Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL-Demi masa depan Indonesia yang lebih sehat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengajak pelaku industri AMDK (air minum dalam kemasan) mendukung aturan pelabelan risiko bahan kimia Bisfenol-A (BPA). Hal tersebut didasari penelitian BPOM yang menyatakan, kandungan BPA dalam kemasan AMDK berpotensi menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai pasal 3 PP Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM, salah satu satu fungsi BPOM adalah melakukan penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan Sebelum beredar dan pengawasan selama beredar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini terjadi polemik terkait peraturan label Bisfenol-A (BPA). BPOM bertanggung jawab memantau penggunaan bahan obat dan makanan yang beredar di masyarakat agar tidak membahayakan. Sedangkan pelaku industri AMDK merasa khawatir pelabelan tersebut bakal berdampak buruk pada bisnis mereka. Bisnis AMDK terus menunjukan peningkatan. Bahkan bisnis industri AMDK diprediksi bertumbuh hingga lima persen pada 2022.
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, kebijakan pelabelan BPA tidak asal-asalan. Kebijakan ini revisi Peraturan BPOM Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang dimatangkan sejak 2019. Pihaknya telah menggelarserangkaian proses konsultasi publik, termasuk dengan para ahli dan melakukan kajian. Termasuk mengacu pada perubahan standar pelabelan kemasan AMDK di berbagai negara.
Penny menambahkan, data sains mutakhir menunjukkan risiko BPA adalah nyata sehingga perlu dilakukan perbaikan standar pengawasan serta pengaturan pelabelan. Langkah tersebut untuk memberi informasi yang akurat yang menjadi hak setiap konsumen "Pelabelan BPA sudah dilakukan di banyak negara lain," ujarnya.
Menurut Penny, meskipun risiko BPA pada air minum kemasan tidak dirasakan publik saat ini, tetapi tidak tertutup kemungkinan muncul masalah public health (kesehatan masyarakat) di masa datang.
"Saya mengajak pelaku usaha, utamanya industri besar, untuk ikut memikul tanggung jawab melindungi masyarakat karena ada risiko BPA yang terkait aspek kesehatan manusia, termasuk fertility (tingkat kesuburan wanita) dan hal-hal lain yang belum kita ketahui saat ini," katanya.
Penny menuturkan, perancangan dan penerapan labelBPA mempertimbangkan kelanjutan industri AMDK. Termasuk penerapan masa tenggang sehinga pelaku industri punya waktu mempersiapkan diri sebelum peraturan berlaku penuh. Rancangan pelabelan BPA juga tidak menyasar produsen AMDK skala kecil dan menengah melainkan hanya untuk perusahaan-perusahaan besar. Alasannya, hasil produksi produsen besar menyebar dalam porsi dan persentase yang besar sekali, sehingga efek yang membahayakan pun berdampak pada masyarakat yang lebih luas.
Sementara lembaga riset FMCG Insights menyatakan upaya BPOM untuk memberikan pelabelan BPA menghilangkan kekhawatiran tak beralasan banyak kalangan bahwa rencana pelabelan itu terburu-buru dan bakal memukul industri (AMDK). “Tekad BPOM menggulirkan inisiatif pelabelan BPA menunjukkan komitmen yang mengedepankan kesehatan publik. Jadi sangat aneh jika industri AMDK yang mengkampanyekan hidup sehat dengan air mineral justru menolak ketegasan BPOM,” ujar Direktur Eksekutif FMCG Insights Achmad Haris dalam keterangan pers, Jumat 20 Januari lalu.
Menurutnya, produsen galon guna ulang bermerek perlu keluar dari zona nyaman dan menyambut ajakan BPOM untuk sama-sama menjaga kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
Dampak buruk BPA juga diteliti tim peneliti Bayreuth yang dipimpin Peter Machnik. Penelitian yang dimuat dalam web sains neurosciencenews.com tersebut menyatakan, efek buruk Bisphenol A (BPA) dan Bisphenol S (BPS)yang ditimbulkan terhadap sel saraf otak orang dewasa.
Para peneliti menggunakan ikan sebagai objek percobaan untuk mengukur pengaruh BPA dan BPS pada organ makhluk hidup. Hasilnya, sejumlah kecil zat BPA dan BPS dapat mengganggu transmisi sinyal antar sel-sel saraf pada otak ikan. Peneliti pun menyimpulkan gangguan serupa juga dapat terjadi pada otak orang dewasa. Mereka juga menyerukan agar hasil penelitian dikembangkan lebih lanjut untuk meminimalisasi risiko gangguan pada sistem saraf pusat.
Peter Machnik mengatakan, gangguan pada sistem saraf vertebrata disebabkan oleh sinyal rangsang dan sinyal penghambat yang tidak saling terkoordinasi secara normal. “Jadi, efek plastik berbahan BPA dan BPS kini semakin mengkhawatirkan, ” katanya.
Terkait pemanfaatan BPA pada galon air minum kemasan, BPOM juga menemukan kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) yang terdapat pada kemasan air minum berbahan polikarbonat bagi konsumen. Penelitian BPOM menunjukan, sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24 persen sampel berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
Potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi. Selain itu terdapat potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia. (*)