Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dialog Kebangsaan Membumikan Pancasila untuk Generasi Milenial

Cara terbaik mengajarkan Pancasila kepada generasi milienal yakni mengajak mereka merefleksikan dalam keseharian mereka.

7 Agustus 2020 | 14.28 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Diskusi kebangsaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Generasi milenial, atau merka yang berusia kurang dari 30 tahun, merupakan generasi yang tumbuh setelah era reformasi 1998. Seiring berlakunya TAP MPR No. XVIII/MPR1998, program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila–termasuk lembaga BP7–dihapus dari silabus pendidikan kebangsaan. Dampaknya kalangan muda tidak mengenal dengan baik nilai-nilai luhur Pancasila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Era paska reformasi dalamkurun waktu (1999-2009), bangsa ini sangat alergi terhadap Pancasila. “Jangankan penghayatan apalagi pengamalan, bahkan pengenalan terhadap Pancasila nyaris tidak ada satu pun institusi negara yang melakukannya,” ujar mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Lukman berbicara dalam Dialog Kebangsaan “Strategi Membumikan Pancasila untuk Generasi Milenial”, beberapa waktu lalu. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur Fendi Setyawan berpendapat, kondisi tersebut memunculkan paham dan ideologi selain Pancasila. Menurutnya, hasil survei badan intelejen Negara (BIN) menemukan 39 persen mahasiswa berpikiran radikal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedangkan Wahid Foundation mencatat 60 persen peserta kegiatan kerohanian Islam di institusi pendidikan menyatakan siap berjihad dengan jalan kekerasan.

“Sedangkan Menteri Pertahanan menyebutkan 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA terkontaminasi radikalisme. Berikutnya hampir 20 persen pegawai swasta, PNS dan karyawan BUMN tidak setuju dengan ideologi Pancasila,” ujar Fendi.

Menurut Fendi, fakta-fakta tesebut memunculkan lima tantangan baru. Yakni menguatnya kepentingan individu, berkembangnya paham fudamentalisme pasar, dan menguatnya fundamentalisme agama.Berikutnya menguatnya paham kosmopolitan atau gagasan bahwa semua suku bangsa merupakan komunitas tunggal dan dominasi hukum modern yang mengintervensi kearifan lokal.

Fendi menawarkan lima solusi menghadapi tantangan tersebut. Pertama, menguatkan pemahaman Pancasila kepada generasi milenial melalui wawasan kesejarahan. Kedua, membangun inklusivisme untuk mengurangi isu SARA. Ketiga mempersempit kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Keempat, penguatan lembaga khusus yang mensosialisasi Pancasila, dan terakhir memperbanyak sifat keteladanan tokoh dan pemimpin.

Sedangkan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti berpendapat generasi milenial cenderung bersikap kritis terhadap fenomena sosial. Cara terbaik mengajarkan Pancasila yakni mengajak siswa merefleksikan dalam keseharian mereka.

“Dengan cara itu saya yakin generasi milenial justru akan lebih kreatif ketika mereka melihat Pancasila sebagai ideologi yang terbuka,” ujarnya.

Secara struktural, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertugas melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. “Tugas BPIP membuat Pancasila relevan dengan kehidupan sehari-hari. BPIP akan bekerja ke hal-hal yang lebih konkrit,” kata Bivitri.

Rektor Universitas Islam Sumatera Utara, Saidurrahman, Mag mendukung penuh Undang-Undang BPIP. “Negara harus mengawal agar Panacasila dapat dihayati dan diamalkan. Secara kultural, tugas kita sebagai anak bangsa untuk mensosialisasikannya,” katanya.

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus