Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Orang indonesia di negeri koloni

Sejumlah orang indonesia di hong kong menaruh harapan setelah hong kong di tangan cina tahun 1997, dunia bisnis tak berubah. ada pengekspor makanan, buah-buahan, ada juga yang terjun di perbankan.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA Anda ingin melihat bebek Anda bertelur emas, bawalah milik Anda itu ke Hong Kong. Ini bukan sejenis takhayul, mungkin lebih tepat semacam sonji, ramalan buat angka lotere. Dan sonji satu ini mudah ditebak: bebek di situ maksudnya modal. Memang, tak cuma satu dua pengusaha, tapi banyak, yang percaya bahwa Hong Kong adalah lahan subur untuk menanam modal dan usaha bagi siapa pun, tanpa peduli latar belakang ras dan kewarganegaraan. Di pulau koloni milik Inggris ini (sampai 1997 nanti), pengusaha siapa pun, entah hitam atau kuning atau putih atau cokelat kulitnya, memperoleh perlakuan sama dari kantor pajak cukup 16,5% (dari keuntungan bersih) untuk semua jenis usaha. Syahdan, di antara gedung-gedung tinggi di pulau yang sesak itu, di antara transaksi-transaksi kredit dan jual-beli komoditi, di antara kesibukan pasar swalayan, adalah sejumlah orang Indonesia. Yang dimaksud bukan turis-turis yang siap membuang uang untuk beberapa jenis kemewahan dan suvenir. Tapi sejumlah orang Indonesia yang memegang peran utama dalam bisnis, dan perannya itu diperhitungkan oleh kalangan bisnis di sana. Dalam catatan terakhir, pemegang paspor RI ada sekitar enam ribu, dan yang berstatus pemegang Certificates of Identity (CI) sekitar 200 ribu orang. Mereka, berdasarkan data Indonesia Club of Hong Kong 1989, terbagi dalam 450 usaha bidang elektronik, tekstil, kimia, bisnis eceran, trading (ekspor-impor) produk pertanian, produk rekayasa, keuangan, makanan, perkapalan, kayu, biro perjalanan, dan sebagainya. Beberapa di antara usaha itu diakui memiliki reputasi sebagai kekuatan bisnis yang unggul. Umpamanya Tugu Insurance Company Ltd., yang lahir di Hong Kong pada 1965, dan sekarang tumbuh sebagai perusahaan jasa asuransi yang termasuk dalam tiga besar -- dua lainnya dari AS (AIU) dan RRC (Ming An). Bahkan Tugu Insurance, dengan omset US$ 15 juta per tahun, di koloni itu cepat dikenal: satu-satunya yang memberikan jasa asuransi penerbangan. Tugu Ltd. berangkat dari asuransi untuk instalasi penambangan minyak dan gas, produk minyak, dan kapal-kapal pengangkutnya. Perusahaan yang berkantor megah di Sunning Plaza ini sejak 1986 telah menghasilkan perangkat lunak untuk perusahaan asuransi -- meliputi Insurance Agency Account System dan General Insurance Turnkey System. Termasuk dalam daftar pembeli pertama adalah Dharmala Group dan AGF (Assurance General de France, maskapai asuransi termasuk top di Prancis). Produk perangkat lunak itu lahir melalui subsidiarinya, TIMS System Solutions Ltd. Tugu didirikan oleh Pertamina dan beberapa pribadi, yang sengaja memilih Hong Kong karena waktu itu, 1960-an, lalu lintas devisa di Indonesia sendiri diatur ketat oleh pemerintah, alias keleluasaan usaha di bidang ini kurang menguntungkan. Kecuali alasan itu, Hong Kong dipilih juga berdasarkan pertimbangan pajak. "Di sini pajaknya ringan dan jelas aturannya," kata General Manager Tugu Soerjadji Soemardjo. Maksud Soerjadji, keuntungan tertahan untuk investasi tidak dikenai pajak. Dan pajak untuk keuntungan berlaku sama, untuk perusahaan asing atau milik orang lokal. Dengan demikian, kesempatan untuk mengembangkan diri terbuka luas. Jumlah modal, keuntungan, dan premi yang diperolehnya terus bertambah besar. Sehingga total aset pada 1988 mencapai US$ 106.097.318 -- naik US$ 4 juta lebih dibandingkan tahun sebelumnya, 1987, yang US$ 102.540.748. Pada 1987, sebagian saham/Tugu Ltd. dibeli oleh Tugu Pratama. Komposisi pemilikan saham kemudian menjadi: Pertamina 47,5%, Tugu Pratama 25%, dan selebihnya Nusamba (di dalamnya Yayasan Darmais dan Supersemar). Tugu Pratama sendiri, yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, bertindak sebagai subsidiari. Tugu Insurance mendapatkan sumber bisnisnya 65% dari Indonesia, selebihnya dari pasar internasional (misalnya Hong Kong sendiri, Taiwan, Korea, Filipina, dan Malaysia). Yang dari Indonesia itu 50%-nya diperoleh melalui Tugu Pratama, Jakarta. Soerjadji memiliki target, dalam dua atau tiga tahun lagi, perbandingan antara nasabah yang dari Indonesia dan yang dari negara-negara lainnya diusahakan menjadi 50:50. Dan sebenarnya, katanya, "Yang 35% itu sudah saya rintis sejak tiga tahun lalu." Soerjadji, 56 tahun, berpengalaman di Pertamina 21 tahun, merupakan orang Indonesia pertama di kursi manajer puncak Tugu Insurance. Para pendahulunya semua non-Indonesia. Ia duduk di situ sejak empat tahun lalu. Sebagai perusahaan yang terdaftar dan memiliki basis operasi di Hong Kong, Tugu Insurance juga mengalami problem sebagaimana layaknya yang lain. Yakni menghadapi 1997, ketika nanti secara resmi koloni itu oleh Inggris dipasrahkan kepada RRC. Salah satunya, dan memang sudah terjadi, adalah ancaman brain drain. "Sudah tiga orang dari staf kami keluar karena beremigrasi ke Kanada," tutur Soerjadji. Gejolak ekonomi Hong Kong akibat perpindahan kekuasaan nanti belum bisa dilihat oleh Soerjadji. Sebaliknya ia optimistis bahwa keadaan belum tentu seburuk yang disangka. Ia percaya, Hong Kong yang bebas dan kompetitif untuk bisnis justru akan menguntungkan RRC. "Bagaimanapun, Cina tak akan membunuh angsanya yang bertelur emas," katanya. Dan ketegangan akibat peristiwa Tiananmen 4 Juni itu pun tidak membuat pimpinan Tugu Insurance ini berkurang nyalinya. Ia punya harapan, dalam dua tahun ini hubungan RRC dengan dunia internasional membaik. "Kalau tidak juga, ya, saya minta pengarahan lebih lanjut dari Jakarta." Optimisme yang sama juga dimiliki oleh kalangan perbankan dan lembaga keuangan non-bank Indonesia di sana. Yang mengisyaratkan demikian E.C.W. Neloe, Kepala Perwakilan Bank Dagang Negara (BDN) di Hong Kong yang merangkap sebagai Ketua Asosiasi Bankir Indonesia di Hong Kong (HIBA, Hong Kong Indonesian Bankers Association, dibentuk 1987). Kata Neloe, "Dalam menangani Hong Kong, Cina tak mungkin melakukan langkah mundur, setback, yang akan merugikan mereka sendiri." Dengan demikian, kegiatan perbankan diharapkan akan tetap subur di situ. Dan sejauh Basic Law yang disahkan Kongres Rakyat Nasional RRC tiga pekan silam bisa dipercaya, kehidupan bisnis di Hong Kong tampaknya tak akan dihalangi, akan tetap dibiarkan tumbuh. Hong Kong dijamin otonominya, kecuali untuk pertahanan dan hubungan luar negeri. Mungkinkah ekonomi berjalan sebaik sekarang bila tak ada lagi demokrasi politik, bagi sebagian orang, itu soal nanti. Di kawasan yang kini memberi kelonggaran besar itu, kegiatan perbankan bermodal Indonesia secara total telah berhasil masuk dalam tiga besar, bersama kelompok dari Jepang dan AS. Boleh dibilang, semua bank pemerintah -- terakhir masuk Hong Kong adalah BRI pada pertengahan Februari lalu, dan Bapindo awal Mei ini merencanakan ikut buka kantor -- sudah pasang tangan di koloni itu. Ditambah lagi dengan deretan bank swasta yang namanya kini lagi naik -- seperti Bank Duta, Lippo, Bank Niaga, BII (Bank Internasional Indonesia). Mereka memang telah memanfaatkan peluang dengan baik, terutama setelah Pemerintah RI pada 1986 melonggarkan peraturan dengan memberikan izin investasi di luar negeri sampai maksimal 30% dari total kekayaan. Tapi, dari barisan itu, hanya satu yang berfungsi sebagai bank cabang, ialah Bank BNI (yang dulu bernama BNI 1946). Dan sebuah lagi yang seratus persen basisnya di Hong Kong, yakni The Hong Kong Chinese Bank (THCB), sebagai bagian dari Lippo Group (pemilik 65% saham) yang bekerja sama dengan Liem Sioe Liong (35%). Bank ini, sebelum diambil alih (dibeli HK$ 700 juta) oleh Lippo dan Liem pada 1984, merupakan usaha yang pailit, sehingga diambil oleh Pemerintah Hong Kong. Begitu berada di tangan Lippo dan Liem, keuntungannya, yang pada 1984 baru HK$ 2 juta, melonjak jadi HK$ 27 juta pada 1988, dan bertambah lagi jadi HK$ 50 juta pada pertengahan 1989. Direktur Eksekutif THCB Stephen Riady, 31 tahun, makin mengembangkan sayap usahanya. Yaitu dengan menambah kegiatannya dengan kredit konsumtif (consumer banking), sekaligus tetap mempertahankan usaha yang sudah ada, yakni dalam kredit usaha (coporate banking). Citranya makin baik, apalagi setelah pada perayaan memasuki Tahun Kuda Februari lalu, THCB berhasil memenangkan kontrak sebagai sponsor pelaksanaan pesta kembang api (dengan biaya HK$ 3 juta). Lembaga-lembaga keuangan lain milik pemodal Indonesia adalah dalam bentuk DTC (Deposit Taking Company, semacam LKBB -- Lembaga Keuangan Bukan Bank). Sebagai laiknya lembaga keuangan perantara, operasi DTC antara lain memberikan pinjaman untuk investasi, modal kerja, kegiatan ekspor-impor (terrnasuk buka LC), dan kegiatan bank komersial lainnya. Hanya saja, lembaga ini tak diberi hak mengeluarkan cek giro, seperti bank. DTC yang termasuk besar meliputi Bumi Daya International Finance Ltd. (total aset hampir HK$ 2 milyar), Indover Summa Finance Co. Ltd. (d/h Summa International Finance Co. Ltd., aset hampir HK$ 1,3 milyar), Staco International Finance Ltd. (milik BDN, asetnya mendekati HK$ 950 juta), BEII (DTC) Ltd. (milik Bank Exim, dengan aset kurang dari HK$ 900 juta), dan Niaga Finance Co. Ltd. (milik Bank Niaga, aset lebih dari HK$ 700 juta). Ini berdasarkan data pertengahan tahun silam. Neloe, lelaki kelahiran Timor 44 tahun lalu, mengatakan bahwa secara umum kegiatan lembaga-lembaga keuangan tersebut terutama mendukung kegiatan perdagangan (trade financing) dan perdagangan valuta. Karena itu, lembaga-lembaga tersebut lebih banyak mengakomodasikan para wiraswasta di Hong Kong yang melakukan bisnis dengan Indonesia dan sebaliknya. Kalaupun lembaga itu memberikan pinjaman untuk investasi, modal itu larinya ke Indonesia juga. Maka, menurut Neloe, "Tujuan lain dari kegiatan perbankan tersebut adalah menarik investasi ke Indonesia." General Manager Duta International Finance Farid Rahman, 31 tahun, mengatakan bahwa 30% dari seluruh kegiatannya adalah menopang kegiatan usaha. Dan dari jumlah itu, 90% kegiatan usaha ke Indonesia dan sebaliknya. "Sekarang kami mulai mendekati nasabah Bank Duta Jakarta yang melakukan kegiatan usaha dengan Hong Kong," kata Farid. Langkah seperti itu memang menguntungkan nasabah dan bank. Karena urusan jadi lebih ringkas dan biaya-biaya bank masuk ke satu kantung, tidak lari ke bank lain. Niaga Finance Co. Ltd. juga meningkatkan kegiatan semacam itu. "Kami di sini merupakan tangan panjang Bank Niaga Jakarta," kata Paulus Wiranata, 35 tahun, general managernya. Bahkan Niaga Finance melepas 50% asetnya untuk kegiatan kredit perdagangan. Pertumbuhan Hong Kong memang banyak bergantung pada perdagangan, menyangkut impor dan reeskpor. Dari kegiatan impor, menurut Neloe, hanya 40% yang memenuhi pasar domestik. Selebihnya, 60%, untuk diekspor kembali. Dalam kegiatan impor dan reekspor tersebut, ada kelompok komoditi yang tak dinyana relatif berjumlah besar didatangkan dari Indonesia. Yakni makanan. Makanan itu kemudian dipasarkan di toko P & D dan jaringan pasar swalayan di pelbagai wilayah Hong Kong. Pengimpor terbesar khusus makanan ini pun merupakan perusahaan dagang yang didirikan oleh orang Indonesia yakni Sixfifteen atau tepatnya Sixfifteen Imports-Exports Ltd. dan Sixfifteen Trading Co. (Pusat Makanan dan Minuman Asia Tenggara). Logo perusahaannya cukup 615, berlatar merah, dalam bentuk oval. Pendiri 615 adalah Yeung Ping, asli Pasuruan, Jawa Timur (anak mendiang Njoo Tjhay Kwee, pendiri pabrik enting-enting jahe yang tersohor itu). Yeung Ping, kini 53 tahun dan tetap selalu tampak fit, memulai 615 seorang diri pada 14 tahun lalu. Jumlah LC pertama yang dibukanya cuma HK$ 5.000. Yeung Ping, yang masih menjaga hubungan baik dengan kalangan universitas dan gemar membaca karangan ilmiah ini, kini memimpin 18 orang staf. Perusahaannya sudah mengadakan komputerisasi, terutama untuk mengurus invoice. Aset 615 kini HK$ 5 juta. Untuk mendatangkan makanan dan buah-buahan dari Indonesia, 615 tidak selamanya langsung berhubungan dengan para pemasoknya. Belakangan perusahaan ini menjalin kerja sama dengan PT Wira Aksara (untuk segala macam makanan) dan PT Gayung Mas (buah-buahan), dengan pelabuhan pemuatan (loading) Surabaya dan Jakarta. Jenis makanan yang diimpor 615 digolongkan dalam tujuh kategori, dari kembang gula, snack (keripik pisang, belinjo manis), biskuit & kue (lapis legit), spices (bumbu pecel, gado-gado, kecap manis), crackers (kerupuk udang), makanan kalengan, sampai buah dan sayuran segar (bahkan petai). Kini Yeung Ping melangkah mendatangkan bunga segar. Bahkan pernah mengimpor duren, sekali. Kata Yeung, impor duren ini terhenti karena masalah pengangkutan. Apakah karena soal bau atau yang lain, ia tak bersedia menjelaskan. Jumlah makanan yang didatangkannya dari Indonesia tiap bulan rata-rata tak kurang dari 30 ton, itu belum termasuk ginger candy alias enting-enting jahe (minimal 1 ton), dan buah-buahan segar (4 sampai 5 ton). Dalam pengedarannya, kecuali memanfaatkan toko milik sendiri di North Point dan Kuntong, 615 bekerja sama dengan jaringan pasar swalayan yang terbesar di Hong Kong, seperti Yaohan, lalu Chinese Imperium (yang memiliki 70 toko dan superrnarket), dan hotel serta restoran. Nilai transaksi 615 untuk makanan saja setiap bulannya bisa mencapai HK$ 800.000. Omset 615, menurut Yeung Ping, sudah mencapai HK$ 2 juta per bulan. "Tiap tahun rata-rata mendapatkan kenaikan 20%," tambahnya. Maka, dalam kegiatan usahanya, Yeung Ping hampir tanpa keluhan, kecuali menghadapi beberapa kelemahan dari Indonesia. Misalnya, sejumlah perusahaan yang menjual makanan kepadanya masih belum melengkapi data produk, seperti tanggal kedaluwarsa dan berat neto. Ditambah lagi dengan ongkos angkut yang mahal dan stabilitas harga yang sering naik tanpa pemberitahuan lebih dulu. Akibatnya, katanya, produk makanan dan buah Indonesia harus bersaing keras dengan yang dari Muangthai atau Filipina. Sebagai Pusat Makanan dan Minuman Asia Tenggara, 615 memang mengimpor tidak hanya dari Indonesia. Kalau kenyataannya jumlah yang didatangkan dari Indonesia jauh lebih banyak (pada tahun fiskal 1989-1990 sebanyak 67%, senilai US$ 708.190) ketimbang dari negeri ASEAN lainnya, Yeung Ping punya alasan begini: "Karena saya tumbuh dan pernah minum air di Indonesia." Pada awal 1960-an dulu, Yeung Ping berangkat ke Fujian, RRC, karena ingin meneruskan kesukaannya menekuni piano. Tapi karena Revolusi Kebudayaan, yang antara lain mengutuk permainan piano sebagai kebudayaan borjuis, Yeung Ping ikut tergusur. Pendidikan piano klasik tak bisa diteruskannya. Ia dikirim ke kawasan perkebunan Fujian dan disuruh mencangkul selama 10 tahun. Revolusi Kebudayaan bangkrut, pada 1976, Yeung Ping pindah ke Hong Kong dan merintis impor makanan dari Indonesia -- ia mengaku rindu segala macam makanan Indonesia. Menghadapi 1997? Yeung Ping, ayah tiga orang anak itu, mengaku tetap optimistis. Sekaligus ia tetap berterus terang, bahwa peristiwa di Tiananmen 4 Juni lalu telah membuat usahanya merosot 15%. Untung saja, ia segera makin melebarkan sayap ke negara-negara lain, misalnya mengekspor kerupuk udang ke Prancis. Akibatnya, kegiatan reekspor ini meningkat sampai 50% dari seluruh impornya. Maka, ia bisa terus menekuni kegemarannya bermain piano, sambil membuat aransemen sejumlah lagu Indonesia, di antaranya Bengawan Solo. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus