil," kata Mbak Tutut suatu ketika. Djoko Ramiaji, sang Pimpinan Proyek, misalnya, memiliki reputasi di proyek-proyek terdahulu sebagai Pimpro yang keras terhadap kontraktor. Sikap itu dibawanya ke CMNP. Dan Djoko, tak bisa memaafkan jika ada pekerja yang mengulur waktu, dengan dalih apa pun. Begitu pun staf-staf teknik lainnya, yang rata-rata masih berusia di bawah 40. Mereka, merupakan pekerja-pekerja keras. Padahal, eksekutif di perusahaan mana pun menyadari, bahwa mengatur pekerja usia muda, tidaklah semudah mengkoordinasikan staf yang sudah berumur. Apalagi, para anak muda itu datang dari budaya perusahaan yang berbeda-beda. Maka, makin sulitlah manajemen untuk mengaturnya. Mereka adalah pekerja lapangan, bukan orang yang doyan rapat. Tentang rapat ini ada ceritanya tersendiri. Orang-orang lapangan, semula menganggap rapat itu tidak perlu. Yang penting adalah action, alias tindakan, kata mereka. Maka wajar, ketika Pimpro menjadualkan rapat harian, orang-orang ini jadi ogah-ogahan. "Wah, NATO (No Action, Talk Only) nih," komentar orang-orang lapangan itu. Tapi, untunglah, Djoko Ramiaji yang terkenal keras itu berhasil membudayakan rapat di lingkungan anak buahnya. Mereka, bisa diyakinkan bahwa rapat-rapat yang dilakukan bukan sekadar 'NATO'. Melainkan, merupakan ajang pemecahan soal yang muncul setiap hari. Apalagi, Tol Cawang-Priok bukanlah proyek kecil, karena setiap harinya menyerap investasi sampai Rp 300 juta. Maka, monitor langkah maju perlu dilakukan setiap hari. Here and now, begitulah sikap yang telah berhasil dikembangkan. Artinya, setiap muncul masalah, langsung dipecahkan saat itu juga. Tidak lagi harus menunggu kebijaksanaan, atau keputusan atasan. Dengan kata lain, setiap masalah yang muncul tidak dibiarkan berusia panjang, atau dipupuk hingga menunggu besar, tapi langsung diatasi hari itu juga. Selain harian, ada juga rapat lain yang dilakukan setiap tiga hari. Di sini, staf engineering berkumpul untuk membicarakan masalah-masalah teknis. Ir. Roespinoedji sebagai Chief Engineer selalu melakukan evaluasi. Baik dalam rapat harian, maupun tiga harian, pemimpin proyek selalu hadir. Bahkan, kendati tidak mengerti soal-soal teknis, Mbak Tutut sebagai Dirut pun tak jarang muncul dalam pertemuan seperti ini. Pola yang lebih jelas dalam urusan manajemen ini adalah terbentuknya organisasi segitiga: Pimpinan Proyek, General Superintendant yang dijabat oleh Ir. Thamrin Tanjung -- dan Chief Engineer. Mereka menyatu dalam sebuah tim manajemen, dan tidak terpecah-pecah dalam lapisan-lapisan. Ini, jelas, berbeda dengan yang terjadi secara umum. Sebab, biasanya, Chief Engineer selalu di bawah Pimpinan Proyek, dan General Superintendant di bawah Chief engineer. Nah, penggabungan ketiga unsur itulah yang membuat CMNP berhasil meraih tingkat efisiensi biaya dan waktu yang sangat mencolok. Kenapa? Sebab di sini banyak lapisan-lapisan manajemen hilang, yang berarti memangkas jenjang yang biasanya memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Ambil misal, kedudukan Pimpinan Proyek yang merangkap Direktur Teknis. Ini berfungsi untuk mengurangi satu lapisan manajemen, yang bisa menghindari tumpang tindihnya pekerjaan dan pemborosan waktu. Lebih dari itu, dalam proyek ini tak ada pengertian bowbeer datang meninjau proyek, karena Pimpinan Proyek adalah wakil bowbeer yang berada langsung di lapangan. Sehingga, jalur pelaporan pun bisa dilakukan tanpa melalui ajang birokrasi. Tetapi mengapa rapat-rapat proyek itu bisa terlaksana sedemikian produktif? Jawabnya, karena mereka bisa memutuskan sendiri, bersama-sama dalam forum rapat, tanpa harus mengeskalasikan persoalan kepada atasan. Desentralisasi diterapkan dengan serius dalam manajemen. Sebuah kebijaksanaan yang cukup berani, tentunya. Maklum, sekali lagi, ini bukan proyek kecil. Tapi, seperti diakui Ibu Dirut, sikap ini timbul karena sebagai pucuk pimpinan dia memiliki kepercayaan yang bulat kepada para staf pelaksananya. "Saya tak ingin mengikut 'budaya kontrol', yang sering dilakukan oleh para pemimpin konvensional," katanya. Tapi, ingat, dengan sikap itu tidak lantas berarti kontrol itu tak penting. Pengawasan tetap dilaksanakan dengan sistem obvious -- selalu mengikuti gerak bawahan. "Orang-orang di bawah akan merasa hilang kepercayaan kalau mereka selalu merasa dibuntuti." itulah prinsip yang tetap dipegang manajemen CMNP. Lantas, bagaimana kontrol cara obvious itu dilaksanakan? Mudah saja. Salah satunya dengan cara uji petik. Tentang pengawasan ini, "Saya mencontoh apa yang pernah diutarakan Bapak kepada saya," kata Mbak Tutut. Nah, karena Sang Bapak yang menjadi 'Konsultan pribadi' ini berasal dari desa yang masih agricultural-bound, maka wajar kalau kisah-kisah yang disampaikan kepada anak-anaknya pun hanya berkisar pada tanaman dan binatang. Misalnya saja, pada suatu hari ia berceritera tentang teknik mengontrol sebuah tunas yang baru dipindahkan. Untuk mengetahui tingkat kesuburannya jelas, tak perlu menghitung berapa banyak akarnya bertambah. Sebab, dengan cara seperti itu, sang tunas malah akan mati -- karena setiap hari mesti dicabut. Jadi, cukuplah dengan menghitung berapa jumlah daun muda yang tumbuh. Itulah sistim yang dipakai Tutut, selama memimpin proyek Cawang-Priok. Ia selalu menunggu sampai persoalan muncul dalam bentuk laporan. Setelah itu, persoalan dengan langsung dikembalikan kepada manajer yang berwenang untuk ditanggulangi. Di sini jelas, management of autbority, alias pelimpahan wewenang dipakai benar. Dengan cara itu, para staf hanya tahu, bahwa dalam proyek ini hanya ada satu kapten, yakni Pimpinan Proyek. Dan pimpinan proyek-lah yang bertugas membuat laporan kepada direksi. Lantas hasil dari menajemen seperti itu? Sudah banyak. Selain efisiensi seperti dalam pembuatan gelagar, ada yang lebih besar dari itu, yakni penemuan teknologi "Sosrobahu". Inilah sebuah loncatan teknologi konstruksi jalan layang di Indonesia. Bahkan, boleh dibilang, Sosrobahu-lah salah satu sisi yang paling positif dari Proyek Jalan Tol Cawang-Priok. Maklum, mulai dari masa tender hingga pelaksanaan proyek berlangsung, banyak pihak yang menganggap sepele manajemen CMNP. Seperti dikemukakan di awal cerita, tak banyak orang yakin akan kemampuan CMNP menyelesaikan proyek besar ini. Bahkan sebagian besar, nyaris mengungkapkan pendapatnya dengan nada yang pesimistis. Tapi, tengoklah ketika Ir. Tjokrda Raka Sukawati menemukan Sosrobahu. Maka, mata semua pihak pun terbuka. Dan antara percaya dan setengah percaya, mereka menyaksikan sendiri bahwa Proyek Tol Cawang-Priok bukan sekadar tempat menikmati proyek, tapi juga merupakan 'laboratorium' bagi ahli-ahli konstruksi. Bukan sebuah kebetulan, memang, kalau Raka menemukan Sosrobahu. Insinyur kelahiran Bali ini, pada dasarnya, sudah mempunyai ide ketika ia bergabung dengan CMNP. Yang dipikirkannya adalah, bagaimana membangun jalan layang di lokasi lalu lintas yang seramai Cawang-Priok. Ujung-ujungnya, sebuah ide muncul dibenak Raka, yakni gagasan untuk memakai sistem pier bead gantung untuk memudahkan pekerjaaan. Hanya saja, ketika dirundingkan dengan beberapa staf ahli, gagasan itu mentok. Karena selain akan menelan biaya yang cukup besar, beberapa peralatan yang dibutuhkan pun tak tersedia di Indonesia. Tapi, itu tidak berarti Raka terus putus asa. Sebuah ide, yang boleh dibilang sangat spekulatif menimpali kegagalannya pada ide yang pertama. Entah bagaimana proses yang berlangsung di kepalanya, yang pasti, Raka menyarankan agar yang namanya pier bead bisa diputar. Caranya, semula pier bead dibangun sejajar dengan jalan, agar tak menggangu lalu-lintas. Nah, setelah selesai, baru pier bead itu diputar agar kedudukannya melintang jalan. "Wah!, itu gagasan orisinal," teriak Ir. Wiyoto Wiyono, salah seorang Kabag di Ditjen Bina Marga, yang namanya diabadikan di Jalan Tol Cawang-Priok, karena beliau telah almarhum. Kendati demikian, toh Wiyoto juga yang mengantar Raka menemui Menteri PU, Ir. Suyono, untuk merembukkan gagasannya. Di sinilah, insinyur kelahiran Bali ini kembali mendapat dukungan. Bahkan, Menteri sendiri yang meminta agar Raka mengembangkan idenya, dengan perhitungan-perhitungan yang cermat. Sukses? Belum. Percobaan pertama yang dilakukannya November 1987, gagal total. Tapi, ia tidak putus asa. Ia kembali mengulang perhitungannya, dan melakukan beberapa perubahan mekanisme. Rumus-rumus yang digunakannya adalah rumus-rumus linier untuk memudahkannya menghitung kembali dalam skala yang lebih besar. Sungguh, semua itu dilakukannya atas dasar kemauan dan biaya sendiri. Akhirnya, Raka berani mengajukan gagasan tersebut pada sidang staf teknis. Pada ajang ini, perdebatan sengit terjadi. Untunglah Djoko Ramiadji, sebagai Pimpinan Proyek punya naluri tajam. Dia yakin, gagasan Raka telah didukung oleh perhitungan-perhitungan yang matang. Makanya, Djoko berani memutuskan untuk mencoba formula itu pada gelagar nomor 71. Keputusan yang cukup revolusioner, memang. Sementara, Ibu Dirut yang memang kurang memahami teknik konstruksi itu, hanya mampu menyimak apa yang dibicarakan stafnya. Tapi, ketika Pimpro sudah membuat keputusan sementara -- karena masih disebut sebagai percobaan -- Mbak Tutut hanya mengajukan satu pernyataan, "Kalau Ir. Raka sudah yakin betul akan penemuannya, sebaiknya tidak perlu ditunda-tunda." Hanya beberapa hari setelah keputusan tersebut, tepatnya 27 Juli 1988 malam, sistem landas putar bebas hambatan itu dicobakan pada gelagar 71. Semua pemirsa tegang, karena mereka berharap-harap cemas untuk berhasil. Pun Raka sendiri, tampak, begitu tak tenang. Maklum, kalau percobaan itu sampai gagal, dialah yang akan paling banyak menanggung malu. Ternyata, berhasil. Dan keesokan harinya, semua media massa menulis tentang keberhasilan tersebut. Bahkan, presiden sendiri langsung mengucapkan selamat atas keberhasilan tersebut. Dan beliau berkenan untuk menyaksikan sendiri hasil penemuan Bangsa Indonesia itu. Semua merasa lega. Tapi, bukan hanya karena presiden dan Menteri-Menteri Kabinet Pembangunan Lima ikut menyaksikan pemutaran Pier Head. Juga tidak hanya lantaran Presiden yang memberi nama teknologi itu dengan Sosrobahu. Kelegaan lebih meledak, karena penemuan ini bisa dijadikan sebagai bukti bahwa kontraktor nasional pun mampu melakukan pekerjaan, yang semula sangat disangsikan bisa tercapai. Lebih dari itu, secara nyata, Jalan Tol Cawang-Priok mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, yakni sebagai jembatan antara sentra-sentra produksi, dan jalur distribusi barang yang selalu meramaikan pelabuhan Tanjung Priok. Bukan omong kosong. Sebagai contoh, pada 1985, volume lalu lintas harian rata-rata pada ruas Cawang-Tanjung Priok telah mencapai 57 ribu lebih kendaraan roda empat per hari. Sementara kapasitas jalan by-pass yang ada telah mencapai titik kritis tingkat kemacetan. Atau dengan kata lain, di setiap persimpangan selalu terjadi antrean yang cukup panjang. Nah, dengan Jalan Tol Cawang-Priok, yang memiliki kapasitas 99 ribu kendaraan roda empat per hari inilah diharapkan semua kendala yang menghambat arus barang bisa teratasi. Belum lagi kalau ditambah dengan kemampuan tampung jalan arteri, yang akan digarap, dengan kapasitas 75 ribu kendaraan. Sehingga, dengan fasilitas-fasilitas jalan itulah, manajemen CMNP berharap hingga tahun 2010 jalur itu tak akan mengenal macet. Artinya, Jalan Layang Cawang-Priok tidak hanya sekadar dilihat sebagai bangunan fisik belaka. Lebih dari itu, ini merupakan monumen kebangkitan batu bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang optimistis, dan bangsa yang berkemauan tinggi. Dan rumus untuk itu, seperti yang dituturkan dia atas, hanya ada satu, "Sekali layar terkembang, surut kita berpantang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini