Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Berwisata ke Kota Malang tak lengkap rasanya kalaubelummerasakan napak tilas sejarah yang melekat pada Kampoeng Heritage Kajoetangan atau dikenal sebagai Kampung Kayutangan. Berada di pusat Kota Malang, Kampung Kayutangan ditetapkan menjadi warisan budaya (heritage) oleh Pemerintah Kota Malang sejak 22 April 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung ini memilikiciri khas deretan rumah berarsitektur kolonial Belanda denganbangunan yang masih asli dan terjaga. Kampung Kayutangan kini menjadi salah satu tujuan andalan wisata Malang heritage. Terutama bagi mereka penyuka dan pegiat sejarah. Atau sekedar berburu lokasi foto dengan konsep klasik.Ada tiga akses masukmenuju Kampung Heritage Kayutangan. Bisa dari koridor Talun di Jalan Arif Rahman Hakim serta dua akses lainnya dari koridor Kayutangan di Jalan Basuki Rahmat. Di tiap akses masuk pengunjung dikenai biaya Rp 5 ribu per orang.
Catatan sejarah menyebutkan, Kampung Kayutangan berdiri sejak abad XII Masehi atau masa Hindu-Budha. Disebut-sebutK ampoeng Taloon (Talun) dan Hutan Patang Tangan sebagai cikal bakal Kampung Kayutangan. Hal ini disebutkan pada Ukir Negara (Desa Taloon sebagai Desa Sima), Kitab Pararaton (hutan Patang Tangan sebagai tempat pelarian Ken Angrok) dan dalam Kitab Nagarakertagama (hutan di sekitar desa kuno Malang sebagai areal pemburuan).
Pada masa Kolonial dan perkembangan Islam sekitar tahun 1800-an, Kampung Kayutangan mulai menjadi tempatt inggal keturunan Bangsa Eropa. Mereka mendirikan rumah-rumah di kawasan Celaket, Kayutangan, Klojen Kidul dan Temenggungan. Kawasan tersebut berada dalam pengawasan Pangeran Honggo Koesumo sekaligus menjadi tempat siar/penyebaran agama Islam atas perintah Bupati Malang I.
Setelah adanya pembangunan jalan poros Celaket-Kayutangan dan pembuatan Alon-alon Regent Malang II, lambat laun Malang menjadi kota manusia, masyarakat yang tinggal beragam mulai penduduk pribumi setempat, orang Belanda, serta penduduk Timur Asing (Arab, China, dan lainnya). Masyarakat inilah yang membuat pola pemukiman di Malang sampai tahun 1900-an.
Selanjutnya, sejak Kota Malang ditetapkan sebagai Kotapraja pada 1 April 1914, kawasan Kayutangan menjadi sentra perkantoran dan pertokoan. Untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, para pegawai kantor, pegawai pemerintahan, serta pegawai toko mendirikan rumah-rumah di belakang kantor-kantor tersebut sampai sekarang. Tempat inilah yang disebut Kampung Kayutangan.
Kampung Kayutangan juga menjadi saksi pada masa kemerdekaan Indonesia. Pada 1955 dilakukan nasionalisasi terhadap bangunan-bangunan bekas milik Belanda. Perkembangan rumah sangat pesat, tidak lagi menggunakan arsitektur Belanda, tapi banyak bermunculan tipe rumah jengki dan rumah limas sebagai khas rumah Malangan.
Setelah ditetapkan sebagai kawasan warisan budaya (heritage), kawasan Kayutangan yang berada di Jl. Jend. Basuki Rahmat ini sebagai Ibu Kota Heritage Kota Malang oleh Wali Kota Malang Drs. H. Sutiaji pada Jumat 30 Agustus 2019.
Pemilihan Kayutangan sebagai Ibu Kota Heritage adalah karena di kawasan ini masih terdapat bangunan-bangunan kuno peninggalan masa lalu. Hal ini menjadi daya tarik yang memperkuat sektor ekonomi kreatif yang sedang digenjot oleh Pemkot Malang. “Disini sudah Kampung Heritage yang menguatkan posisi Kayutangan sebagai Ibu Kota Heritage. Ke depan kita akan kembangkan hal ini,” kata Sutiaji.
Saat ini di Kampung Kayutangan memiliki 23 spot rumah yang bernuansa heritage. Selain menghadirkan visual yang memanjakan mata melalui desain arsitektur yang sebagian besar dipertahankan keasliannya, ada cerita-cerita khusus di sana. Beberapa di antaranya yang menarik, yakni Rumah Namsin, Rumah Jengki, Rumah 1870, Rumah Jamu, Rumah Cerobong, dan Gubug Ningrat.
Selain bangunan tersebut, masih ada bangunan-bangunan yang memiliki cerita di balik setiap ikonik gaya arsitektur dengan bentuk, struktur dan ornamen yang natural membingkai estetika bangunan tua yang masih terawat keasliannya. Di antaranya Tangga Seribu, AEO Photografi dan Galeri Antik, Makam Eyang Honggo, dan Griya Moeziek. (*)