Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjaga Habitat, Mencegah Konflik dengan Gajah

Gajah bukan musuh manusia. Masyarakat diharapkan tidak memberikan respon berlebihan hewan biasa disapa “Mbah” atau “Liman.”

8 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Para petugas dari Tim Unit Penanganan Satwa dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Masyarakat Mitra Konservasi (MMK), Frankfurt Zoological Society (FZS), SOS Indonesia, dan perusahaan pemasok APP Sinar Mas berpatroli melakukan radio tracking terhadap seekor gajah jantan bernama Ozzy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi bersama Masyarakat Mitra Konservasi (MMK), Frankfurt Zoological Society (FZS), SOS Indonesia, dan perusahaan pemasok APP Sinar Mas, melakukan radio tracking seekor gajah jantan bernama Ozzy pada Kamis, 13 Januari 2022. Saat itu Ozzy sedang bertandang ke kebun sawit warga RT 03, Dusun Sungai Landai, yang berada di kawasan hutan produksi. Ozzy juga rutin menjelajahi areal penyangga Bukit Tigapuluh, Jambi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Kepala Resort Konservasi Tebo BKSDA Jambi, Hefa Edison, konflik manusia dan gajah adalah interaksi negatif yang timbul akibat penggunaan ruang yang sama di habitat gajah Sumatera. Sekitar 70 persen habitat gajah berada di luar kawasan konservasi. “Celakanya, lahan pertanian dan perkebunan yang di kelola manusia merupakan hijauan tanaman favorit gajah seperti sawit, karet, dan palawija,” kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ozzy, lanjut Hefa, merupakan satu dari sekitar 120 ekor gajah Sumatera dari lima kelompok yang hidup di dalam dan areal penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Habitatnya terjepit antara perkebunan dan ladang milik masyarakat.

Pakar mitigasi konflik gajah Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Syamsuardi, mengatakan gajah bukan musuh manusia. Dia menyarankan masyarakat tidak memberikan respon berlebihan saat gajah hadir di areal perkebunan sawit, karet dan tanaman palawija lainnya.

"Dalam usaha konservasi satwa dan memitigasi potensi konflik, sebetulnya lebih ideal jika kawasan hutan itu bertuan, dengan legalitas pengelolaan yang jelas serta memiliki komitmen untuk mengelola kawasan secara lanskap bersama stakeholder lain,” ujar Syamsuardi yang juga Ketua Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa (PJHS).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata dia, memberikan izin kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan melalui model perhutanan sosial. Syamsuardi berharap masyarakat tidak memberikan respon berlebihan saat gajah hadir di areal perkebunan sawit, karet dan tanaman palawija lainnya.

Kepala Departemen Social Security PT Wirakarya Sakti (WKS) Jambi, Faisal Fuad, mendukung program perhutanan sosial melalui program pemberdayaan masyarakat. Perusahaan, kata dia, siap bekerjasama dan dan memberikan support dalam bentuk pelatihan, pengadaan bibit dan pembukaan pasar atau distribusi hasil panen. “Seperti budi daya lebah madu yang memperoleh pakan nektar dan polen dari bunga tanaman berkayu. Kerja sama menjadi alternatif mitigasi konflik dengan gajah sumatera,” ujarnya.

Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan Muara Kilis Bersatu, Poniman, mengatakan sekitar 53 persen dari luas areal izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakata diperuntukkan untuk perlindungan hutan dan satwa liar. Areal izin usaha kelompok tani bagian dari koridor gajah yang memiliki potensi biodiversitas dan berbatasan langsung dengan TN Bukit Tigapuluh. Lahan tersebut juga bersentuhan dengan kawasan lindung PT Wirakarya Sakti (WKS) Distrik 8 dan areal restorasi PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT).

Adapun bantuan hibah dari BKSDA Jambi difokuskan untuk kegiatan pengayaan (enrichment) pada area pengayaan pakan gajah dengan jenis king grass dalam blok perlindungan. Bantuan juga dimanfaatkan untuk pengembangan wisata khusus Datuk Gedang bekerja sama dengan enam desa penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh dengan membentuk

Forum Wisata Enam Desa (Forum NamDes).

Perlindungan gajah dilakukan dengan membentuk Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) pada Oktober 2021, di Muara Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo. Warga Muara Kilis yang juga pawang Gajah, Edi Mulyono, mengatakan masyarakat sudah terlanjur menggarap lahan di blok pemanfaatan mulai mengubah pola tanam dengan tanaman kopi agar tidak dirusak gajah.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus