Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peran Perempuan dalam Terorisme Harus Dilihat Secara Holistik

Executive Board Asian Moslem Network (AMAN) Indonesia, Yunianti Chuzaifah, menyoroti kaitan kaum perempuan Indonesia dengan terorisme tak hanya terjadi di ruang publik, melainkan juga di ruang domestik.

26 Februari 2024 | 10.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Executive Board Asian Moslem Network (AMAN) Indonesia, Yunianti Chuzaifah, menyoroti kaitan kaum perempuan Indonesia dengan terorisme tak hanya terjadi di ruang publik, melainkan juga di ruang domestik.

Ia mengatakan, perempuan memiliki kerentanan untuk menjadi sasaran luapan frustasi suami karena adanya relasi kuasa dalam rumah tangga. Saat aksinya gagal, pelaku yang berperan sebagai suami dan bapak akan cenderung menumpahkan emosi pada seseorang yang ia anggap lemah yakni istri, anak ataupun Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Keadilan gender menjadi penting dalam rangka optimalisasi perlindungan perempuan dalam skema penanggulangan terorisme. "Hak asasi perempuan atau keadilan gender harus menjadi pandega dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan karena tidak jarang hak asasi ini dimaknai sebagai freedom to harm, bebas apa saja." ujar Yunianti, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) 2024, di Hotel Bidakara, Jakarta, pada Rabu, 21 Februari 2024.

Ia mengatakan, perempuan yang selalu menjadi korban pada akhirnya bisa memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku. Karenanya, penting menggunakan perspektif interseksi dalam melihat fenomena keterlibatan perempuan dalam terorisme.

Selain itu, menekankan perspektif yang menempatkan perempuan dalam pusara terorisme yang tak hanya sebagai pelaku pasif tanpa kehendak bebas juga menjadi penting. Menurutnya, penting melihat perempuan dengan daya lakunya atau mengakui agensinya.

Analis BNPT, Leebarty Taskarina menerangkan, kehendak sukarela dari para perempuan untuk terlibat aksi teror ini dilandasi oleh beberapa faktor, seperti kepribadian, pengaruh orang terdekat dan identitas sosial yang berhubungan dengan solidaritas muslim.

"Terdapat narcissistic disorder yang membuat dia ingin terlihat lebih unggul tapi dengan cara berbeda karena dia teralienasi dari kelompok yang lebih dominan, hingga akhirnya dia ingin menjadi pemimpin dalam perannya," kata Leebarty.

Penelitian Dosen Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Dhestina Religia Mujahid menunjukan, egalitarianisme gender menjadi alasan adanya peningkatan peran aktif perempuan dalam aksi teror. Ini menjadi aksi yang dilakukan untuk mempermalukan laki-laki yang dianggap lemah dengan melakukan aksi sendiri.

"Pada penelitian lain juga menyebutkan ada rasa agensi perempuan yang muncul ketika melihat laki-laki tidak mampu melakukan perannya sebagai laki-laki yang sering disimbolkan sebagai orang yang lebih berani. Ketika ada tugas yang diberikan kepada laki-laki dan ternyata laki-lakinya enggak berani, di situ muncul ada agensi perempuan," kata Dhestina.

Data menunjukan, terdapat 65 putusan pengadilan dengan terpidana perempuan yang terlibat terorisme sepanjang tahun 2000-2023. Berdasarkan data Densus 88 AT Polri, terdapat 68 perempuan yang ditangkap akibat terlibat dengan terorisme. Pada rentang usia 18-24 tahun, ada 80 orang yang ditangkap karena keterlibatannya dengan terorisme dan 5 di antaranya adalah perempuan.(*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus