Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Keresahan di tengah hutan beton

Hong kong akan diserahkan cina pada tahun 1997. timbul kecemasan setelah peristiwa pembantaian tianan men di cina. sejumlah orang sibuk mencari negeri baru. ada yang frustasi, peramal nasib laris.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"TAK ada lagi yang berbicara tentara kesetiaan," kata seorang pemilik perusahaan konstruksi. "Di masa seperti ini semua orang memikirkan dirinya sendiri." Hong Kong, artinya Pelabuhan Wangi, kini lebih tepat disebut pelabuhan yang resah. Tujuh tahun lagi pulau koloni Inggris itu akan kembali ke tangan Pemerintah RRC. Dan itu, siapa pun tahu, tak cuma soal ganti bos. Sejak tahun lalu, tepatnya sejak terjadi penumpasan demonstrasi prodemokrasi di Beijing, 4 Juni, arus imgrasi dari Hong Kong ke, antara lain, Kanada, AS, Australia, Inggris terus naik. Benar, sejak 1984, ketika Inggris setuju menyerahkan kembali Hong Kong kepada Cina pada 1997, arus imigrasi dari koloni yang lebih dari 95% warganya keturunan Cina itu, mulai tampak. Sejak itu rata-rata tiap tahun 20.000 warga Hong Kong eksodus ke negeri lain. Tahun lalu, angka itu sudah terlampaui, dan berdasarkan permintaan visa dan lain-lain, tahun ini diduga lebih dari 50.000 orang Hong Kong akan pindah negeri. Yang menimbulkan suasana resah, kepindahan itu bukanlah kepindahan damai. Ada yang, pindah secara tiba-tiba, tanpa memberi tahu sanak keluarga. Seorang dokter di sebuah rumah sakit pemerintah suatu hari tiba-tiba menyadari bahwa beberapa pasiennya yang sudah lanjut usia tak pemah lagi ditengok oleh keluarganya. Dokter itu kemudian tahu, keluarga si pasien sudah hidup di luar negeri. Kenyataan ini sungguh menyakitkan bagi para orangtua. Ini pelanggaran adat yang luar biasa bagi tradisi Cina: orangorang muda tak lagi peduli pada nasib orangtua mereka. Tapi pecahnya keluarga, karena sebagian begitu cemas terhadap masa depan dan ingin segera pindah, sementara ada anggota keluarga yang karena suatu sebab masih harus tinggal di Hong Kong, sungguh menyedihkan. Tujuh tahun mungkin bukan waktu yang lama, tapi berpisah selama itu dengan anak-istri memang bisa bikin senewen. Inilah dampak "program astronaut" yang dijalankan oleh sejumlah perusahaan besar. Menyadari tak tercegahnya arus imigrasi kini, sejumlah perusahaan berupaya menahan para eksekutifnya yang hendak mengundurkan diri karena mau meninggalkan Hong Kong. Caranya, si eksekutif itu bersama keluarganya dicarikan tempat tinggal komplet dengan pergantian kewarganegaraan dan fasilitas macam-macam di luar Hong Kong. Syaratnya, si eksekutif sendiri harus terbang kembali ke Hong kong dan bekerja seperti biasanya sampai 1997. "Mula-mula kukira menjalani program ini mudah saja," kata seorang "astronaut" yang beberapa bulan belakangan mondar -mandir Hong Kong -- Toronto untuk bertemu dengan keluarganya dan kemudian balik lagi ke tempat kerja. Harga yang harus dibayar oleh perusahaan yang mencoba mencegah eksekutifnya keluar itu cukup besar. Biaya memindahkan keluarga dan melengkapi fasilitasnya makan ongkos antara US$ 150.000 dan US$ 200.000. Belum lagi tuntutan si eksekutif setelah memegang paspor asing: minta diperlakukan sebagaimana eksekutif luar negeri yang bekerja di Hong Kong -- gaji yang lebih tinggi dan fasilitas yang lebih macam-macam. Mungkin harga yang mesti dibayar oleh perusahaan itu memang layak. Soalnya, dampak program ini pada para "astronaut" sungguh luar biasa. Kemudian diketahui bahwa omset minuman keras naik. Sebuah klub malam kabarnya kini tiap malam mesti menyediakan 4.000 botol cognac untuk langganan khusus. Orang yang bermain golf dan tenis bertambah meski penduduk berkurang. Juga, langganan panti pijat, salon, dan tusuk jarum meningkat. Sebuah lahan ideal untuk penelitian tentang keluarga yang terpisah. Semua ini bermula ketika Tentara Pembebasan Rakyat Cina menumpas dengan kejam demonstrasi pro-demokrasi di Tiananmen, Beijing, Juni tahun lalu. Kecemasan kehilangan kemerdekaan politik membuat orang Hong Kong tak ragu meninggalkan penghasilan besarnya. Memang masih ada waktu tujuh tahun. Tapi soal kapan harus hengkang itulah yang membuat sejak tahun lalu peramal nasib lewat rajah tangan di pulau koloni ini bertambah laris. "Belakangan ini pertanyaan langganan yang datang ke sini sama: kapan sebaiknya pergi dari Hong Kong," tutur seorang peramal nasib dengan kartu. Lalu apa jawab dia? Menurut kartu-kartu dia, katanya, tahun Kerbau 1997 bukan saat yang baik untuk pindah. Menurut peramal ini, sudah banyak langganannya yang keluar dari Hong Kong. Akankah nanti, ketika kembali ke tangan Cina, Hong Kong balik seperti sebelum di tangan Inggris? Tentu, tak akan persis seperti di tahun 1840-an, ketika Menteri Luar Negeri Kerajaan Inggris menggambarkan pulau ini sebagai "sebuah pulau tandus yang sulit dibayangkan seseorang akan membangun rumah di situ." Tapi mungkin tak jauh dari itu: sebuah Hong Kong yang terdiri dari gunung gedung-gedung tinggi yang tandus (dari uang) dan jarang penghuni (yang intelektual, berpendidikan, profesional). Kekuasaan Inggris memang membuat Hong Kong tumbuh berbeda dengan induknya, yakni Cina. Resmi disewa oleh negeri Sir itu sejak 1898 sebagai bagian dari proses perdamaian Perang Candu (1839-1841) Cina lawan Inggris, bukan cuma secara fisik pulau koloni seluas (seluruhnya) lebih dari 1.000 km2 ini berkembang. Di koloni yang 95% dari hampir enam juta penduduknya adakah keturunan Cina itu, tumbuh iklim yang jauh berbeda dibandingkan dengan suasana di tempat pemilik asli, yakni Cina. Warga Hong Kong benar-benar menikmati demokrasi di bawah pemerintahan seorang gubernur jenderal yang mewakili Ratu Elizabeth. Dengan kebijaksanaan pelabuhan terbuka, Inggris sukses mengubah pulau yang dulunya cuma dihuni sejumlah kecil petani dan nelayan dan tempat persembunyian perompak ini menjadi pulau produktif dan ramai. Pemerintah Inggris meletakkan sistem keterbukaan yang ramah (laissez faire) buat industri di sini. Hanya dalam hal bahaya kebakaran, keamanan bangunan, dan keselamatan kerja buruh pemerintah campur tangan. Selebihnya, tanggung jawab pemilik industri sendiri. Cara pemerintah merangsang pertumbuhan di koloni ini pun menarik: dengan mendirikan sejumlah kantor promosi industri dan perdagangan. Kini, misalnya, ada Dewan Pengembangan Perdagangan, juga ada Pusat Produktivitas Hong Kong. Lembaga-lembaga itu memang diperlukan karena lebih dari 80% produk industri di Hong Kong memang ditujukan untuk diekspor. Mula-mula industri Hong Kong tumbuh sebagai industri menengah bawah, dengan jumlah buruh tak lebih dari 500 orang. Antara lain industri barang-barang konsumsi ringan, misalnya pakaian, barang elektronik, mainan plastik, dan perabot rumah tangga. Tapi, setelah Perang Dunia II, dengan sistem "cangkokan", industri menengah itu pun tumbuh besar. Akhirnya bahkan bisa bersaing dengan Jepang dan Amerika dalam merebut pasaran -- mula-mula Asia Tenggara, kini pun pasaran di Amerika, Eropa, dan Australia. Hong Kong tumbuh jadi salah satu macan Asia. Pulau koloni ini memang menjanjikan penghasilan yang lebih baik. Sejak 1950-an, di kota-kota besar Daratan Cina, para orangtua mendorong anak-anak mereka agar pindah ke Hong Kong. "Pergilah ke Hong Kong, belajar dan cari penghidupan. Di sini tak ada apa-apa," -- kata-kata itu konon jadi semboyan populer di Cina di tahun-tahun itu. Memang ada juga yang pindah dari Hong Kong sebelum 1989. Seorang desainer grafik, misalnya, pindah ke Kanada dua tahun lalu. Tapi di tempat kerja barunya ia kecewa. Ia dijanjikan promosi dan kenaikan gaji. Pangkatnya kemudian memang naik, tapi gajinya hanya bertambah 40 dolar. Tanpa pikir panjang lagi ia balik ke Hong Kong dan dengan mudah mendapatkan pekerjaan dan penghasilan lamanya yang lebih besar. Dan bila desainer ini tahun lalu kembali ke Kanada hanya untuk menjadi seorang juru bayar di sebuah toko swalayan, bisa dibayangkan besamya impak peristiwa Tiananmen 4 Juni. Padahal, Hong Kong bagi keturunan Cina dianggap sebagai tempat terbaik untuk kerja. Selain semua orang punya kesempatan sama -- untuk jadi kaya raya atau sebaliknya -- tinggal di Hong Kong berarti tak jauh dari para sanak famili yang masih di Cina, baik yang masih hidup maupun yang sudah di kuburan. Juga, tinggal di pulau ini adalah sebuah kententeraman, meski angka kriminalitas pun cukup tinggi, dan mafia yang disebut Triad tak kurang galaknya dibandingkan dengan mafia di Italia. Toh mereka yang cemas membayangkan tinggal di pulau yang dikuasai RRC nanti siap mempertaruhkan segalanya. Bukan rahasia lagi bagi mereka bahwa sebagian masyarakat di sejumlah negeri kuat semangat antiimigran Cinanya. Kanada adalah sebuah contoh. Seorang pengusaha real estate keturunan Cina di Vancouver --kota terbesar ketiga dengan penduduk hampir 1,4 juta -- bisa bercerita bagaimana sejumlah proyeknya harus dibatalkan karena protes yang berbau rasialisme. "Banyak proyek dengan prospek yang bagus terpaksa kami batalkan karena pertimbangan rasialisme," tutur Victor Li, 26 tahun, anak pengusaha besar real estate tersebut. Menurut Li, di samping perusahaan dia, beberapa pengusaha keturunan Cina yang lain juga mengalami nasib sama. "Total, proyek seharga 300 juta dolar Kanada terpaksa kami lepaskan," katanya. Toh dalam musim eksodus setelah Peristiwa Tiananmen, Vancouver menjadi kota tujuan imigran Hong Kong nomor satu. Hingga ada yang menamakan kota ini sebagai "Vankong". Memang ada sebabnya, mestinya. Orang Vancouver memang terjebak dilema dalam memandang imigran Hong Kong. Sejumlah orang mengaku bahwa bisnis mereka tertolong dengan kedatangan si kulit kuning dari pulau koloni itu. Dengar saja percakapan dua pengusaha perumahan ini. Yang satu, Tom namanya, bilang bahwa bisnisnya sepuluh tahun terakhir memang lancar. "Tapi sebenarnya saya kurang srek dengan langganan saya," katanya kepada Bob, pengusaha di bidang yang sama. "Soalnya, keuntungan yang masuk itu tergantung para pembeli rumah dari Asia, terutama Hong Kong." Soal ketergantungan pada imigran Asia itu dibenarkan Bob. "Yah, memang orang-orang Cina itu membayar tinggi," komentar Bob. Di sebuah kapsalon, percakapan lain lagi bunyinya. "Tampaknya mereka (imigran Hong Kong) itu memang orang-orang yang sopan," kata Maisie, pemilik sebuah salon kecantikan di Vancouver. "Tapi lebih enak rasanya bagi kita bila mereka belajar juga beberapa sopan santun kita." Tak dijelaskan oleh Maisie atau teman mengobrolnya, sopan santun apa lagi yang mesti dipelajari oleh para imigran itu. Bisa jadi, bukan sopan santun dalam arti kata tata krama pergaulan. Sebab, ia lalu mengeluh, "Tapi yang menjadikan saya pusing tujuh keliling bila memikirkan hari depan anak saya. Apa nanti ia masih bisa mendapatkan perumahan yang layak." Ketakutan orang Kanada melihat melonjaknya imigran Hong Kong memang itu: rumah. Sebab, orang Hong Kong, seperti dikatakan oleh Bob si pengusaha real estate itu, tak banyak ambil pusing dengan harga. Akibatnya mudah ditebak, harga rumah pun melonjak. Padahal, yang datang pun ikut melonjak. Pada 1986 arus imigran Hong Kong ke wilayah British Columbia wilayah Kanada sisi barat tempat Vancouver terletak memang menurun cuma lebih dari 1.100 orang, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 1.800. Tapi sejak 1987 grafik naik lagi, sampai 2.000. Dan pada 1988 angka melonjak tinggi menjadi 5.000. Tahun lalu, belum ada data resmi, tapi bisa dipastikan sudah melebihi 5.000. Padahal, Kanada memasang persyaratan bagi imigran Hong Kong tak lebih ringan daripada negara lain. Di Kanada tak ada kemudahan bagi orang Hong Kong seperti di Inggris. Perdana Menteri Thatcher akhirnya, akhir Desember tahun lalu, menyetujui untuk menerima 50.000 kepala keluarga Hong Kong pemegang paspor Inggris untuk resmi menjadi warga negara Inggris. Meski ini menimbulkan protes dan popularitas Thatcher menurun karenanya. Tujuan Pemerintah Inggris sebenamya untuh membantu koloni ini agar setelah Hong Kong berada di tangan Cina, setelah 1997, masih banyak yang bersedia tinggal karena sudah dijamin kapan saja bisa jadi warga negara Inggris. Dalam perjanjian Inggris -Cina pada 1984, disebutkan bahwa 50 tahun setelah 1997 Cina harus masih tetap menjamin tak diusiknya sistem kapitalisme dan demokrasi di Hong Kong. Celakanya, keputusan Inggris itu membuat marah Pemerintah Cina. Dua pekan lalu Beijing mengumumkan bahwa orang Hong Kong yang memiliki dwikewarganegaraan, setelah 1997 harus menanggalkan kewarganegaraan Cinanya. Yang dicemaskan orang, penanggalan kewarganegaraan Cina itu nanti prakteknya akan dipersulit, dengan tujuan agar mereka akhirnya memilih tinggal di Hong Kong saja. Maka, pengumuman Beijing itu kini menambah keresahan di Hong Kong. Sebab, kata seorang dosen di Universitas Cina, sesudah 1997 paspor asing tak akan berarti banyak. "Saya tak akan melambai-lambaikan paspor Inggris saya bila seumpamanya tentara Cina siap menembak," kata T.L. Tsim kepada wartawan majalah Newsweek. Sebab, itu tak akan ada gunanya. Maka, Tsim sudah bulat, ia akan pergi dari Hong Kong setelah 1992 nanti. Benar, keputusan sidang Kongres Rakyat Nasional Cina 4 April lalu antara lain menyetujui disahkannya undang-undang dasar (Basic Law) untuk Hong Kong. Yang isinya antara lain menyebutkan bahwa kehidupan Hong Kong seperti sekarang ini dijamin kelangsungannya, kecuali dalam dua hal. Yakni, politik luar negeri dipegang Beijing, dan hanya Tentara Pembebasan Rakyat -- tentara Cina -- yang boleh manjaga keamanan pulau itu. Segera, undang-undang itu mengundang reaksi di Hong Kong. "Tak ada demokrasi, tak ada masa depan," demikian salah satu bunyi poster demonstran. Dan kata Martin Lee, anggota Dewan Legislatif Hong Kong, yang juga seorang advokat yang banyak bicara, beberapa pasal dalam undang-undang yang diputuskan sidang Kongres Rakyat Nasional Cina itu mengandung banyak penafsiran. Misalnya, kata Lee lagi, soal undang-undang antisubversi. Pasal itu tentu sangat mudah digunakan menuduh siapa saja yang tak disukai penguasa Beijing, dan mudah sekali dijadikan dasar diberlakukannya undang-undang keadaan darurat perang. "Saya takut, dengan begini orang-orang Hong Kong makin terdorong meninggalkan pulau ini." Tampaknya arus imigrasi itu memang tak terbendung lagi, dengan cara apa pun. Dan bila kebanyakan orang Hong Kong memilih Kanada, negeri ini memang tak pasang tarif visa semahal Amerika Serikat. Untuk menjadi orang Kanada, seorang imigran Hong Kong disyaratkan punya kekayaan minimal US$ 425.000 dan bersedia menanamkan modal sedikitnya US$ 128.000. Sementara itu, Paman Sam baru memberikan kelonggaran visa bila si imigran bisa menanamkan modal di AS paling sedikit US$ 1 juta. Australia memang pasang tarif lebih murah. "Australia akan jadi rumah Anda bila Anda menanam modal setidaknya US$ 265.000 dan Anda punya kekayaan sedikitnya US$ 95.000." Tapi negeri Aborigin itu punya syarat yang lain, yakni si imigran berusia di bawah 40 tahun. Singapura, yang lebih dekat dengan Hong Kong daripada Kanada atau Australia, membuka kemungkinan lebih jelas. Sebanyak 25.000 imigran akan diberikan kemudahan menjadi warga Singapura. Cuma negeri pulau seluas 574 km2 dan berpenduduk sekitar 2,6 juta itu mengutamakan imigran profesional. Yakni dokter, insinyur, dan tenaga ahli lainnya. Memang, Spanyol memberikan syarat lebih ringan daripada Kanada. Tapi, sebagai tempat bermukim dan berusaha, Kanada lebih disukai para pengusaha Hong Kong. Memang, ada sejumlah orang yang yakin bahwa dalam kurun 7 tahun ini, melihat berjatuhannya pemerintahan komunis di Eropa Timur, RRC pun akan berubah. Tapi sikap begini sama sekali tak populer di Hong Kong. Seorang sopir taksi, dengan tiga anak, mengaku sejak tiga tahun lalu sudah berusaha menabung. Ia, yang cuma tahu mengemudikan mobil, tak bisa menjelaskan kenapa harus pergi. Katanya, "Bila RRC datang di sini, semuanya akan jadi buruk, buruk, dan buruk."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus