Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Banjir Jakarta terjadi membentuk siklus lima tahunan sejak 1621.
Kita tahu penyebab dan solusi mencegah banjir.
Keserakahan dan korupsi membuat kita terus membiarkan bencana ini datang seperti pemilu.
JAKARTA sudah dilanda banjir sejak 1621. Setelah itu banjir besar seperti siklus lima tahunan. Banjir besar terakhir yang melanda Jakarta terjadi pada 2020, setelah hujan dengan intensitas tertinggi dalam 154 tahun. Jika tahun ini Jabodetabek dilanda banjir besar, agaknya, ia memang sudah memasuki siklusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi siklus bukan tidak bisa diputus. Selama empat abad itu, dengan data yang terekam dalam pelbagai dokumentasi, kita sudah tahu masalah dan solusinya. Temuan-temuan majalah ini dalam melihat banjir Bekasi, Bogor, dan Jakarta di awal Ramadan 2025 kian mempertegas bahwa regulasi, korupsi, dan abainya penanganan lingkungan membuat siklus itu seolah-olah abadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir terjadi akibat 13 sungai yang mengaliri Jabodetabek tak mampu lagi menampung air. Seperti kita tahu dalam pelajaran-pelajaran di sekolah dasar, sungai seperti tubuh manusia: terdiri atas kepala, badan, dan kaki. Sakit di kepala akan terasa di seluruh tubuh karena sungai adalah satu kesatuan ekosistem yang utuh.
Daerah hulu atau kepala sungai berada di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Sejak 1980-an, konversi lahan terjadi masif di wilayah ini. Akibatnya, air hujan tak lagi memiliki daerah resapan yang cukup. Air yang tak meresap itu melimpah ke area di bawahnya.
Di bagian tengah, air yang menderas tak lagi tertampung oleh badan sungai yang menyempit akibat tertimbun sampah permukiman hingga limbah pabrik. Di kawasan Bogor saja setidaknya ada 30 ton sampah rumah tangga masuk ke Sungai Ciliwung sehari. Menurut catatan pemerintah Jakarta, daya tampung sungai menyusut dari 500 meter kubik air per detik tinggal 200 meter kubik saja.
Air yang mengalir melalui Bogor, Depok, lalu bersimpang ke Jakarta dan Bekasi itu juga mengalir deras ke daerah hilir karena tak ada lagi situ yang menahannya. Dari 600 situ yang terdata pada 1960-an, jumlahnya kini tinggal 200 saja. Menurut liputan Tempo akhir 2024, dari jumlah itu pun sebanyak 30 situ terancam hilang akibat belum terdaftar sebagai kekayaan negara.
Di hilir, daerah aliran sungai (DAS) sudah tersertifikat menjadi hak milik dan bisnis. Permukiman menjamur di area yang seharusnya menjadi sempadan sungai. Perumahan di Bekasi yang terendam sampai atap itu berada di area pertemuan dua sungai besar: Kali Bekasi dan anak Sungai Ciliwung. Maka, ketika bah tak tertampung di hulu dan tengah, air tak lagi punya wilayah tangkapan karena berubah menjadi permukiman.
Lengkap sudah derita sungai Jabodetabek. Di kepala botak, di badan keropos, di kaki patah.
Rancangan sampul Tempo “Bohir Perusak Puncak”.
Alih fungsi wilayah resapan air itu makin meluas justru dimulai dari regulasi. Pada 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mendorong investasi agar tercipta lapangan kerja. Ada 88 undang-undang yang diubah, ditambahkan, dikurangi pasal-pasalnya. Karena berorientasi investasi, semua yang menghalanginya harus minggir.
Maka, ketika tata ruang menghalangi investasi bisnis wisata, pemerintah bisa mengubah sebuah kawasan dengan tak lagi mempedulikan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Itulah sebabnya di kawasan lindung Puncak tumbuh pelbagai tempat wisata yang membuat air kehilangan rumah. Pada 2018 saja, menurut data Pemerintah Kabupaten Bogor, kawasan lindung Puncak yang masih utuh tinggal 3,4 persen.
Undang-Undang Cipta Kerja juga menghapus Pasal 18 Undang-Undang Kehutanan yang mengatur luas hutan di satu daerah aliran sungai minimal 30 persen. Angka ini merupakan rasio ilmiah daya dukung lingkungan sebuah sungai. Maka, jika Jabodetabek dilewati 13 sungai seluas 34.700 hektare, seharusnya hutannya seluas Kota Bogor. Nyatanya, hutan di semua DAS Jabodetabek menyusut di bawah 10 persen, bahkan ada yang tinggal 2 persen.
Rutukan ini akan terus berlanjut dan berulang tiap lima tahun. Sebab, kita tahu penyebab banjir, kita juga sudah tahu solusinya. Tapi nafsu pembangunan, keserakahan memperkosa alam, serta kurangnya kemauan politik mencegah bencana membuat kita abai pada apa yang seharusnya kita lakukan.
Ilustrator Kendra Paramita menangkap keruwetan problem itu sehingga menuangkan gagasan itu dalam gambar sampul edisi “Bohir Perusak Puncak” pekan ini. Selamat membaca. ●