Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Menginjak tahun kedua pandemi Covid-19, masyarakat dunia mulai merasakan dampak pemulihan sosial dan ekonomi, terutama bagi penguatan kualitas kehidupan. Dampak tersebut juga dirasakan masyarakat kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, Orang Dengan HIV (ODHIV), pengungsi, dan kelompok lain yang termarjinalkan. Untuk itu, peran aktor sosial dalam menginisiasi berbagai usaha sosial dapat mempercepat pemulihan inklusif sosial untuk mencapai build forward better.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Wirausaha sosial menjadi kekuatan penggerak (driving force) untuk menciptakan perubahan sosial. Kami melihat kaum milenial Indonesia menunjukkan dedikasinya dalam membuka lapangan pekerjaan bagi kaum rentan dan ini sejalan dengan SDGs ke-17, yaitu Partnerships for the Goals yang bertujuan menanggulangi kemiskinan, kelaparan, AIDS, dan diskriminasi terhadap perempuan. Leaving no one left behind”, ujar Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Valerie Julliand dalam diskusi Ngobrol@Tempo bertajuk ‘Memberdayakan Aktor Sosial dalam Pemulihan Inklusif Dampak Pandemi Covid-19’, Senin, 15 November 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, Staf Ahli Menteri bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia sudah dibekali modal sosial untuk menanggulangi berbagai masalah sosial, termasuk kemiskinan dan kesenjangan. Ketangguhan sosial jadi bukti berhasilnya inisiatif menggalang usaha sosial dan menebar kebermanfaatan bagi masyarakat.
“Misalnya di Yogya, gerakan sosial yang diinisiasi oleh akademisi melalui program Sambatan Jogja, mampu mempercepat pemulihan dampak pandemi Covid 19. Selain itu program Jabar bergerak, yang dipelopori oleh istri Gubernur Jawa Barat dan Ustadz Tatan Ahmad Santan yang melibatkan 2.700 relawan di 27 Kabupaten/Kota, mampu memperkuat ketangguhan masyarakat,” sambung Vivi.
Dalam konteks pemulihan inklusif, CEO Liberty Society, Tamara Dewi Gondo Soerijo, membagikan cerita pemberdayaan pengungsi perempuan dan kelompok marjinal melalui pelatihan menjahit produk fesyen untuk dipasarkan melalui pasar global. “Kami menjadi bridge builder, membangun trust sebelum menjalin kerjasama dan memberikan solusi pengembangan dan pemasaran produk mereka”, katanya.
Sedangkan Pendiri Fingertalk, Dissa Ahdanisa, bercerita bahwa komunitasnya telah membuka akses bagi orang dengan tuli untuk bekerja di berbagai kegiatan ekonomi, seperti car wash di Depok dan Tangerang Selatan. Tantangan terbesar, lanjut Dissa, adalah stigma negatif soal kualitas kerja kelompok disabilitas. Lambat laun, Fingertalk berhasil menyakinkan konsumen, bahkan berhasil mengajak konsumen turut belajar bahasa isyarat.
Cerita lain diungkapkan Azalea Ayuningtyas, CEO Du Anyam, dalam memberdayakan ibu-ibu di Flores Timur. Bersama timnya, Azalea menggali kearifan lokal menganyam daun lontar yang mulai ditinggalkan kaum muda daerah tersebut dengan mengajak perempuan dan ibu-ibu di pedesaan meningkatkan ekonomi keluarganya.
“Dampak sosialnya, lebih dari 1.000 ibu-ibu penganyam mampu meningkatkan pendapatan antara 40 persen sampai dua kali lipat. Selain itu, muncul kepercayaan diri mereka untuk dilibatkan dalam keputusan penting keluarganya,” papar Azalea.
Dari sisi regulasi, Direktur Pengembangan UKM dan Koperasi Kementerian PPN/Bappenas, Ahmad Dading Gunadi, menjelaskan keberadaan usaha-usaha sosial kelak akan diakui melalui RUU Kewirausahaan Nasional yang saat ini tengah digodok. “Sudah masuk dalam tahap finalisasi dan sedang menunggu pengesahan dalam bentuk Perpres dari lintas 30 Kementerian dan Lembaga,” jelasnya.
Kewirausahaan sosial, sambung Ahmad, harus memiliki minimal satu tujuan dalam SDGs dan menginvestasikan minimal 51 persen keuntungan pada misi sosialnya. Untuk mendukung eksistensi usaha sosial, saat ini pemerintah tengah mengkaji penerapan pajak dan dukungan untuk memperluas multiplier effect bagi masyarakat.
Sementara itu, Team Leader of Innovative Finance Lab UNDP Indonesia, Didi Hardiana, menambahkan, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) berkomitmen memberikan asistensi teknis dan dukungan bagi kelompok rentan melalui akses pembiayaan inovatif dan dialog intensif antar entitas.
“Melalui program Employment and Livelihood, UNDP memberikan pelatihan kewirausahaan dasar yang inklusif kepada 2.000 orang di Indonesia. Program lainnya adalah Youth for life, suatu program inkubasi bisnis bagi pemuda yang melibatkan sekitar 120 perusahaan, program Impact Venture Accelerator, program Advance Startup yang berorientasi ke SDGs untuk kaum wanita,” jelas Didi sekaligus memperkenalkan program-program yang digawangi pihaknya.
Dukungan lain hadir dari negara sahabat yang terlibat dalam pemulihan pandemi dan pembangunan inklusif di Indonesia. Minister Counsellor Governance & Human Development Australian Embassy Jakarta, Kirsten Bishop, menekankan bahwa Indonesia dan Australia memiliki kerjasama strategis dalam mengatasi permasalahan sosial.
“Komitmen Indonesia dan Australia melalui Comprehensive Strategic Partnership dalam mengatasi kemiskinan, kesetaraan gender, pemberdayaan wanita dirintis dalam rentang enam tahun ini. Kami melakukan bimbingan inklusi sosial di 26 Provinsi di 100 Kabupaten/Kota,” ujar Kirsten.
Usaha sosial yang saat ini ada di Indonesia memang beragam dan berasal dari berbagai daerah dan karakteristik. Untuk itu, Stephanie Arifin bersama rekan-rekannya menginisiasi Platform Usaha Sosial untuk memfasilitasi semakin banyak usaha sosial yang berkembang dan sustain memberikan dampak bagi masyarakat. “Kami buat semua localized, supaya orang Jakarta tahu yang di Bali, dan begitu sebaliknya,” ucap Stephanie selaku Direktur Platform Usaha Sosial.
Testimonial terakhir datang dari sektor swasta yang tertarik menginvestasikan diri pada misi sosial, yakni Rajawali Foundation. Direktur Eksekutif, Agung Binantoro, menegaskan bahwa misi sosial, ekonomi, dan lingkungan adalah DNA perusahaan Rajawali Corpora, entitas yang menaungi Rajawali Foundation sejak 2004.
“Program terbaru yang kami rintis bersama USAID, yaitu SINERGI workforce development atau proyek ketenagakerjaan inklusif yang memiliki dampak sosial. Program ini menargetkan kaum muda kurang mampu berusia 18-34 tahun di Jawa Tengah, yang berpendapatan kurang dari US$ 2. Dampaknya, dari 20 ribu kaum muda, sebanyak 1.500 orang mendapatkan pekerjaan dan mulai berwirausaha mandiri,” kata Agung, memberi contoh program yang digawangi pihaknya. (*)