ADA segumpal api abadi di selatan Sudan. Di sana, 150 tahun silam, Khalif Yusset yang bijak bestari mengalunkan ayat-ayat Allah kepada murid-muridnya yang duduk mengelilingi perapian. Lahirlah Omdohoban. Inilah kota yang punya arti "tempat yang bercahaya". Sinar Omdohoban menembus ke berbagai negara tetangga. Seperti magnet, tempat ini menarik pemuda-pemuda Mali, Mauritania, dan bahkan Niger. Mereka datang untuk belajar memahami Quran. Sejarah Islam di Sudan memang lebih tua dari Khalif Yussef dan Omdohoban. Kehadirannya bermula pada abad ke-7 Masehi, bersamaan dengan kedatangan kaum nomad. Dan Islam mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Waktu itu, di bawah pimpinan Muhammad Ahmed Abdallah yang dikenal sebagai Mahdi ("yang akan datang sesudah Rasullulah"), ajaran agama ini jadi kekuatan pemersatu melawan penjajahan Turki dan Mesir. Bahkan dari Islam pula Sudan mengambil pemimpin-pemimpinnya yang cakap. Omdohoban, dengan disiplinnya yang keras, merupakan salah satu institusi paling disegani. Wejangan Khalif Osman, Kepala Sekolah Quran Omdohoban, bukan didengar muridnya saja, tapi juga oleh mereka yang berkuasa di Sudan. Sementara itu, di Afrika Selatan, Islam dan perjuangan manusia hampir tanpa jarak. Tiga abad silam, orang Belanda menggiring bangsa Melayu dan India ke atas kapal untuk jadi budak. Kini, setengah juta muslim di Capetown berasal dari bibit keturunan mereka. Bersama orang hitam, muslim di Afrika Selatan adalah mereka yang menentang kekejian politik apartheid. Masjid Simonstown ditutup. Kawasan penduduk Melayu digusur. Semua itu dinyatakan untuk kepentingan orang kulit putih. Maka, api Islam berubah bukan cuma bagian dari spirit muslim di Afrika Selatan. Agama ini, dan ajarannya, bahkan membentuk kekuatan untuk menentang kebuasan politik apartheid. Seperti "tempat yang bercahaya" tadi, di Sudan, api Islam tambah bersinar di selatan Afrika. Karena itu, ketika terbit Hari Kemenangan, Lebaran, disambut pula dengan takbir yang bergema di mana-mana. Ya, Tuhan. Hangatnya terasa di mana-mana ... Yudhi Soerjoatmodjo dan Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini