Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ketika Politik Membelenggu, Seni Membebaskan

Seni membebaskan politik yang sumpek hari-hari ini. Kebebasan berekspresi syarat hidupnya kesenian.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketika Politik Membelenggu, Seni Membebaskan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kesenian membebaskan politik yang sumpek dan penuh intrik serta korupsi.

  • Laporan khusus Karya Seni Pilihan Tempo 2024 menjanjikan karena para seniman mengeksplorasi tema dengan bebas.

  • Namun kekuasaan masih mengancam dengan sensor dan tafsir sempit atas karya seni.

POLITIK adalah seni mencari masalah lalu mengajukan solusi yang salah. Kutipan klasik pelawak Groucho Marx ini menjadi mengerikan ketika politik ada di tangan penguasa otoriter. Tak hanya mengajukan solusi keliru atas banyak problem sosial kita hari-hari ini, penguasa juga membungkam kritik publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sensor pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia pada akhir Desember 2024 menunjukkan penguasa tak kunjung bisa menghargai seni sebagai bagian dari ekspresi publik. Alasan pemerintah membredel pameran Yos Suprapto tak masuk akal: bermuatan politis karena menggambarkan sosok mantan presiden Joko Widodo telanjang dan dijilati para pendukungnya serta raja yang bersetubuh dengan laki-laki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua karya seni, kata penulis drama dari Amerika Serikat, August Wilson, adalah politis. Sebab, seni adalah pernyataan renungan atas fakta yang terjadi di masyarakat. Yos menafsirkan peristiwa di publik itu ke dalam kanvas. Maka Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyempitkan tafsir atas karya seni semata-mata sebagai tidak pantas dan memaki penguasa adalah sensor yang berbahaya.

Film dan kesenian Korea Selatan memelesat ke pentas dunia setelah Mahkamah Konstitusi negara itu mencabut undang-undang sensor pada 1996. Kini film-film Korea hanya tunduk pada prosedur pemeringkatan publik dan kesesuaian usia untuk menontonnya. Puncaknya, film Parasite karya sutradara Bong Joon-ho memenangi Oscar 2020. Film-film Korea lain dengan lihai menceritakan korupsi aparat hukum, militer, hingga lembaga eksekutif tanpa khawatir ada pelarangan.

Para sineas mengatakan perkembangan film Korea terlambat 50 tahun akibat sensor yang ketat setelah merdeka dari penjajahan Jepang pada 1948. Rezim militer menyensor seni sehingga para seniman tak bebas mengeksplorasi tema. Karya seni yang mengkritik tradisi, bermuatan pornografi, apalagi mengolok-olok pemerintah akan kena sikat.

Dari Korea kita belajar: syarat utama berkembangnya kesenian adalah kebebasan. Seni Korea telah menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi bisa memajukan ekonomi negara itu. Hallyu, gelombang budaya Korea, kini mewabah ke seluruh dunia. Maka, jika kini penguasa Indonesia alergi terhadap kesenian, kita tengah mundur ke zaman otokrasi.

Laporan khusus Karya Seni Pilihan Tempo 2024 memberi sebuah harapan bahwa seni Indonesia berkembang ke arah yang menjanjikan. Para seniman yang karyanya terpilih mengeksplorasi tema dengan berangkat dari persoalan-persoalan sosial mutakhir. Konflik agraria, kekerasan terhadap anak, hingga krisis ekologi ditampilkan dengan segar dari sudut pandang yang baru.

Natasha Tontey, misalnya, membuat seni instalasi pintu besar bergambar pantat yaki, kera endemis Sulawesi Utara, dengan dua lubang anus. Pengunjung akan memasuki pintu itu atau mengintip karya lain di dalamnya dari lubang anus tersebut. Kera berjambul dengan bulu hitam dan pantat merah muda menjadi obyek Natasha, perupa Minahasa, untuk menggambarkan konflik satwa dengan manusia. Yaki dianggap hama perkebunan sehingga populasinya menyusut dan terancam punah.

Atau prosa Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang mengembalikan cerita anak ke khitahnya: ruang kelam sebagai medium perlawanan. Cerita anak sejatinya peringatan untuk orang dewasa yang merampas ruang bermain. Ziggy melawan tafsir Walt Disney yang mengubah cerita anak-anak Hans Christian Andersen menjadi cerita manis bak surga yang hitam-putih. Dalam cerita Ziggy, para tokoh melawan kesewenang-wenangan pikiran orang dewasa yang merenggut dunia anak.

Kebebasan para seniman menuangkan gagasan tertampung oleh medium di luar kekuasaan. Natasha Tontey tak memamerkan seni instalasinya di Galeri Nasional, tapi di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara atau Museum MACAN. Novel Mari Pergi Lebih Jauh Ziggy diproduksi oleh Gramedia. Semuanya institusi swasta.

Maka, jika kekuasaan tak bisa menyediakan ruang-ruang ekspresi kesenian, setidaknya biarkan para seniman mengeksplorasinya. Politik yang penuh intrik, kotor, jauh dari nilai-nilai, dan tak memperjuangkan kepentingan publik telah jadi sumpek dan mengecewakan. Seni adalah cara publik keluar dari kepengapan itu. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus