Tanggal 12 Februari 1987 ini Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 berusia 75 tahun. Sudah punya gedung 21 tingkat, dan terus meningkatkan citra. Sejarah asuransi di Indonesia boleh diukur dengan usia 75 tahun yang dicapai Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (Bumiputera). Setidaknya begitu, karena inilah perusahaan asuransi tertua milik bangsa Indonesia. Sebelumnya pun sudah dikenal Nillmij (Nederlandsch Indische Lifrenteen Levensverzekering Maatscappij) sebuah perusahaan asuransi jiwa milik Belanda yang beroperasi di Hindia Belanda (Indonesia). Lahirnya Bumiputera juga berkaitan dengan beroperasinya Nillmij dan berdirinya Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 pun ikut mewarnai. Karena pada awal tahun tahun 1908, M.Ng. Dwidjosewojo menerima laporan tahunan Nillmij dari direksinya. Dari laporan itu ia mengetahui bahwa perusahaan asuransi jiwa selain memberi keuntungan pada perusahaan juga memberi keuntungan pada anggotanya. Karena masih terbakar dengan semangat persatuan setelah lahirnya Budi Utomo, Dwidjosewojo mengajukan usul mendirikan perusahaan asuransi yang dimiliki pribumi agar keuntungannya dinikmati oleh bangsa sendiri, selain para anggotanya juga kaum pribumi. Ide itu disampaikannya pada Kongres Budi Utomo di akhir tahun 1910. Kontan mendapat sambutan. Akan tetapi, pelaksanaan pendirian usaha tersebut ternyata tersendat. Pada persiapan.berdirinya "Serikat Dagang Islam" di Surakarta, kembali ide itu disampaikan, yaitu ide tentang ekonomi lewat suatu badan asuransi jiwa. Toh masih tetap berkutet dalam pembicaraan saja. Belum dilaksanakan. Baru ketika Dwidjosewojo mendirikan Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) di Magelang pada akhir 1911, ide itu mulai mendapat tempat. Dan pada Kongres PGHB tanggal 12 Februari 1912, berdirilah Bumiputera yang ketika dinamai Onderling Levensverzekering Maatschapij, disingkat dengan O.L. Mij. Pasang surut jelas pernah dialami oleh AJB-BP. Dizaman Hindia Belanda, perusahaan ini juga mengalami sukses. Tahun 1935 misalnya, perusahaan pribumi ini sudah membuka kantor cabang di delapan kota di Jawa dan Luar Jawa. Jakarta termasuk salah satu kantor cabangnya, yang ketika itu masih berpusat di Magelang, sesuai dengan pusat organisasi PGHB. Kemudian kantor pusatnya dipindahkan ke Yogyakarta. Perkembangan yang dinikmati AJB-BP ketika itu adalah juga karena gema Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sampai akhir tahun 1941, jumlah pemegang polis sudah mencapai 13.843 orang, dengan modal sebesar 11.386.350,00 gulden Hindia Belanda. Ini memberi arti pula bahwa kesadaran berasuransi sebenarnya sudah ada pada masyarakat Indonesia sejak dahulu. Belum terhitung mereka yang menjadi pemegang polis Nillmij, tentu lebih banyak, karena sudah lebih lama beroperasi. Semangat berasuransi itu tampaknya kendur saat ini. Terbukti dari keterangan Menteri Keuangan, Radius Prawiro, bahwa peserta asuransi di Indonesia hanya 1,8 persen. Suatu angka yang sangat kecil tentunya. Akan halnya dengan kondisi ini, barangkali perlu disimak pendapat Boy Hakim, seorang sarjana ilmu pasti dan alam yang juga mengajar geologi di Universitas Indonesia. Bahwa asuransi hanya bisa dipasarkan pada mereka yang berpendidikan cukup. Selain kondisi ekonomi Indonesia yang ikut menjadi penyebab. Ia mengambil contoh dari dirinya sendiri. Sebagai staf pada Dinas Tata Kota DKI-Jakarta, ia cukup mampu untuk mengambil polis asuransi. "Niat itu sudah ada dari dulu," katanya, "tetapi, baru beberapa waktu lalu saya bisa menyisihkan uang untuk kewajiban membayar premi asuransi," tambahnya. Bagi Boy, selain merupakan tabungan, asuransi itu merupakan jaminan masa depan baginya. Dan ini justru yang paling penting, karena ada rasa ketenangan tentang masa depan yang belum diketahui. Dengan menyiapkannya mulai sekarang ia merasa terjamin. Jaminan yang dijanjikan oleh perusahan asuransi memang demikian. Persis seperti sejarah berdirinya asuransi jiwa. Bahwa Williams Bybbons tiba-tiba mengasuransikan dirinya pada suatu Lloyd di London. Ketika itu, lloyd-lloyd yang ada disana hanya mengenal pertanggungan barang-barang dagangan yang diangkut dengan kapal. Gybbons mengasuransikan dirinya karena ia mendengar kabar bahwa London sedang diserang penyakit menular yang ganas dan akan menghabiskan seperlima penduduk London. Berita yang ternyata hanya isyu yang dibesar-besarkan itu pun kabarnya berulang setiap lima tahun, dan makin memberi kekhawatiran pada dirinya. Kekhawatiran itu juga terjadi pada sebagian masyarakat London. Dan tindakan Gybbons membuka mata pemerintah Kota London yang akhirnya menerbitkan Bills of Mortality yang dijual kepada masyarakat dengan janji bahwa pembeli surat tersebut akan mendapat jaminan bila ia meninggal, keluarganya akan menerima sejumlah uang dari pemerintah. Sudah barang tentu praktek ini belum bisa disebut sebagai asuransi jiwa, karena belum ada perhitungan premi yang berpatokan pada angka statistik kematian, tetapi itulah dasar asuransi jiwa yang memberi jaminan terhadap masa depan. Mengingat kehidupan manusia selalu dikelilingi berbagai risiko. Kembali pada kondisi Indonesia, bahwa selain masalah pendapatan perkapita seperti yang diungkapkan Boy Hakim, masalah lain dalam perkembangan dunia asuransi di Indonesia adalah bahwa perusahaan asuransi itu membuat kutub antara perusahaan dan pemegang polis. Boy mengajak, bahwa sistem masyarakat Indonesia yang didasari gotong royong ini cukup baik untuk perkembangan asuransi, sehingga sebaiknya perusahaan asuransi kembali mengingat asas kebersamaan yang juga menjadi tujuan asuransi jiwa, setidaknya oleh Bumiputera yang semangat pendiriannya didasari oleh hal tersebut. Untuk itu Boy berhadap agar Bumiputera juga memikirkan suatu masyarakat bagi para pemegang polis AJB-BP. Ia lalu memberi contoh kalau saja salah seorang anggota Bumiputera menderita sakit kemudian dijenguk oleh anggota lain karena keaktifan masyarakat pemegang polis itu, tentu hal tersebut akan membangun suatu citra tersendiri bagi Bumiputera. "Jangan kami ini selalu dikejar uang premi setiap jatuh tempo," tegasnya. "Tetapi, tak diberikan sesuatu yang bermanfaat selagi kami sebagai pemegang polis." Pengalaman inflasi hebat yang pernah membuyarkan angan-angan para pemegang polis asuransi di masa lalu agaknya juga membayangi para calon pemegang polis. Seperti yang diakui Adam Setiomuljo, 60 tahun, seorang pemegang polis Bumiputera lainnya, yang kebetulan dulu pernah menjadi agen perusahaan asuransi Nillmij. Ketika Adam menutup asuransinya senilai US$ 50.000,- pada AJB-BP, ketika itu masih boleh menggunakan nilai dolar. Baginya itu memberikan jaminan. Karena pengalamannya dengan kliennya di masa lalu yang kecewa karena inflasi hebat. Uang yang diterima tak punya arti lagi. "Mereka sudah mengumpulkan uang untuk belakang hari nanti tetapi mereka tak mendapat kenikmatan itu," kenangnya. Nilai dolar memang masih dipercaya sebagian masyarakat. Adam berpendapat bahwa penggunaan nilai rupiah, meski sudah dengan rupiah indeks, tetap mempunyai pengaruh tersebut. "Kalau Bumiputera dapat memikirkan dengan nilai lain, emas misalnya, barangkali kepercayaan pada asuransi akan meningkat," katanya. "Yang penting mereka diberi rangsangan bahwa yang diterimanya nanti adalah emas bukan tembaga," tambahnya. Lain bagi Boy Hakim, karena ia masih percaya bahwa nilai rupiah akan membaik nantinya. Yang penting baginya ialah pelayanan yang menimbulkan perasaan bahwa pemegang polis itu semasa hidupnya sudah dikelola dengan baik oleh asuransi, apalagi kalau sudah meninggal. "Kalau pemegang polis itu hanya dilihat dari segi bisnisnya saja, maka perkembangannya akan lambat," kata Boy. Menjadikan asuransi sebagai suatu keperluan pada masyarakat rasanya memang masih sulit. Semua berpendapat bahwa asuransi hanya bisa diterima oleh orang yang cukup berpendidikan. Faktor lainnya tentu masalah pendapatan perkapita rata-rata masyarakat Indonesia. Bagi dr. Suwandi Sugandi, seorang ahli bedah yang juga mengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran, Bandung asuransi merupakan suatu keharusan. Tegas-tegas ia mengatakan bahwa.: "hanya dengan asuransi saya bisa hidup aman." Bahkan menyisihkan uang untuk membayar premi asuransi baginya merupakan suatu kewajiban, sama wajibnya dengan membayar zakat di malam Idulfitri. Kalau ada alasan bahwa, untuk makan saja kurang, menurut Suwandi itu bukan jawaban mengapa orang belum mau berasuransi. Sebagai seorang dokter ia sangat merasakan pentingnya asuransi, terutama asuransi untuk kesehatan. Bagi masyarakat kecil, biaya rumah sakit jelas mahal, namun dengan berasuransi, biaya itu akan menjadi ringan. "Katakan setiap hari mereka menyisihkan seratus rupiah untuk asuransi kesehatan tersebut," katanya. Dokter bedah ini memimpikan bahwa asuransi menjadi suatu kebudayaan. Suwandi, selain pemegang polis Bumiputera ia juga tercatat sebagai pemegang polis berbagai perusahaan asuransi kerugian. Ia sering bepergian, karena itu ia mengasuransikan dirinya pada asuransi kecelakaan. Begitu pula rumah yang ditinggalinya, beserta seluruh perabotannya. Inke Maris, penyiar berita Bahasa Inggris di TVRI malah merasa dirinya telanjang tanpa berasuransi. Mengambil polis AJB-BP memang baru setahun, untuk bea siswa ketiga anaknya yang berusia 12, 11, dan 7 tahun. Tetapi, rumah beserta isinya, begitu pula mobilnya diasuransikan. Ia mengakui bahwa lama hidup di negeri orang, Inggris, mungkin mempengaruhi kebiasaannya berasuransi. "Buat saya, asuransi merupakan sebagian hidup saya," katanya. Karena polis bea siswa itu jelas akan menjamin pendidikan anak-anaknya nanti. "Nasib kita 'kan tidak ada yang tahu," tukasnya. Inke menilai bahwa minat berasuransi yang masih kecil itu bukan hanya karena tingkat penghasilan sebagian besar masyarakat masih rendah, tetapi juga karena citra perusahaan asuransi di Indonesia masih bermacam-macam. Karena itu ia berharap agar citra itu yang ditingkatkan oleh perusahaan perusahaan asuransi. Tentang penggunaan nilai rupiah, bagi Inke bukan merupakan masalah. "Toh sudah dalam rupiah indeks," katanya. "Kita 'kan hidup di Indonesia yang menggunakan uang rupiah. Kalau soal inflasi, dolar juga mengalami inflasi," lanjutnya. Dan Inke kembali menegaskan masalah pelayanan. Tentang ini Inke juga berpendapat bahwa pemerintah pun diharapkan ikut menunjang agar citra asuransi menjadi lebih baik. Mungkin karena undang-undang asuransi yang belum ada menyebabkan beberapa perusahaan asuransi belum efisien dalam pelayanan. Meski agak terlambat, Prijambodo Sudarno, Kepala Bengpusmat TNI-AD di Bandung, baru menutup premi asuransinya pada tahun 1982. "Saya merasa bahwa saya sudah tua, sehingga saya perlu mengasuransikan diri saya demi anak dan keluarga," katanya. Petugas asuransi yang mendatanginya bukan sekali dua kali, tetapi sampai empat kali datang untuk memastikan Prijambodo kemudian menutup premi tersebut. Satu keuntungan yang sudah dinikmati Prijambodo setelah tiga tahun menjadi pemegang polis Bumiputera ialah kemudahan meminjam sejumlah uang pada Bumiputera pada saat yang mendesak, tanpa prosedur yang berbelit, cukup menunjukkan bukti bahwa ia adalah pemegang polis Bumiputera. Ini merupakan manfaat lain yang dinikmati para pemegang polis Bumiputera. Sebagai pengusaha, Tono Afandi yang tinggal di Bandung, juga merasakan kemudahan meminjam uang pada Bumiputera setelah tiga tahun ia menutup premi. Bagi Tono, soal meminjam uang itu hanya merupakan layanan tambahan saja, tetapi yang penting haginya ialah bahwa ia merasakan ketenangan dalam hidupnya setelah berasuransi. Ia yakin bahwa anak-anaknya akan mendapat bekal untuk hidupnya dalam masalah materi, bila terjadi sesuatu pada dirinya. Tono yang memegang lima polis ini, selalu membayar preminya setiap tahun. Sebagian ada pula yang dibayarnya tiap enam bulan sekali. Tiga di antaranya merupakan polis untuk bea siswa ketiga anaknya. Sebagai pengusaha, ia juga merasakan bedanya antara asuransi dan deposito. Uang yang didepositokan memang langsung mendapat manfaatnya setiap bulan. Ia tak mau itu disamakan dengan asuransi yang manfaatnya jelas untuk masa depan, "bukan untuk dinikmati sekarang," katanya. Seperti juga yang disebut oleh keluarga Prijambodo, bahwa suami istri yang bekerja sebaiknya mengasuransikan dirinya. Karena keduanya sama-sama berisiko. Istrinya yang juga bekerja pada Perumtel Bandung toh juga memiliki polis Dwi Guna. Sulitnya memasarkan asuransi jiwa nyatanya bukan hanya karena masyarakat Indonesia belum sadar asuransi, tetapi juga kekecewaan dari berbagai asuransi yang ada. Bernard F.S, seorang sarjana IKIP yang menjadi petugas pemasaran di Bandung mengakui bahwa usaha yang banyak dilakukannya untuk menarik seseorang menjadi anggota asuransi ialah dengan memberi kepercayaan dahulu kepada calon anggota tersebut tentang manfaat asuransi jiwa. Karena itu, Bernard selain mencari calon nasabah, ia juga menimba ilmu dengan mencari tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap asuransi. Itu dilaporkannya kepada perusahaan untuk menentukan langkah berikutnya dalam usaha menyiasati untuk menarik anggota baru. Suparyan Wirapradja, Kepala Departemen Pemasaran Bumiputera juga mengakui bahwa kelemahan Bumiputera dulu adalah tenaga ujung tombak yang mencari anggota baru itu hanya tamatan SMA. Sekarang, di kota-kota besar tenaga pemasaran (agen) itu adalah sarjana. Kebijakan ini diambil karena disadari bahwa masyarakat yang bisa ditarik untuk menjadi pemegang polis adalah mereka yang berpendidikan dan rata-rata golongan menengah keatas. Karena itu tenaga sarjana mutlak diperlukan untuk memberi kejelasan yang lengkap. Sehingga usaha yang dilakukan adalah usaha persuasi terhadap prospeknya, bukan "memaksa" untuk menjadi pemegang polis. Adanya gejala memaksa untuk menjadi pemegang polis yang dilakukan para agen itu adalah karena mereka mendapatkan komisi dari hasil besarnya polis yang berhasil ditutup melaluinya. Sehingga bagi yang kurang trampil untuk melakukan persuasi, akan mengambil cara "memaksa", mengingat komisi tersebut. Komisi yang cukup memadai memang memberi perangsang para agen. Yani Huryani misalnya, seorang sarjana komunikasi di Bandung, ia berhasil menutup polis sebesar Rp 61 juta selama tiga bulan. Dari polis sebesar itu ia mendapat komisi hampir Rp 1 juta. Suatu hasil yang lumayan. Tetapi, harus diperhitungkan pula suka dukanya menjadi agen. Yani sering disangka orang yang sedang melakukan pengumpulan sumbangan. Bahkan sering tidak dipersilakan masuk. Padahal Yani sebenarnya ingin memberi kejelasan bagaimana asuransi. Bukan sekadar menarik orang yang dikunjunginya itu menjadi anggota Bumiputera. Dengan memberikan pengertian masalah asuransi, setidaknya ia mengharapkan pada suatu waktu orang tersebut akan berasuransi. Bumiputera baru saja mengeluarkan angket pada para pemegang polisnya dengan perangsang hadiah bea siswa cuma-cuma selama setahun bagi yang beruntung. Dari evaluasi hasil angket tersebut akan dilakukan langkah-langkah peningkatan pelayanan. Dalam pada itu, penataran bagi berbagai lapisan karyawan dan agen juga selalu dilakukan. Sumardi Silvester Direktur Utama Bumi Putera mengatakan, setahun setidaknya dikeluarkan sekitar 400 - 500 juta rupiah untuk dana tersebut. AJB-BP pada usia yang ke-75 tahun ini memang sedang melakukan peningkatan pelayanan tersebut kepada masyrakat. Sumardi menegaskan bahwa mutu organisasi Bumiputera menjadi perhatian utama, untuk meningkatkan kemampuan seluruh petugasnya. Bukan saja semakin terampil tetapi juga menjaga kejujuran yang akan memberikan citra baik kepada calon anggota Bumiputera. Payung sudah disediakan oleh Bumiputera 1912, dan hujan yang akan turun sulit diduga, mengapa polis yang berfungsi sebagai payung bagi keluarga Anda belum Anda siapkan? Keputusan Anda sekarang belumlah terlambat. Kapan lagi? BEA SISWA SANG PRIMADONA Inke Maris penyiar berita TVRI itu bersedih karena sering mendengar ceritera anak-anak yang putus sekolah karena orangtuanya meninggal. Padahal ada cara agar anak-anak tersebut tak putus sekolahnnya dengan mengambil polis bea siswa. Dan Inke memang sudah melakukan hal tersebut untuk ketiga orang anaknya. "Suami saya yang mengurus ini semua," katanya. Polis bea siswa ternyata menjadi primadona dari uang pertanggungan sebesar Rp.252,67 milyar yang berhasil dijaring Bumiputera pada tahun 1986. Separuhnya adalah berupa polis bea siswa. Meningkatnya jumlah polis bea siswa baru itu menunjukkan bahwa masyarakat sudah sangat memperhatikan kelanjutan pendidikan bagi anak mereka. Dalam tangungjawabnya kepada masyarakat, tahun lalu Bumiputera juga memberikan bea-siswa cuma-cuma kepada 447 anak selama satu tahun. Sedangkan pada acara penarikan angket berhadiah yang ditarik Januari lalu, ada 525 anak para pemegang polis yang mendapat bea-siswa selama satu tahun dari Bumiputera. Disamping itu ada sepuluh anak-asuh dari Jawa Tengah yang mendapat tunjangan dari Bumiputera. Namun, pendapat mereka yang sudah mengecap hasil polis bea-siswa yang disiapkan oleh orangtua mereka barangkali perlu disimak. Irra Irawati, mahasiswi IKIP Bandung. Tahun 1984 ia sudah mulai menerima bea-siswa dari AJB-BP, tetapi ia baru masuk IKIP tahun 1985. Setahun menganggur. Ayahnya S. Idrus tinggal di Tanjung Pinang, Riau. Ketika mendapat bea-siswa ia tak tahu sama sekali sebelumnya bahwa ayahnya mengambil polis bea-siswa ia tak tahu sama sekali sebelumnya bahwa ayahnya mengambil polis bea-siswa untuknya. Kini haknya setiap bulan sebesar US$ 80 selalu diambil untuk biaya hidupnya. Tentu tak dihabiskan semua. Sebagian ditabung. Irra ingat hahwa waktu bea-siswa hanya lima tahun. Ia berharap bisa selesai kuliah dalam waktu lima tahun, tetapi siapa tahu lebih, sehingga uang tabungan itu jadi cadangan. Ayahnya toh masih mengirimnya juga. Irra mengatakan kemudahannya mengambil bea-siswanya di Bumiputera cabang Bandung di Jalan Dalem Kaum. Conny Yuniawati, mahasiswa Psykologi tingkat IV di Universitas Islam Bandung adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Pak Hilman, ayahnya, bekerja di PTP V Sumatera Utara. Conny merasa sangat terbantu dengan polis bea-siswa yang disiapkan ayahnya setiap bulan, karena kiriman dari ayahnya toh masih ada. Di saat mendesak baru ia ke Jalan Dalem Kaum untuk mengambil "jatahnya". Keenam saudaranya juga disiapkan dengan bea-siswa oleh ayahnya. Manfaat asuransi sudah dirasakannya. Ia berharap akan bisa berbuat seperti itu juga pada keluarganya kelak. Conny juga menyatakan tidak tahu sebelumnya kalau ayahnya menyiapkan bea-siswa untuknya. Berbeda dengan Arif Tiaslaksono, mahasiswa tahun kedua jurusan pertambangan ITB. Ayahnya yang tinggal di Jakarta sebagai perwira menengah ABRI itu sudah menutup polis beasiswa untuknya sejak orangtua-nya bertugas di Cirebon. Arif tahu pasti bahwa ayahnya mempersiapkan dengan bea-siswa karena ketika di Jakarta, Arif sudah ditugasi ayahnya membayar premi tersebut setiap bulan di kantor cabang AJB-BP Kebayoran Baru. Dan ketika mulai kuliah di ITB, ia memetik buahnya dengan mengambil bea-siswa sebesar US$ 50 perbulan di Jalan Dalem Kaun, Bandung. Ia juga menyisihkan sebagian bea-siswa tersebut untuk ditabung. Berjaga pada saat krisis keuangan. Koko Setyoko, 22 tahun, mahasiswa tingkat akhir jurusan planologi ITB, sudah menerima bea-siswa sejak di bangku kelas III SMA. Ayahnya yang pensiunan perwira menengah ABRI dan tinggal di Cimahi memang masih membiayainya, sehingga bea-siswa sebesar US$ 17,6 tak diambilnya setiap bulan. "Biasanya dua-tiga bulan sekali," katanya. Bagi Koko, "jatah itu digunakannya untuk tambahan biaya kuliah, dan pada saat orangtua-nya kesulitan uang. Widodo Sugeng Bagio, 23 tahun, mahasiswa tingkat IV jurusan Teknik Sipil ITB ini juga menerima bea-siswanya dari Bumiputera sejak kelas III SMA. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini mengaku hanya dia dan adiknya saja yang mendapat persiapan bea-siswa dari ayahnya yang sudah meninggal pada tahun 1984. Kakak-kakaknya sudah dewasa ketika itu. Sehingga persiapan memang diarahkan padanya dan adiknya. Bea-siswa sebesar US$ 20 itu diambilnya setiap bulan untuk biaya pondokan dan kuliah. Selain itu ia punya pendapatan tak tetap dari membuat kaus. "Itu memang obyekan mahasiswa Bandung," katanya. Widodo juga mengaku mendapat pelayanan yang baik dan cepat bila setiap bulan ia mengambil "jatahnya" di Jl. Dalem Kaum, Bandung. Namun, ia toh mengharap agar pelayanan yang lain juga lebih baik. Maksudnya tentang cara para agen yang menawarkan polis asuransi itu jangan berkesan memaksa. Lain pula yang terjadi pada Diana Pamudji. mahasiswa tingkat I Fakultas Ekonomi, Universitas Pancasila, Jakarta. Ia baru bisa mengambil bea-siswanya setelah pertengahan tahun ini. Ketika kelas I SMP ayahnya baru menutup asuransi bea-siswa untuk putri bungsunya, senilai US$ 5.000. Tetapi, rencana orangtuanya yang wiraswasta itu lain. Bila selesai masa kontraknya nanti, uang pertanggungan itu akan diambil semua, kemudian didepositokan ibunya yang mendampingi Diana menjelaskan bahwa bunganya yang akan digunakan sebagai biaya sekolah. "Kalau didepositokan, modalnya 'kan masih tetap. Sedangkan kalau diambil sebagai bea-siswa, modalnya akan habis," jelas ibunya. Meski diakui pula oleh sang ibu bahwa dengan berasuransi mereka tidak khawatir kekurangan biaya. Rekan sesama kuliah Diana, Rita Meutia juga beruntung mendapat persiapan bea-siswa dari orangtuanya. Bungsu dari dua bersaudara ini sudah mulai menikmati uang bea-siswa ini sejak Januari 1986. Kakaknya yang kuliah di Institut Teknologi Surabaya juga mendapat kesempatan yang sama seperti Rita. Rita yang masih tinggal bersama orangtuanya toh tetap mengambil "jatahnya" setiap bulan di kantor cabang Jl. HOS Cokroaminoto Jakarta. Dari uang bea-siswa itu Rita mengaku belajar mengelola uang yang diterimanya. Biasanya uang itu digunakan untuk membeli keperluan kuliah dan beli baju. Uang harian masih didapat dari ayahnya, Ibrahim Mahmud, seorang wiraswastawan. Sebagian uang bea-siswanya menjadi keharusan untuk ditabung, karena ia menyadari bahwa masa kuliahnya belum tentu bisa ditempuh dalam waktu lima tahun, sesuai masa bea-siswa. Nona Novianti, mahasiswa Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata di Bandung, cukup banyak menerima "jatah" beasiswa. Perbulan ia mendapat sekitar Rp.200.000,00. Jumlah yang cukup banyak tentu bagi biaya seorang mahasiswa. Karena ini separuh lebih selalu ia masukkan dalam Tabanas. Ia bercita-cita dapat melanjutkan pelajarannya ke luar negeri. Bea-siswa yang diterimanya sekarang bagi Nona dipakainya untuk persiapan masa depan, karena sebagian keperluannya masih bisa dipenuhi orangtuanya. Apalagi dalam masa latihan selama enam bulan ia juga mendapat uang saku, sehingga "jatahnya" itu benar-benar dimanfaatkan untuk masa depan. Contoh-contoh tadi menunjukkan bagaimana AJB-BP telah memenuhi kewajibannya terhadap para anggotanya. Artinya, klaim itu dapat dibayarkan dengan baik, dan bisa diambil dimana saja, tidak bergantung di kota mana seorang anggota mulai menutup asuransinya. Pembayaran klaim yang telah dilakukan Bumiputera pada tahun 1986 adalah sebesar Rp.37,89 milyar. Ini berarti kenaikan sebesar 44,6% bila dibanding dengan tahun sebelumnya sebesar Rp.26,2 milyar. Sebagian besar pembayaran klaim terebut adalah klaim bea-siswanya, sehingga polis bea-siswa merupakan primadona bagi Bumiputera. Karena itu Sumardi Silvester mengakui bahwa polis bea-siswa ini sangat menjadi perhatian Bumiputera. Lalu bagaimana caranya mendapatkan polis bea-siswa itu? Ada dua macam polis bea-siswa yang ditawarkan Bumiputera Asuransi Dana Bea-siswa dan Asuransi Dana Bea-siswa Ideal. Bedanya ialah bahwa pada Asuransi Dana Bea-siswa Ideal bila bertanggung meninggal sebelum masa kontrak selesai, maka kepada yang ditunjuk akan menerima sejumlah uang yang dinyatakan dalam polis, dan polis menjadi bebas premi. Pada akhir kontrak, anak yang ditunjuk tetap mendapat bea-siswa. Sedangkan pada Asuransi Dana Bea-siswa, bila tertanggung meninggal sebelum masa kontrak, maka premi menjadi bebas, dan si anak tetap menerima bea-siswa pada masanya. Dan bila si anak yang ditunjuk meninggal sebelum habis masa kontrak, maka kontrak bisa diubah pada jenis asuaransi lain, atau ditunjuk anak lain sebagai penggantinya. Lama kontrak bea-siswa biasanya menurut besarnya bea-siswa atau disesuaikan dengan keperluan pemegang polis. Yang paling ideal biasanya adalah bila si anak mulai masuk kelas I SD sudah dapat disiapkan dengan polis bea-siswa. Sehingga ketika mulai duduk di perguruan tinggi si anak sudah langsung bisa mengenyam manfaatnya. Anda tinggal pilih jenis yang mana untuk kepentingan pendidikan buah hati Anda. KONSENTRASI TINGGI Sejak Januari 1983, asuransi tak lagi diperbolehkan menggunakan patokan uang asing, dolar Amerika yang menjadi kebiasaan. Maka sejak 1 Januari 1983 semua pemegang polis baru hanya dilayani dengan rupiah indeks yang nilai indeksnya ditetapkan oleh Departemen Keuangan, Sumardi Silvester, Direktur Utama Bumiputera 1912 mengakui bahwa peraturan tersebut memang menyebabkan turunnya jumlah produk baru, bahkan juga agen juga berkurang. "Mereka menemui kesulitan untuk menjelaskan kepada calon pemegang polis ketika peraturan itu baru dikeluarkan," ujar Sumardi. Kondisi tersebut untuk sementara memang menurunkan jumlah calon pemegang polis. Padahal minat terhadap asuransi pada masyarakat Indonesia masih kecil sekali, baru 1,8%. Untuk menarik minat berasuransi, Bumiputera menyiasatinya dengan meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan mutu organisasi, serta melengkapi prasarana dan alat operasional. Itu semua demi peningkatan citra untuk memikat calon pemegang polis. Disamping tentu juga membuka produk baru yang akan ditawarkan pada masyarakat, Asuransi Jiwa Profesional misalnya, yang sedang menunggu izin dari Departemen Keuangan. Produk baru yang ditawarkan itu sebenarnya hanya sebuah inovasi saja, yang dasarnya toh tetap sebagai asuransi jiwa. Inovasi tersebut merupakan upaya menarik minat baru. Padahal nilai Rupiah Indeks yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan ini sendiri sudah merupakan penarik minat, meski tak lagi berpatokan pada dolar. Nilai indeks Rp.100,00 pada Januari 1983 itu misalnya, sudah menjadi Rp.18,9 pada Desember 1986. Berarti sudah naik sebesar 38,9%. Dan pada Januari 1987, nilainya sudah menjadi Rp.139,13. Bagi Sumardi, pada masa sulit mendatang ini, asuransi jiwa khususnya AJB-BP perlu konsentrasi tinggi serta peka terhadap situasi masyarakat untuk mengevaluasikan gejolak tersebut sehingga dapat memastikan tiap langkah yang ditapakkan. Salah satu contoh adalah produk polis yang menggunakan nilai rupiah tetap, namun mendapat keuntungan kenaikan nilai antara 5% - 10% setiap tahun. Produk ini untuk meliput mereka yang mempunyai pengeluaran tetap, sehingga pembayaran premi yang tetap jumlah rupiahnya dapat membantu mereka. Polis Eka Waktu Ideal tampaknya merupakan produk yang berhasil ditawarkan pada masyarakat. Polis yang baru dipasarkan pada pertengahan 1985 itu ternyata pada tahun 1986 berhasil meraih 15% pemasaran dari seluruh pemasaran baru yang dicapai. Sumardi menjelaskan bahwa keberhasilan polis ini adalah karena titik beratnya melindungi risiko ekonomi tertanggung akibat meninggal dunia. Bedanya dengan asuransi jiwa ialah bahwa jenis ini memberi proteksi terhadap risiko ekonomi ketika tertanggung meninggal dunia, unsur uang pertanggungan sebagai tabungan tak ada. Jadi dibayarkan pada saat si tertanggung meninggal dan masih tetap memperoleh benefitnya. Sumardi Silvester kembali mengingatkan bahwa bagi masyarakat modern memang membedakan antara asuransi dan investasi. Asuransi memberikan proteksi, sedangkan investasi berkaitan dengan modal. Karena itu, mereka yang membedakan antara asuransi dan investasi akan mengambil polis semacam Eka Waktu Ideal, yang dalam dunia asuransi dikenal sebagai term insurance. Disana yang dinilai adalah proteksinya. Sumardi mengingatkan bahwa masyarakat perlu ditumbuhkan minatnya pada term insurance ini yang tidak mendasarkan pada nilai saving-nya. Kalau pada polis Eka Waktu Ideal itu dapat dikembalikan preminya, Sumardi menegaskan bahwa itu merupakan benefit yang diberikan oleh Bumiputera. Karena pada dasarnya, dalam term insurance premi kembali ini tidak ada. Sumardi juga mengatakan bahwa asuransi kesehatan sudah menjadi pemikiran Bumiputera. "Untuk jenis ini memang diperlukan kerja sama berbagai pihak," katanya. Sehingga masalahnya tidak sesederhana yang dipikirkan. Untuk Jakarta sudah dibuat suatu pilot project yang berkaitan dengan asuransi kesehatan. Bagi karyawan pemerintah memang sudah ada Askes, tetapi bagi karyawan swasta, pilot project tersebut menyelenggarakan Dana Usaha Kesehatan Masyarakat (DUKM), bekerja sama dengan pusat kesehatan masyarakat yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja (PKTK). Bila proyek tersebut berhasil tentu akan menjadi kewajiban bagi setiap karyawan swasta mengikuti program DUKM. Dan tentu pula ada yang berminat untuk mendapat pelayanan yang lebih baik dengan melalui asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Kalau kondisi itu sudah ada, dan kerja sama dengan berbagai pihak sudah dirintis oleh pemerintah, sudah barang tentu asuransi kesehatan yang dijalankan oleh perusahan asuransi akan berjalan. Sumardi mengakui kondisi itu yang masih ditunggu oleh Bumiputera untuk menyelenggarakan polis asuransi kesehatan. Ini adalah salah satu jenis produk baru yang akan menjadi perhatian Bumiputera 1912.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini