ZURICH yang bersalju terlalu jauh bagi Sigit Setiawan dan Arya Primasatya. Dan Jumat pekan silam mereka pulang ke tanah air, dalam peti jenazah. Menteri Ristek B.J. Habibie menunggu kedatangan mayat Sigit dan Arya dengan KLM di Hanggar Cardig Air, Bandara Soekarno Hatta. Juga hadir Menteri P dan K Fuad Hasan, Menperda Rachmat Saleh, KSAD Try Sutrisno dan beberapa pejabat penting lainnya. Tiga hari sebelum peristiwa, Sigit, Arya, M. Abrori, dan Agung Dewanto akan berlibur ke Swiss sembari menunggu belajar di kuartal mendatang. Lalu mereka ke KBRI di Den Haag mengurus paspor dan memberesi visa. Seusai salat Jumat, Abrori pergi ke flat Arya. Sebelum berangkat, Arya, 22, memasak dan mereka makan bersama. Kemudian mereka pergi ke Centrum. Arya membeli sebuah buku untuk adiknya di Jakarta. Agak sore mereka kembali ke Delft, karena Arya ingin merekam acara televisi, "Sky Channel" atau "Music Box". Tapi televisinya rusak. Arya menelepon Sigit untuk pinjam obeng. Ternyata, Sigit, 23, malam itu menginap di flat Swasetio Yulianto - dan Swas waktu itu sedang di Corverce mengerjakan buletin Islam, untuk mahasiswa. Arya memutuskan menginap di flat Sigit, setelah ia minta kuncinya. Sampai Sabtu malam, Sigit masih di rumah Vindicianus Hariadi Sutanto alias Pepen. Ia bersama tiga teman lain asyik main "monopoli" atau "bursa". Minggu malam Sigit kembali ke flatnya. Dan tengah malam itu, seperti dituturkan Abrori pada TEMPO, ia menerima telepon dari Arya yang menginap di tempat Sigit. Ia berhasil merekam acara TV Jerman itu dengan bersih. Senin, 2 Februari, sekitar pukul 08.15 Abrori menelepon Arya. Herannya, telepon itu tak ada yang mengangkat. Abrori yang ditemani Agung curiga, dan berangkat ke tempat Sigit di Weijk. Lingkungan Tanthof di flat Geitenkamp itu memang sepi dan cocok untuk mahasiswa yang perlu ketenangan. Tapi mengapa flat itu kosong? Mereka menanyakan pada tetangga Sigit, yang hanya beberapa. Dan terkejutlah mereka mendengar penuturan orang itu. Pukul 4.30 dinihari, di flat Sigit, kata orang itu, ada ledakan yang disusul kebakaran. Di luar sebuah mobil meluncur cepat. "Pengemudi dan penumpangnya tak jelas," begitu kata tetangga, seorang Belanda. Ia berusaha menyelamatkan korban. Tapi Sigit sudah tewas. Dan Arya, dalam keadaan koma, diangkut ke RS Delft. Karena sudah gawat, lalu korban dibawa ke RS Rotterdam. Ia meninggal dalam perjalanan. Luka di kepalanya parah. Abrori, Agung, dan Swas diizinkan polisi melihat keadaan flat korban yang porak-peranda. Mereka menemukan sebuah jeriken bensin. Daun jendela hangus terbakar. Dan barang yang lenyap: komputer, televisi, sound system, video. "Kalau barang itu yang diincar mengapa membunuh," ujar Abrori. Agung terhenyak dan berlinang airmata. Sementara koran seperti De Telegraaf di Amsterdam menulis, "Kemungkinan pembunuhan itu berkaitan dengan perdagangan narkotik." Tapi mahasiswa Indonesia di Delft membantah. "Arya merokok baru dua bulan lalu," kata mereka. Apa karena ia mengisap keretek, disangka narkotik? "Pembakaran di flat itu untuk menghilangkan jejak. Dan kasus ini tak ada kaitannya dengan soal rasial atau narkotik," kata Suharno, Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Belanda. Sigit, anak sulung Yuwono pensiunan Kepala Kantor Dinas Kesehatan di Magelang dan penerima Satya Lencana Karya Satya. Ia mahasiswa Jurusan Informatika di Technische Hogeschool Delft (TERHADAP) sejak April 1986. Dan Arya Primasatya, anak sulung Ir. Soewardi Soepadi, Kepala Biro Personalia Departemen Perdagangan. Arya, di tempat yang sama, belajar teknik penerbangan, sejak Juli 1985. Mereka mendapat beasiswa dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tempat mereka bekerja. Arya pegawai negeri di BPPT dengan pangkat II-a, sejak awal Maret 1985. Sedangkan Sigit sejak 1 Februari 1986 pegawai di BPPT dengan pangkat II-a. Kedua almarhum dinaikkan pangkatnya menjadi II-b, anumerta, terhitung 2 Februari ini. Arya pernah Ketua Science Club semasa di SLTA, kemudian kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Ia mengambil Jurusan Tehnik Sipil. Sedangkan Sigit, Staf Biro Personalia Pendidikan dan Latihan Deputi Bidang Administrasi BPPT, mahasiswa ITB jurusan Elektro. Sigit dikenal periang dan mudah bergaul. Ia senang memotret dan akrab dengan dunia seni tari dan karawitan Jawa. Keduanya belum selesai kuliah. Melalui BPPT mereka mendapat beasiswa Overseas Fellowship Program I dan II, untuk lima tahun. Syaratnya, mesti keluar dari perguruan tinggi tempat mereka belajar sebelumnya. Agus Kismanto, 24, mahasiswa Jurusan Mechanical Engineering TERHADAP, bercerita bahwa Sigit pernah menitipkan paspor dan ijazahnya pada Tri Hartanto, mahasiswa di Delft asal Magelang. "la menyebut ada orang yang mencurigakannya," kata Agus, mengutip keterangan Tri, yang dititipi. Kunci rumah Sigit di tangan Arya hilang. Ke mana larinya kunci itu? Turut lenyap dompetnya yang berisi alamat teman-temannya. Tapi polisi tak payah mencari pelakunya. Sebuah sepatu di rumah korban jadi petunjuk. Selain itu, sebuah sedan Toyota Corolla sudah ditemukan. Rabu pekan lalu, Freddy, 21, ditangkap polisi Betanda. Freddy (nama ini sudah disamarkan) kuliah di sebuah akademi fotografi di Den Haag. Ia mengaku bersama Fulan (nama ini sementara juga disamarkan) menemui Sigit. Setelah bertengkar dengan Sigit pada Senin subuh itu, Freddy ke mobil. Fulan, 23, menyusul dia sembari menyingkat barang-barang milik Sigit. Sedangkan Arya masih tidur di kamar. Sebelum tancap gas, Freddy melemparkan bom "molotov" ke jendela. Fulan, yang ingin kuliah di TERHADAP, lolos dari kejaran polisi Delft. Dia menelepon saudaranya di suatu tempat. "Saya terjebak," katanya. Belum jelas makna ucapan ini. Minggu sore silam, menurut kepala penerangan Kepolisian Delft, H.H van der Meyden, Fulan sudah diciduk Bundes Politzei di Dusseldorf, Jerman Barat. Beberapa barang curian ditemukan di jalan-tol Leidschendam. Komputer merk Amiga, yang seminggu dibeli Sigit, belum ditemukan. Simon, penadah sebagian barang, sudah diusut. Ia tak ditahan. Walau dua tersangka itu kini diperiksa polisi Delft, latar pembunuhan masih gelap. Sementara itu, kejadian serupa dua pekan silam juga menewaskan seorang mahasiswa Indonesia di Kanada (lihat Leraian Maut). Peristiwa seperti diatur ini memang menggelisahkan. Misalnya bagi pensiunan Kanwil Departemen P dan K Ja-Bar, M.E. Iskandar. naknya, Imam Hidayat, lulusan FIPPA Unpad itu, adalah teman Sigit dan Arya. Iman juga dikirim BPPT. Seminggu lebih dia tak menelepon ayahnya di Majalengka itu. Si ayah lalu ke kantor Habibie menanyakan hal Imam. "Kejadian nahas itu jangan melumpuhkan semangat. Tapi harus jadi cambuk bagi mahasiswa lain," kata Habibie. Yulia S. Madjid, Laporan Hendrix M. (Belanda) & biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini