IA muncul dari tempat tak dikenal dengan impian memenangkan sebuah lomba balap sepeda, yang bahkan dia sendiri tak dapat mengucapkannya dengan fasih: Tour de France. Tempat tak dikenal itu adalah Reno, Nevada, Amerika Serikat. Begitu keluar dari kampungnya, dalam usia 19 kala itu, untuk mengayuh sepeda selama 9 bulan di Eropa, rasa rindu rumah merundungnya dengan hebat. Namun, yang diperolehnya memang tak sedikit. Bersaing dengan para profesional dari berbagai negara, dia memperoleh pengalaman sangat berharga, apalagi didukung oleh bakat alamnya yang sangat besar. Sesungguhnya, sejak pertama ia mengayuh pedal sepedanya di jalan-jalan di Eropa, ia merasa tidak cocok dengan kebudayaan yang menjauhkannya dari Log Cabin Syrup, Taco Bell, dan The Rock Ford Files kesukaannya. Kekecewaannya terobati ketika dia sukses menjadi pembalap sepeda nomor satu, mengantungi uang US$ 1,3 juta yang dikumpulkannya dari kemenangannya selama lebih dari empat tahun. "Ulah seorang Amerika yang urakan," demikian komentar masyarakat Prancis. Greg LeMond tidak hanya bercita-cita tinggi. Khayalnya melampaui bulan. Tour de France, yang pertama kali diadakan pada 1903, berkembang dan lalu dianggap sama keramatnya dengan sosok seorang ibu dan sauce bearnaise (saus mentega dan telur). Berkelok-kelok mengelilingi negeri dalam dua puluh tiga hari, bak ular Bon menggeliat-geliat terkuras napasnya, adalah momen yang paling bergengsi. "Bersepeda untuk rekreasi barangkali sangat menyenangkan. Tapi yang ini sungguh tak sehat, suatu olah raga yang benar-benar keras," kata seorang pembalap sebelum mencapai finish di Paris tempat yang tiap tahun dilewati oleh para pembalap yang selamat, di bawah bendera Finish di depan Istana Champ Elysees. Berlomba tiap hari terus-menerus sangat memacu jantung, paru-paru, dan tubuh. Coba lihat LeMond. Wajahnya benar-benar kuyu. Tour de France telah membuat wajah pemuda Amerika itu kelihatan cepat tua. Dalam usia 25 tahun, dia seperti seorang yang selamat dari kamp kematian, bertahan di urutan pertama dalam lomba yang oleh koran-koran Prancis dijuluki "Perjalanan menembus neraka". Dan kali ini, Tour de France yang terberat selama empat puluh tahun terakhir. Tetapi LeMond lebih dari sekadar selamat dari "neraka". Dia menanggung ancaman yang belum pernah terjadi dalam 83 tahun sejarah Tour de France: suatu pengkhianatan dari dalam timnya sendiri, pengkhianatan yang dipimpin oleh juara tour 5 kali, orang yang paling populer di Prancis, harapan besar bangsa yang bernama Bernard Hinault. Hinault sendiri telah menjanjikan dukungan kepada rekan satu timnya, LeMond, sebelum perlombaan. Tetapi, di tengah kompetisi, dia bernafsu sekali mengangkangi kemenangan itu, laksana binatang pengerat yang menggeram, mencengkeram. Di negerinya, orang ini memang dijuluki "The Badger", sejenis binatang mengerat berbulu hitam-putih, hidup dalam lubang tanah. Dia memang tak berambisi hanya untuk dirinya sendiri, tapi demi negaranya yang merasa ngeri Tour de France kebanggaannya hendak dibajak oleh seorang Amerika. Ketika LeMond pertama kali datang dari AS, 1981, Hinault menganggapnya sebagai favorit. Tak lama kemudian, ia menyebut LeMond sebagai saudara kembarnya. Si anak muda LeMond, tentu saja, terbuai dengan sikap itu. Tapi sekarang tidak lagi. Sekarang dia mengaku bahwa dirinya tak pernah mengerti isi hati Bernard Hinault yang paling dalam. "Aku memandang dia," kata LeMond, "tak ubahnya seperti binatang". Sedangkan bagi penduduk Reno, remaja LeMond - dengan celana pendek hitam Lycra dan kaki yang mulus mengayuh sepeda seharga US$ 2.000 - bagaikan pussy willow, sejenis pohon dengan bunga-bunga kecil putih dan lembut. Memang, inilah balap sepeda profesional yang paling keras di dunia. Para ahli mengatakan, balap sepeda tingkat Tour de France yang berlangsung selama 23 hari itu lebih berat daripada lari maraton setiap hari selama 3 minggu. Tidak seperti seorang pelari, seorang pembalap harus terus-menerus berlomba untuk saling mendahului. Jantung mereka rata-rata berdenyut 90 sampai 190 kali per menit selama sekian jam. Otot-otot mereka nyeri terbakar asam laktat. Kaki menjadi panas, pantat sakit. Padanan untuk semuanya itu cuma sepatah kata: "sengsara". "Aku tahu, untuk mencapai yang teratas, aku harus memperoleh pengalaman Eropa," kata LeMond yang menempuh 18.000 mil per tahun, atau rata-rata 75 km per hari. "Anda harus membiasakan diri menderita hari demi hari, bulan demi bulan, sampai di ambang kehancuran, tapi tak- sampai hancur. Pelajaran ini yang kudapatkan di Eropa ketika aku berumur 19 tahun." Sementara itu, pengalaman lain LeMond di negeri orang banyak yang tidak menyenangkan. Di Amerika, olah raga sepeda hanyalah olah raga kesegaran jasmani. Tapi di Eropa, mengayuh pedal sepeda sama harganya dengan bertinju dan olah raga memasukkan bola ke jaring yang disebut bola basket di AS. Yakni menjadi jalan untuk mengangkat status. Dan itu dibuktikan sendiri oleh seorang anak desa yang kekar: Bernard Hinault. Ketika ia beranjak dewasa, keluarganya tidak memiliki mobil. Sejak peralihan abad ini, di Amerika, itu berarti tipis kemungkinan ekonomi keluarga Hinault berubah. Lihatlah, pemenang pada tour pertama, sekian tahun silam, oleh keluarganya hanya dianggap seorang bocah, dihargai dengan sebongkah keju. Balap sepeda menuntut usaha keras dari sebuah tim yang terdiri dari 10 orang, untuk meluncurkan seorang jagonya menuju kemenangan. LeMond bergabung dalam tim Hinault sebagai seorang "rekan" - tapi sebenarnya tak lebih dari seorang "kacung". Ia, yang statusnya sedikit lebih tinggi daripada para anggota tim lainnya, mengejar kemudian menyalib dengan melawan arah angin lawan-lawan timnya, untuk memberi jalan kepada pembalap utama, yakni Hinault. Peranannya kelihatan sepele, tapi posisinya tak tergantikan. Pada hari ke-17 Tour de France 1985, LeMond mendapatkan dirinya berada jauh di depan Hinault dan ia mengambil alih kedudukan pimpinan tour. Kali itu, sebetulnya, LeMond berkesempatan menjadi orang Amerika pertama yang mengenakan kaus ketat berwarna kuning pisang, yang dipersembahkan pada akhir setiap etape kepada pemimpin tour -- "The Yellow Jersey", demikian sebutan kaus yang merupakan simbol kebesaran itu, yang di Prancis lebih dipuja daripada simbol Legiun Kehormatan. Tapi, pada saat yang menentukan, salah satu dari pelatih LeMond mendahuluinya dengan mobil tim dan memerintahkannya mengurangi kecepatan. Dengan beraninya LeMond menolak. Pelatih Prancis itu sekali lagi berteriak dengan garangnya, "Greg, perintah ini untukmu! Kamu berhenti sekarang juga!" Dengan segan LeMond menurut - memperlambat kecepatan demi melindungi gengsi Hinault agar tetap bisa mengenakan "Yellow Jersey". Menyadari bahwa dirinya sebenarnya yang teratas, LeMond menangis di depan umum. Kenyataan pahit yang ia alami jelaslah merupakan skandal dalam balap sepeda profesional. Ternyata, olah raga ini tak selamanya bersih. Kadang-kadang politik dan uang ikut berperan, sehingga mempengaruhi hasil akhir kompetisi. Bakat LeMond yang luar biasa itu membuat Hinault tidak berpikir dua kali untuk menarik LeMond ke dalam timnya, La Vie Claire, dengan bayaran US$ 333.000 per tahun salah satu bayaran tertinggi dalam olah raga profesional. Dan yang diperoleh LeMond tak hanya itu. Lewat nilai kontrak dan start money (semacam uang tanda jadi), ia mendapat dua kali lipat. Buah dari La Vie Claire itu, LeMond memiliki rumah di Belgia dengan sebuah Mercedes Benz, dan sebuah rumah lagi di dekat Sacramento California, dengan Mercedesnya yang kedua. Tapi bila saat mengayuh tiba, dan ia menjadi bagian dari seekor ular yang meliuk-liuk mengembuskan napas ngos-ngosan, dia tetap "rekan" Hinault. Di podium kemenangan, pada akhir Tour de France, LeMond berdiri di tempat kedua dalam bayangan Hinault, laksana seorang pelayan yang meladeni majikannya. Hinault bukannya tak merasakan apa pun terhadap "rekan"-nya itu. Masa yang dia ramalkan, bahwa bakat "bawahan"-nya mengungguli bakatnya sendiri, telah tiba. Di bawah rindangnya pohon-pohon sycamore Champs Elysees, dia berjanji akan membantu LeMond menuju kemenangan di tahun berikutnya, 1986. "Saya akan berkorban untuknya sebagaimana ia telah berkorban untuk saya. Saya pikir, dia tidak akan menemui kesulitan untuk memenangkan Tour de France". * * * Pada 15 Juli, ketika iring-iringan mendekati pegunungan Pyrenia, dua hari yang paling menentukan, 100 pembalap top terpencar dalam rombongan-rombongan, dengan beda waktu kurang dari sebelas menit. Setelah lebih dari seminggu berlomba mengelilingi Prancis - berlawanan dengan arah jarum jam, dimulai dari Paris - tak satu pun dari 21 tim menciptakan unggulan yang menentukan untuk menjadi yang teratas. Tour de France memang perjalanan mengelilingi Prancis. Arahnya berubah-ubah tiap tahun, tapi biasanya menyapu pantai-pantai Normandia dan jalan-jalan tertinggi di Pegunungan Alpen dan Pyrenia. Pada daerah datar dan panjang, sebelum mencapai pegunungan, iring-iringan seperti kereta raksasa melesat dengan kecepatan 64 km per jam. "Jika aku ingin menimbulkan rasa ngeri dalam diriku, aku akan menutup mataku selama dua detik," kata seorang pembalap. "Aku tak berkonsentrasi pada apa pun, tapi aku melihat segalanya. Di akhir hari itu, bagian belakang leherku lebih pegal daripada kakiku.... Sukar bagi orang lain membayangkan ketegangan dalam suatu rombongan." Perjuangan mencapai posisi dalam suatu iring-iringan sama agresifnya dengan karate full contact. "Peserta-peserta lain akan mendorong dari dua sisi begitu keras. Bila seorang pembalap tak mampu mempertahankan kecepatan, ia akan tergencet di tengah, seperti biji semangka," kata seorang pembalap yang lain. "Jika aku berhenti mengayuh satu detik saja, 30 pembalap akan mendahuluiku. Jika aku berhenti mengayuh 10 detik, aku akan menjadi juru kunci." Kadang-kadang, pembalap mengalami gegar otak dalam kecelakaan di jalanan, atau koma karena jatuh dari sepeda. Pada medan yang sempit, para pembalap bersrempetan dan mereka roboh bagaikan rumah kartu. Prancis menjadi gila terhadap drama penderitaan umat manusia. Satu dari tiga orang Prancis pasti menonton tour yang berlangsung selama 3 minggu ini - semuanya diperkirakan 20 juta penonton berdiri menyemut sepanjang 4.000 km. Berbagai hidangan disajikan di meja-meja lipat sepanjang rute, antara lain masakan daging angsa, artichokes (sejenis tumbuhan yang bunganya dimakan sebagai sayur), ayam dingin, dan tak ketinggalan berbotol-botol anggur. Kantor pos menjadi lengang, sopir-sopir turun dari truk Mercy mereka. Sapi-sapi tidak diperah, dibiarkan melenguh di ladang sementara seluruh negeri menyaksikan lomba ini. Orang-orang gila itu keluar dari pegunungan. Mereka adalah fans yang telah camping berhari-hari di sepanjang kelokan tajam pegunungan. Mereka, pria dan wanita, mengenakan kostum lengkap menurut tim favorit masing-masing, kaus-kaus "Yellow Jersey" dengan celana pendek hitam. Kegairahan para Gaul (orang Prancis) itu tampaknya tak dapat diukur oleh pikiran orang asing. Ya, kira-kira dapat dibandingkan dengan pecandu baseball New York yang berangkat menuju stadion mengenakan lencana bergaris-garis Yankee. Para pengagum datang ke pegunungan karena di tempat inilah tour mencapai titik puncaknya. Iring-iringan, yang tadinya kelihatan rapi, menjadi terpecah belah dalam kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam kelompok terdepan, berkumpul para ahli tanjakan. Merekalah - antara lain Luis Herrera orang Kolumbia. Robert Millar dari Skotlandia, Urs Zimmerman dari Swiss, lalu Hinault, dan LeMond - yang memiliki kesempatan memenangkan Tour de France yang paling terjal ini. Setelah melewati etape kedua, Hinault makin melaju dengan cepatnya, menyerbu dan memorak-perandakan pembalap-pembalap di sekitarnya. Kebanyakan mereka tak acuh menyaksikan pemandangan ini, karena mereka semua sedang menderita. Tapi LeMond, yang merasa sangat fit dan mengenali implikasi-implikasi taktis itu, segera merasa putus asa, "Aku hampir terkencing di celana." Menurut peraturan tak tertulis dalam olah raga ini, LeMond tidak boleh mencoba mengejar Hinault. Dia harus berada bersama lawan-lawan dari tim lain dan memblokir usaha mereka mengejar Hinault. Tiga atau empat orang yang kompak bekerja sama selalu dapat mengambil alih posisi seorang pembalap yang sendirian. Jika seorang pembalap menolak bekerja sama, dia akan mengacaukan irama grup pengejaran seolah-olah sebuah mesin kehilangan salah satu silindernya. LeMond dengan ogah-ogahan melaksanakan tugasnya. Sementara itu, Hinault melakukan terobosan yang segera dikenal sebagai salah satu terobosan yang paling berani. Seorang pembalap Spanyol bernama Pedro Delgado berjuang keras menyamai posisi Hinault. Dan Hinault tampak tidak mempercepat kayuhannya. Ialah sang juara memberikan tawaran, jika si Spanyol itu mau bekerja sama, Hinault berjanji akan membiarkan dia memenangkan etape tersebut. Sepanjang 30 mil mereka melaju bersama dan, sebelum mencapai Kota Pau, Hinault berhenti mengayuh lalu membiarkan Delgado mendahuluinya. Delgado tak perlu berpikir panjang untuk menerima tawaran Hinault. Segala cara ditempuhnya hari itu agar, pada saat melewati perbatasan negaranya, ia dielu-elukan sebagai unggulan. Hinault tentu saja penuh perhitungan. Dengan membiarkan Delgado, ia menyingkirkan musuh-musuh yang sebenarnya. "Aku minta agar dia menambah jarak waktu, dan aku memberinya satu etape sebagai bonus," kata Hinault. Rencana jagoan ini, bila saatnya tiba, dia akan meloncat ke tempat pertama dengan keunggulan waktu 5 menit 25 detik. Greg LeMond, sementara itu, memandang bingung dengan perubahan situasi ini. "Kesalahanku yang terbesar adalah bergabung dalam tim Hinault," katanya. "Lebih baik aku mengundurkan diri dari tour ketimbang mendapat tempat kedua lagi." Dulu, keunggulan waktu 5 menit tidaklah patut dibicarakan. Tapi, dalam balap sepeda kontemporer, 5 menit sulit dikejar Dalam Tour de France 1985, setelah 113 jam 24 menit berlomba, Hinault berhasil mengungguli LeMond 1 menit 42 detik. Sekarang, sambil menaiki podium kemenangan yang portable, yang merupakan bagian konvoi raksasa yang bergerak dari hari ke hari menuju garis finish, Hinault dengan tenangnya membalas sorak sorai yang menggelora. Tatkala "Yellow Jersey" dikenakan padanya, para pengagum mengerumuni sebuah paviliun berlantai dua yang menyediakan Coke minuman resmi Tour de France. Selusin stasiun televisi meliput peristiwa ini, tak ubahnya seperti menyambut Napoleon yang kembali dari Elba. Laksana seorang kaisar, Hinault yang rendah hati - tetapi diwarnai oleh jiwa yang angkuh, ditambah temperamen garang dan selalu haus akan kemenangan - tak segan-segan menempuh segala cara untuk menjadi yang terbaik, dalam proses menjadi kaya raya dan menjadi tiga besar juara 5 kali tour. Sudah lama dia mengumumkan akan mengundurkan diri dari olah raga ini untuk selamanya, setelah ulang tahunnya yang ke-32, 20 November 1986. Tiada tuntutan lain dalam benak para pecandunya, yang mengerumuninya ketika dia dipeluk oleh seorang lelaki dalam kostum singa (maskot sponsor), kecuali Hinault mengukir sejarah dengan enam kali kemenangan sebelum ia pensiun. Sebuah tempat di gelanggang olah raga pantheon. Sebuah barisan menuju Paris yang berakhir di bawah bayang-bayang monumen Kemenangan Napoleon. "Aku tak percaya Hinault masih ada," kata Jacques Goddet, seorang direktur tour tersebut. "Dia tampaknya terdorong oleh kebahagiaan yang dalam, keyakinan bahwa dia telah memperoleh kembali semua kekuatannya, dan memantapkan dirinya kembali sebagai juara abadi. Wahai, pemuda berambut lurus bagai dewa." Goddet, anak salah seorang pendiri tour, delapan dekade yang silam, tampaknya mengimani bahwa balap sepeda ini telah menjadi warisan suci dari masyarakat Prancis. Jika seorang Amerika sampai memenangkan tour tersebut, tak ada yang lebih baik dikerjakan daripada mengapalkan seluruh isi Istana Louvre ke Lousiana. Bagi Goddet, sungguh tak masuk di akalnya bahwa seorang Amerika merajai Tour de France. Seorang lagi yang tampaknya menyokong pendapat ini adalah Francois Mitterrand. Presiden Prancis itu, menurut seorang anggota La Vie Claire, telah menelepon Hinault untuk memberi semangat agar dia tetap mempertahankan prestasinya. "Aku mengerti, dia memikul beban berat," kata LeMond tentang Hinault yang tampaknya menanggung beban mental. "Tapi aku benar-benar tak memahaminya bahwa dia begitu bernafsu untuk menang, setelah berjanji berbuat sesuatu untukku dalam tour ini." Sekali lagi LeMond mendapat pelajaran di jalanan sepeda: "Jangan sekali-kali percaya kepada orang lain kecuali keluarga sendiri. Inilah kenyataan hidup. " * * * Dalam dunia balap sepeda profesional yang sesungguhnya, tak seorang pembalap pun menyelipkan pompa pada jari-jari sepedanya - seperti cara pembalap Italia ketika menyingkirkan jago Amerika dalam Breaking Away, film tentang olah raga ini. Pembalap-pembalap seharusnya tidak membawa pompa. Jika ban seorang jago kempis, rekannya harus mengorbankan ban sepedanya. Kenyataan hidup memang sering di luar kemauan kita, dan kadang-kadang meninggalkan memar yang tak terlihat oleh mata. Untuk menang dalam balapan, bukannya tak dapat diatur. Sering terjadi persekongkolan seperti ketika Hinault dikalahkan Delgado - dan ini sah: menukar jasa Delgado dengan sebuah etape. "Hal seperti itu selalu terjadi dalam lomba balap sepeda," kata LeMond. "Olah raga ini bukan sport individual. Kadang-kadang kita harus memperdagangkan sebuah kemenangan etape, atau yang semacam itu. Bahkan, sesekali terjadi, seorang pembalap memperdagangkan sesuatu yang lebih besar. Dalam kejuaraan dunia 1984 di Barcelona, Spanyol, LeMond berusaha mengejar pembalap yang berada di ujung depan. Tiba-tiba bekas juara nasional Italia, Moreno Argentin, berada di belakangnya. Bila mereka bekerja sama, para pendahulu pasti terkejar. LeMond mengusulkan agar mereka - dia dan Argentin - melakukan pengejaran secara beranting. Argentin setuju dengan minta imbalan sejumlah uang. Terang-terangan LeMond menolak, dan karenanya ia hanya bisa berada pada urutan ke-27. Pada saat ia melewati garis finish, ia berteriak, "Dia hanya mau bekerja sama pabila aku membayarnya 130.000 dolar!" (Argentin menyangkal bahwa dia meminta imbalan). Suap-menyuap merupakan hal yang lumrah pada saat-saat yang menentukan dalam lomba balap sepeda. Persekongkolan dapat terjadi antar pembalap atau dengan pelatih, dengan cara menyelip di antara mobil tim. Pada 1981, seorang pembalap Tour de France bernama Alain Meslet terang-terangan menjual kejuaraan Prancis ini di tengah panasnya lomba. Ketika ia berada dalam posisi menang, dia berkoar, "Aku menjual jasa-jasaku pada siapa yang membutuhkannya." Menurut John Wilcockson, koresponden The Sunday Times, London, yang mengkhususkan diri dalam balap sepeda, "Banyak pembalap yang sangat baik, tapi prestasinya tidak menonjol karena mereka menjual sebagian besar lomba yang seharusnya dapat mereka juarai." Persekongkolan yang paling licin sering tak terungkapkan, dan ini terjadi antaranggota dalam satu tim. Dalam Tour de France 1985, LeMond memperlambat kecepatannya karena ia berutang budi dalam memperoleh posisi dan gaji besar dalam La Vie Claire - kepada Hinault. Pada 1986, LeMond merekrut seorang pembalap terbaik kedua Amerika, Andy Hampsten, juara Grand Fork, North Dakota, yang memperoleh kemenangan yang sensasional dalam lomba di pegunungan Italia 1985, yang antara lain mengalahkan LeMond sendiri . Sebelumnya, Hampsten bekerja di toko alat-alat olah raga di Boulder, Colorado. Begitu bernaung di La Vie, Claire, ia memperoleh US$ 80.000 per tahun. Dalam Tour of Switzerland Juni lalu, LeMond sekali lagi memberi kesempatan kepada rekan senegaranya itu untuk keluar sebagai juara. "Banyak pimpinan tim tak pernah tahan dengan Andy," tutur LeMond. "Jika saja saya seorang Italia, saya sudah mengeluarkannya dari tim." Tapi LeMond, sudah barang tentu, punya perhitungan sendiri. Ia tahu, bila tiba saat Tour de France yang penting itu, bila ia membutuhkan bantuan Hampsten, rekannya itu tentu akan membayar pengorbanannya selama ini. * * * Dalam tahun-tahun pertama menjadi pembalap profesional Eropa, Andy tak terkesan dengan gaya hidup para pembalap. Setelah satu etape Tour de France, tempat tidurnya tidak seperti anak indekos lagi. Selama lomba berlangsung, hidangan utama makan malam adalah ikan dan spaghetti yang dipesan khusus oleh pengurus lomba. "Kami mengayuh sejauh 200 km, dan mereka memberiku bubur pasta," katanya. Maka, malam itu, dia dan LeMond mengobarkan revolusi gaya Amerika. Mereka menyerobot masuk ke dapur hotel untuk makan malam ala Meksiko. "Fiesta!" teriak LeMond sambil menggoreng setumpuk tortilla yang dipaketkan oleh istrinya, Kathy, seorang wanita Amerika. Kathy dan LeMond datang ke Prancis sebagai remaja-remaja. Setelah dua tahun tinggal di Kota Nantes, Kathy yang periang merasa terasing. Suaminya merasa kesal terhadap tradisi cinta orang Prancis yang menyiksa - yang membuat istri kesepian selama 23 malam berturut-turut. Pada 1982, LeMond pindah ke rumah yang terbuat dari kayu tebal dengan halaman ditumbuhi rumput tebal di Kortrijk, Belgia. Mereka dapat mendengarkan BBC, membaca majalah Amerika, dan berbelanja barang dari Amerika, seperti La Victoria Salsa Casera. "Aku telah banyak berkorban, sesuatu yang tak bakal dipahami oleh pembalap Eropa," kata LeMond. Itu sama halnya bila seorang Prancis yang pindah ke Amerika pada usia 19 tahun, yang tidak dapat berbahasa Inggris, dan mencoba berhasil dalam baseball. "Aku tak akan pernah melihat Hinault hidup dengan istrinya di Iowa atau Kansas, sama seperti yang terjadi denganku di Prancis. Seorang koki Prancis dengan topi putihnya tiba-tiba masuk ke dapur. Ia tertegun melihat yang sedang diperbuat orang-orang Amerika itu. "Barito, tortilla, refritos," kata LeMond menyebut nama makanan Meksiko yang dimasaknya itu. "Kami menggemari makanan ini di Amerika," tuturnya sambil membungkuk membaui adonan seperti podeng itu. Koki itu terheran-heran melihat biji-bijian yang digoreng kembali, sesuatu yang baru pertama kali ia jumpai. "Yang ini benar-benar luar biasa rasanya," kata Hampsten, yang sedang mengaduk semangkuk adpokat yang persis bubur. "Oh, Tuhanku Guacamole!" seru LeMond "Oh, Yesus Kristus!" Pada musim pertama sebagai atlet profesional Eropa, LeMond sangatlah memesonakan. Dia menempati urutan kedua dalam Kejuaraan Dunia 1982, lomba satu hari yang paling penting dalam olah raga balap sepeda. Tahun berikutnya, dalam usia 22, dia menang lagi. Dia dipuja oleh pers sebagai "pengganti Eddie Merckx", atlet balap sepeda legendaris tahun 70-an. Toh pemuda Nevada itu tidak dapat memenuhi janjinya dulu. Sesudah dia kalah, para kolumnis olah raga Prancis berbalik sinis. Mereka mengkritik LeMond yang memaksakan syarat-syarat tertentu kepada sponsornya. "Dia dapat saja kehilangan karier balap sepedanya yang luar biasa," tulis seorang dari mereka. Masalahnya, LeMond mati-matian ingin memenangkan Tour de France. Untuk itu, dia tak hanya membutuhkan dukungan Hinault, tapi juga pembalap Prancis lainnya dari tim La Vie Claire. "Aku membutuhkan semua anggota tim yang siap mati di sadel sepeda mereka hanya untuk membantuku menang," katanya. Namun, selama ini, dia tidak memperoleh dukungan rasa setia seperti diperoleh Hinault yang tenang dan dingin itu. LeMond, orang yang mudah panik dalam menghadapi krisis, bukanlah pemimpin sejati. Halangan terbesar adalah bahwa dia tak disukai - hal yang kurang lebih sama dalam kesebelasan NFL, yang menganggap hanya ada seorang gelandang berkulit hitam. Menguji kepemimpinannya sebelum Tour de France 1986, LeMond memimpin La Vie Claire dalam Tour Italia selama dua hari. Ketika itu, Hinault berada di garis tepi. Saat lomba berlangsung, seorang utusan yang mewakili pembalap terkemuka, Giuseppe Saronni, mendekati LeMond dan menyampaikan salah satu dari perjanjian-perjanjian kecil seperti biasa terjadi. Jika La Vie Claire melepaskan LeMond untuk Saronni, timnya akan membayar La Vie Claire, menurut sebuah sumber, US$ 50.000. Ketika Greg menolak tawaran tersebut, menurut Bob LeMond, ayahnya - seorang pialang real estate di Reno yang menangani urusan bisnis anaknya pembalap domestik dalam tim La Vie Claire, yang kebanyakan gaji setahunnya sama dengan bayaran sebulan LeMond, angkat kaki. "Walaupun uang bukan segala-alanya, rekan-rekan Prancis itu berkhianat," kata Greg. "Malang sekali mereka," kata Greg saat berlangsung Tour de France. Sekali lagi dia menyatakan rasa herannya, adakah yang dapat dipercayainya dalam La Vie Claire. "Mereka dibayar oleh timku, dan mereka ada di sana untuk bekerja padaku. Tapi mereka pergi. Tanggung jawab mereka hanya pada Hinault. Jika aku tetap di tim ini, aku tetap akan minta beberapa dari mereka hengkang. "Potensiku sebagai pembalap sepeda tersendat-sendat karena aku orang Amerika. Seandainya aku dilahirkan di Prancis, dengan kemampuan tubuh yang sama, aku pasti jauh lebih sukses saat ini," katanya. * * * Hari-hari setelah Hinault membuat terobosan di Pegunungan Pyrenia, para pembalap menjalani hari tersulit. Roda-roda sepeda balap itu harus menggelinding sepanjang 185 km, melewati 4 pegunungan - mulai dari Col du Tourmalet yang terkenal sebagai medan yang sangat sukar. Jalan menuju puncak, setinggi 1.950 m, berada di atas garis pucuk pepohonan. Di situ semacam tetumbuhan berduri hanya berbunga di musim semi, dan salju bergantung pada puncak karang yang berbentuk seperti amphitheatre. Sukar untuk mengatakan mana yang lebih membuat para pembalap merasa ngeri, menurun atau mendaki. "Kami menggenjot dengan kecepatan sembilan puluh enam km per jam hari ini," kata Andy Hampsten. "Sepanjang hari itu pikiranku dihantui oleh bayangan ini: seandainya aku menghantam sebuah karang, atau ada pelumas yang tercecer dari mobil, tamatlah sudah. Aku mampus. Rasa ngeri semacam itu yang harus aku tekan. Rasanya, aku tak sanggup lagi memikirkan hal tersebut." Jalan menurun yang curam merupakan daerah yang tepat yang dipilih Hinault untuk melancarkan terobosan sendirian. Keberanian ini dicatat sebagai momen dalam Tour de France 1986 yang paling kontroversial. Di saat jalan berkelok-kelok seperti pita melalui lapangan penggembalaan Basque, dia membuka blokir lebar-lebar. Nantinya, mereka akan mencoba mengatakan bahwa semuanya itu untuk LeMond - satu contoh bagaimana mengendarai sepeda dengan anggun, keahlian Hinault yang dipuja-puja orang Prancis. Kata pelatih Hinault kepada para wartawan televisi Amerika, "Saya kira, Bernard ingin menunjukkan kepada LeMond bagaimana seharusnya dia melaju untuk memenangkan lomba." Tapi LeMond melihat, Hinault memindahkan gigi persneling terbesar, empat belas. Karena itu, dia tahu bahwa pertunjukan itu bukan untuknya. Hinault menjejak pedal saat berada di jalan curam yang berkelok, menciptakan perbedaan waktu tiga menit. Terang, ini bukan untuk memberikan contoh. "Jika dia tetap mempertahankan kecepatannya," LeMond berkata kepada dirinya sendiri, "Hinault akan menyelesaikan lomba dengan keunggulan delapan menit, dan tour akan berakhir. Aku tak punya pilihan lain kecuali bekerja untuk Hinault, karena jarak waktu demikian besar tak mungkin teratasi. Dia sedang berusaha mengubur diriku." Seorang pembalap berada di dekat Hinault saat ia melakukan terobosan. Dia Alexi Grewal, seorang Amerika, pemegang medali emas Olimpiade Los Angeles 1984. Ia bergabung dalam tim Amerika, dan baru pertama kali inilah negara besar itu ikut Tour de France. Yakni Tim 7-Eleven -- yang sejak semula telah dicemoohkan oleh para atlet balap sepeda profesional Eropa sebagai tak memenuhi syarat untuk bertanding. "Hinault telah melakukan langkah paling tolol dalam tour ini," ujarnya. "Ia unggul 5,5 menit, dan karena itu ia benar-benar menaruh Greg pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. Sesudah itu, dia melahap tiga pegunungan lagi. Apa maunya? Agar setiap orang menyerah? Dia melakukan semuanya ini karena dia pikir dirinya terlalu baik. 'Aku Bernard Hinault, kuda perkasa. Akan kutunjukkan kepada mereka. Jika aku berhasil, aku akan menjadi sebuah legenda', itulah kira-kira yang hendak ia katakan." Dalam temperatur tinggi (80 F), ketika tak seorang pun dapat diajak berunding soal kecepatan, Hinault semakin menggila. Saat itu, para pembalap merasa seperti membentur tembok - cadangan glikogen telah terkuras, tubuh pun menjadi amat letih. Di Kota Luchon, daerah yang sangat tinggi yang dipagari oleh banyak cafe di sepanjang tepinya, Hinault tiba-tiba mengeloyor menyeberangi jalan tanpa arah tujuan. "Dia mati tenggelam sementara tetap berdiri," kata Grewal, yang mengambil alih posisi Hinault bersama tujuh pembalap lain, termasuk LeMond dan Hampsten. "Tuhan, saya kira Hinault tamat riwayatnya. Dari saat kami mengejarnya sampai melewatinya, kecepatannya tak berubah. Dia tetap memasang persneling tinggi, tapi tak berusaha mengayuh pedalnya. Dia bahkan tidak melihat kami lewat. Baginya, kami semua ini tidak ada dalam lomba. Grewal membungkukkan badannya dan berteriak, "Jahanam kau, Bernie. Habislah kamu ! " Tak ada reaksi. LeMond bertanya apakah Hinault menginginkan dia tinggal dan membantunya. "Aku sudah tewas," ujar Hinault. "Susul yang lain." Ini dia, tiba saatnya bagi LeMond untuk membuat perhitungan dengan Hampsten. Begitu keluar dari Lunchon, dimulailah kerja berat keempat, dan yang terakhir: sebuah pendakian setinggi 1.050 m, bak perjalanan menembus awan yang disebut Superbagneres. Bersama lima pembalap yang bersusah payah di depan, Hampsten, yang berperawakan kerempeng dan bergigi tonggos - yang mengilhami Hinault untuk menjulukinya Le Petit Lapin atau Kelinci Mungil - menyerbu dengan ganasnya tepat pada sebuah tikungan curam. Bagai percikan api yang menimbulkan jarak, LeMond memberikan jalan bagi kawan-kawan setimnya. Sebagai pengendara terdepan dalam lomba tersebut, Hampsten hampir tak mempercayai matanya sendiri ketika melihat berpuluh ribu penonton menunggu, tiga helikopter berputar-putar tak kedengaran suaranya, tenggelam dalam sorak sorai. Rasanya, sukar untuk tak mengacuhkan ingar-bingar penonton yang berpesta di hadapannya. Tapi ia harus menulikan telinganya, membutakan matanya, kalau tidak mau menjadi terlalu gembira yang tentu akan membuatnya terlalu bersemangat, dan, seperti Hinault, ia akan hancur karenanya. Seharian tadi ia tak makan apa-apa. Memang, ketika seorang pelatih mengantarkan makan siangnya, pada saat dia masih mengendarai sepedanya, Hampsten mencoba juga menelan makanan itu. Tapi dia begitu terengah-engah karena terlalu bersemangat, hingga dia muntah. Dia tidak hanya sakit, melainkan sekujur tubuhnya serasa hancur. Sama sekali tidak dibenarkan memaksa diri terlalu keras. Tapi seluruh penderitaan sepanjang tahun, baik dalam hujan maupun salju, adalah demi hari ini. Yakni untuk melaksanakan sebuah tugas: melaju dan menyelamatkan Greg LeMond dari cengkeraman Hinault. Empat mil sebelum garis finish, Hampsten tak mampu lagi mempertahankan kecepatan, dan ia ketinggalan. LeMond yang relatif lebih segar, setelah dua setengah mil terlindung dari hantaman angin oleh rekan setimnya, segera saja mengambil alih pimpinan, dan melaju terus untuk memenangkan etape pertama dalam Tour 1986 yang lalu itu. Terlebih penting, LeMond unggul empat menit tiga puluh sembilan detik atas Hinault. Dalam sehari yang luar biasa itu, dia telah mendapatkan kembali seluruh waktu yang telah hilang dua puluh empat jam sebelumnya. * * * Semuanya telah selesai, kecuali sebuah paranoia karena kekecewaan. "Kali ini aku mungkin memenangkan tour. Seandainya aku benar-benar menang," kata LeMond setelah melewati Superbagneres. Memang, lomba belum selesai, masih lebih dari seminggu lagi, dan masih dua etape sulit lain di Pegunungan Alpen menunggu. Tapi Hinault, dalam kepudaran kariernya, boleh diharapkan pasti ketinggalan. Pada finish pertama setelah puncak gunung di daerah Serre Chevalier yang elok, LeMond mengayuh lebih dari tiga menit di depan Hinault, dan mencopot "Yellow Jersey" dari punggungnya. Hari berikutnya, mereka tiba di kaki pendakian yang paling terkenal dalam tour ini. Jalan mendaki dengan dua puluh dua kelokan sebelum garis finish di Alpe-d'Huez. Dan di jalan inilah fans yang histeris bersorak-sorak hanya beberapa sentimeter dari para pembalap yang lewat dengan ngos-ngosan. Bentrokan antara para penonton dan pihak keamanan sering meledak di daerah ini. Di kaki Alpe-d'Huez, kira-kira 500.000 orang berdesakan sepanjang jalan. LeMond hampir menjadi gila. Bayangan bahwa penonton akan mendorongnya jatuh, bila dia mencoba mendahului Hinault, menyiksa perasaannya. Maka, dia tetap berada di belakang Hinault, membuntutinya terus sampai ke atas. "Jika aku memberi Bernard kemenangan beberapa menit lagi, tentu akan sangat memalukan," katanya. Tapi, ketakutannya terhadap reaksi orang-orang Prancis bila ia, sebagai orang Amerika, menang, lebih menghantuinya. "Mereka kelihatan geram sekali kepadaku." Hinault dan LeMond mendaki berdampingan, tangan mereka bergandengan. Tapi, begitu sampai di puncak, LeMond mengurangi kecepatan untuk membiarkan Hinault mendahuluinya. Dan ketika Hinault maju ke mimbar untuk menerima karangan bunga gladiol, udara pun pecah oleh sorak, "Hi-nault! Hi-nault!" Sejumlah polisi harus mengawalnya turun dari mimbar. Daun-daun bunga gladiol merah itu rontok menaburi jalan yang dia lalui - jalan di tengah lautan kepala. Hinault dikenal suka menampar anak-anak yang meminta tanda tangan. "Aku merasa risi bila orang-orang menyentuhku," kata sang juara. Ia tampaknya memang seorang penyendiri. Seperti yang dilakukannya setiap malam, dalam rumah mobilnya, dia melarikan diri. Pintunya ditutup, demikian juga tirai-tirainya. Orang-orang tak tahu diri mengerumuni rumah mobil itu. Mereka bukan hanya para pengagum yang fanatik, tapi juga sejumlah wartawan yang sedang menyiarkan tour tersebut kepada satu milyar penonton televisi. Sementara itu, di dalam mobil, pahlawan Prancis itu bercukur, berganti pakaian, dan menyisir rambut hitamnya yang lurus dengan rapi. Lalu dia muncul dengan kaca mata pelindung sinar yang bergagang kulit penyu, bergaya seorang pilot. Tak disangsikan lagi, Hinault setampan Jean Paul Belmondo, penuh keyakinan laksana penyelenggara lomba pidato. Dia bangga dengan yang telah dia lakukan bersama Greg hari itu, tutur Hinault beberapa menit kemudian di muka kamera televisi. Tetapi ia pun tahu bahwa tour belum usai. "Saya hanya dapat berharap yang terkuatlah yang akan menang," katanya. Apakah itu berarti dia akan menggebrak LeMond? "Entahlah, mungkin juga." Sedangkan wajah LeMond, yang sedari tadi duduk di sampingnya, berubah kelabu. Kata-kata Hinault seolah-olah merendahkan dan mengabaikan peraturan balap sepeda. "Binatang pengerat" itu bukannya mensyukuri jalan lempang yang telah dirintis oleh LeMond - dan berjanji melindunginya dari serobotan tim lain. Tapi, belum-belum, ia sudah berbicara di depan jutaan penonton televisi tentang pemberontakannya. Balap sepeda adalah olah raga yang mengandalkan kerja sama tim, sama halnya dengan sepak bola. Bila Hinault menolak mendukung LeMond, seperti yang dia janjikan setelah Tour 1985 lalu, ini seperti juga seorang pemain kiri luar atau kanan luar yang tak mau bekerja sama dengan gelandang tengah, dan sementara itu gelandang tengah justru lari ke arah yang berlawanan. Tentu saja itu membuat garis penyerangan penuh lubang seperti ayakan. LeMond pun mafhum baginya, untuk menang, tak cukup menjadi pembalap sepeda terkuat di dunia. Dia harus pula mampu menggoyahkan fondasi olah raga itu, menggebrak seluruh sistemnya. Sebab, Tour de France belum siap menerima kenyataan bahwa seorang Amerika bisa unggul sebagai anggota Tim Eropa. "Setiap orang dalam tim hendaknya menjadi sekutu saya sekarang," kata LeMond setengah memohon. "Ini adalah Tour de France terberat selama empat puluh tahun. Aku tidak hanya harus menaklukkan pembalap lawan, tapi juga harus bertarung dengan timku sendiri. Benar-benar membuatku pusing. Benar-benar seperti aku diempaskan badai." Tantangan Pegunungan Pyrenia, dalam diri LeMond, berganti menjadi semacam kesia-siaan. Ia seperti terjebak dan tanpa arah di Alpe-d'Huez, sementara dalam kepalanya ia mereka-reka khayalan paranoid yang aneh-aneh. "Aku khawatir sesuatu akan terjadi," katanya, setelah pemeriksaan urine rutin, untuk mencegah pemakaian obat bius. "Anda harus selalu lulus tes urine. Tapi olah raga ini begitu nasionalistis. Jadinya, aku ingin tahu seberapa jauh panitia memeriksa urine Hinault .... Bila saja ada yang mencampurkan sirop obat batuk, atau obat tetes mata dalam urine seseorang, bereslah sudah." Tapi tak ada kecurangan dengan pispot-pispot tersebut di hari-hari terakhir. Dan, walau telah berkoar-koar sebelumnya, Hinault ternyata tak dapat melakukan apa pun untuk mengambil alih kepemimpinan LeMond. Tiga hari sebelum mencapai Paris, Hinault memberi tanda menyerah di depan umum. Ia menyatakan bahwa, sejauh ini, dia berusaha memberi pelajaran lain kepada LeMond, "Aku telah menempatkan Greg di bawah tekanan maksimum. Jika dia tak roboh, berarti dia memang seorang juara dan pantas memenangkan lomba .... Aku lakukan ini demi kebaikannya. Tahun depan mungkin dia harus bertarung dengan seorang lawan yang dapat menyengsarakan hidupnya kelak. Dia sekarang memahami bagaimana harus bertahan, dan bagaimana membalas." LeMond tak mendengarkan ocehan itu. Dia begitu asyik memikirkan sebuah tim yang besar. Dengan lingkaran cahaya keemasan "Yellow Jersey" di punggungnya, dia akan menyeberangi Samudra Atlantik untuk mencari sponsor buat tim Amerikanya sendiri. Dia menghitung-hitung bahwa dia masih memiliki enam tahun lagi dalam olah raga. Dia ingin berlomba setengah musim balapan saja di Amerika Serikat. Dia dulu muncul dari dusun tak dikenal, membawa mimpi untuk membawa lomba balap sepeda ke kota-kota kecil, seperti Reno. "Aku tak akan pernah mendapat penghargaan yang pantas di Eropa," katanya, "Eropa adalah negara kecil. Amerika segalanya bagiku. Masih enam hari lagi aku di sini, tapi tak seorang pun tahu betapa bahagianya bahwa aku akan mudik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini