Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Karya seni sepanjang tahun 2024 menyoroti beragam masalah sosial, politik, dan ekologi.
Seniman menggarisbawahi berbagai isu, dari lingkungan hingga pembantaian 1965.
Semua itu tecermin dalam Karya Seni Pilihan Tempo 2024.
NEGERI ini sedang tidak baik-baik saja, termasuk dunia kesenian. Tahun 2024 ditutup oleh sebuah skandal yang mencoreng kebebasan berekspresi di negeri ini. Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, membatalkan pameran perupa senior Yogyakarta, Yos Suprapto. Pembredelan itu membuat kita mempertanyakan peran galeri tersebut sebagai ruang bebas untuk menampilkan karya seni rupa pilihan dan capaian artistik seniman Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekisruhan juga melanda dunia musik. Gegap gempita Djakarta Warehouse Project, yang menyumbang pendapatan pemerintah Jakarta hingga Rp 10 miliar per tahun, dicemari oleh ulah polisi yang memeras warga negara asing yang menonton festival musik tahunan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun demikian, denyut kehidupan kesenian tak pernah berhenti. Seniman terus berkarya dan bermunculan, baik dari Jakarta maupun daerah. Jarak makin tak jadi kendala ketika seniman juga memanfaatkan media digital yang tersedia di Internet untuk memperkenalkan karya mereka.
Para seniman tidak hidup di ruang hampa. Mereka juga memiliki kepekaan dan menangkap berbagai masalah sosial, politik, dan lingkungan yang tengah terjadi. Sejumlah karya seni yang muncul di sepanjang 2024 merefleksikan berbagai masalah itu, baik dengan mengangkatnya sebagai tema sosial maupun refleksi personal. Tentu saja, karya seni bukanlah pamflet yang secara terang-terangan menyampaikan sesuatu, melainkan lebih halus dan bisa jadi sublim.
Pembaca, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami kembali menengok perkembangan seni dan sastra dalam setahun terakhir. Kami mengikuti perjalanan para perupa di galeri-galeri seni rupa serta para koreografer dan dramawan yang berpentas dari panggung ke panggung. Kami juga menyimak puluhan buku sastra, baik kumpulan puisi atau cerita pendek maupun novel, yang terbit tahun lalu.
Kami menelusuri jejak kreativitas mereka dan mengapresiasi karya yang kami anggap memiliki estetika tinggi dan menawarkan isu atau nilai yang kuat. Kami mengemasnya dalam laporan khusus Karya Seni Pilihan Tempo 2024. Cara ini kami harap bisa mengapresiasi gagasan, semangat, dan kreativitas para seniman. Kami memilih karya-karya inovatif, yang cukup berani merambah dan menyelusup di wilayah baru, yang mungkin nakal atau kurang ajar, kritis, tapi masih bisa dinikmati pencinta seni atau masyarakat.
Untuk memilih karya-karya tersebut, kami melibatkan awak redaksi yang sehari-hari berkecimpung di dunia seni dan budaya. Kami juga mengundang juri dari kalangan kesenian, seperti sastrawan Oka Rusmini dan Zen Hae, Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Negeri Yogyakarta Suminto A. Sayuti, kurator seni rupa Hendro Wiyanto, penulis seni rupa Bambang Bujono, jurnalis Purwanto Setiadi, dramawan Iswadi Pratama, serta penggagas arsip musik Irama Nusantara, David Tarigan.
Juri Karya Seni Pilihan Tempo 2024
Kami melihat kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Surakarta masih menjadi denyut seni rupa sepanjang 2024. Galeri-galeri masih rajin menggelar pameran yang mengangkat berbagai tema dan melibatkan baik seniman senior maupun yang muda. Para perupa juga aktif mengisi berbagai pasar seni tahunan, seperti ArtJog di Yogyakarta, Art Jakarta Gardens dan Art Jakarta di Ibu Kota, serta ARTSUBS, pameran seni rupa kontemporer terbesar di Surabaya yang pertama kali digelar pada 2024.
Pelibatan teknologi di ruang studio hingga tampilan di galeri kini menjadi sesuatu yang jamak. Bahkan teknologi menopang upaya menciptakan ruang atau dimensi baru obyek sebagai tontonan hingga urusan distribusi ke rantai pasok industri seni. Misalnya pameran bersama di Gallery Zen1 di Jakarta yang mempertemukan para seniman dengan kolektornya secara fisik dan digital dalam bentuk non-fungible token atau NFT, token digital pada blockchain yang mewakili suatu aset, melalui kerja sama dengan platform Superlative.
Sepanjang tahun lalu, kami mencatat setidaknya ada 30-an pameran tunggal dengan beragam material, tema, dan isu. Para seniman menggarap dan mengeksplorasi narasi visual dengan segenap kreativitas dan riset yang cukup panjang. Isu kolonialisme, komunisme, lingkungan, dan kekerasan direspons dalam karya dengan material yang berbeda-beda.
Materi cat akrilik atau cat minyak, arang di kanvas atau di kertas kecil; dalam ukuran sedang hingga yang menutup bidang panel atau dinding, bahkan ruang pamer. Dengan kreativitas itu, mereka menyajikan narasi visual yang mungkin mengganggu pandangan, menciptakan tipuan pandangan, atau malah menyentuh kalbu.
Pameran besar berskala museum menggarap semua galeri sebagai situs yang menghadirkan karya instalasi di dua galeri terkemuka sekaligus atau menginisiasi proyek riset yang tergolong rumit yang menjadi contoh peristiwa seni rupa yang cukup menonjol.
Tintin Wulia, misalnya, menampilkan tirai cacahan kertas dari salinan arsip penting Protokol Pembunuhan (The Protocols of Killings) yang dibuka pada 2018. Ini merupakan berita kawat rahasia yang diterima Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengenai pembantaian massal kaum komunis di Indonesia pada 1964-1968. Ia meneliti 30 ribu arsip untuk menghasilkan sebuah karya instalasi Absence in Substantia: Frequency (2023).
Karya seni berjudul December dalam pameran Disclosures karya Tintin Wulia di Baik Art, Jakarta, 7 Februari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Ade Darmawan berpameran di dua galeri sekaligus, Cemeti di Yogyakarta dan ROH Projects di Jakarta, dengan acuan utama “babad” baru atau novel sejarah besar karya Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik (1995), yang tetap relevan untuk situasi kini.
Timoteus Anggawan Kusno menelusuri konten tanah jajahan, gubahan fiksinya sendiri, Memoar Tanah Runcuk (2012), yang berisi hantu-hantu di dunia ambang sebagai produk politik penjajahan. Ia memenuhi semua ruangan di Galeri Tirtodipuran Link (Building A), Yogyakarta, dengan artefak riset (khayalan), karya video, instalasi, seri lukisan, dan gambar.
Adapun Bagus Pandega muncul dengan hasil riset dan instalasi bermaterial nikel dan tenaga listrik dalam “O (Circle)”, yang mengajak pengunjung mengeksplorasi isu lingkungan, khususnya tambang nikel.
Bunga Yuridespita menyulap ruang galeri Komunitas Salihara Arts Center di Jakarta menjadi ruang baru seperti labirin yang menyerupai kanvas raksasa berisi “lukisan” abstrak. Lalu ada Ayurika, yang memamerkan karya-karya dwimatra bertema ketubuhan perempuan yang peka. Subyek karyanya tak lain adalah tubuh seniman sendiri. “Dia kuat menampilkan ketubuhan itu. Ditampilkan apa adanya, tidak ditambah-tambahi,” kata seorang juri.
Karya Natasha Tontey, “Primate Visions: Macaque Macabre”, terinspirasi dari hubungan kompleks antara manusia dan yaki, monyet hitam endemis Sulawesi. Karya instalasi dan videonya mengeksplorasi masalah ekologi, yaki, dan adat Minahasa, kampung halamannya, dan bahkan lebih jauh mempertanyakan pandangan antroposentris tentang evolusi. Kesadaran biasanya dianggap berasal dari otak, tapi bagaimana jika kita membayangkan bahwa dunia bermula dari bokong?
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek, dari gagasan hingga materi karya, juri memutuskan memilih karya Natasha Tontey sebagai Karya Seni Pilihan Tempo kategori seni rupa. Ide dan karyanya dinilai keluar dari arus utama, nakal, atau mungkin kurang ajar. Karyanya juga menyatu dan mengandung ironi, satire, dan komedi yang seperti sedang mengolok-olok. Menonton karya Natasha seperti menyaksikan seni rupa baru. “Dalam kebosanan seni rupa, ada alternatif dari Natasha Tontey. Ada tawaran. Menyegarkan. Out of the box,” ujar Hendro Wiyanto, salah satu juri.
•••
DALAM seni pertunjukan, panggung-panggung juga tak sepi dari kreativitas para seniman. Mereka tak hanya menggarap panggung dalam ruang, tapi juga di tengah-tengah alam. Misalnya kompleks percandian dan situs kuno dengan ribuan menhir yang berserak di alam seperti Situs Maek di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, yang menggali inspirasi-inspirasi makhluk hidup di sekitar kita.
Ada pula berbagai acara pertunjukan besar, seperti Indonesia Bertutur, Indonesian Dance Festival, Borobudur Writers and Cultural Festival, Festival Maek, Festival Muria, dan Salihara International Performing-Arts Festival (SIPFest). Drama musikal dan bahkan dengan musik dangdut yang cukup baru juga ikut meramaikan dunia pertunjukan tahun lalu.
Kami menonton sejumlah pertunjukan dan mengumpulkan dokumentasi video pertunjukan tersebut. Kami menonton dan melihat kembali penampilan para seniman. Gerak koreografi ataupun pentas-pentas teater yang hadir di panggung terus berkembang, seperti karya Jecko Siompo, Kusukusu II, yang terinspirasi komodo dan ditampilkan di SIPFest. Isu lingkungan digarap Hartati dengan panggung miring garapan Jay Subyakto di Indonesia Bertutur turut menjadi karya yang didiskusikan.
Juri menonton pula pentas Constellation Teater Pandora yang memakai konsep multiverse dan menampilkan tiga pasangan muda-mudi yang memerankan sepasang kekasih. Tapi Teater Populer pernah menampilkan hal serupa saat pementasan Dag Dig Dug pada 1977. Penilaian kemudian mengerucut pada tiga karya, yakni Samsara, Bedhaya Hagoromo, dan Koto Mahligai Burung-burung.
Pertunjukan Cine-Concert bertajuk Samsara karya Garin Nugroho di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 Desember 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Hadirnya cine-concert Samsara karya sutradara Garin Nugroho memberi warna dalam perdebatan saat penjurian. Karya ini menampilkan film bisu hitam-putih dengan sinematografi ala film klasik 1920-an di layar panggung serta kolaborasi musik elektronik dan gamelan yang membius. Tapi ide karya ini seperti sudah melekat dan biasa pada Garin. Ia memang berhasil menemukan celah dalam menghidupkan sesuatu.
Dalam tari Koto Mahligai Burung-burung, koreografer Sardono W. Kusumo mengerahkan lebih dari 50 kru dan penari untuk beraksi di sekitar Candi Koto Mahligai, Muaro Jambi, Jambi. Dia menghadirkan karya yang terinspirasi dari migrasi burung-burung antarnegara. Pengalaman, dimensi ruang-waktu, dan impresi di panggung yang tertangkap indra secara langsung telah menciptakan imajinasi dan suasana yang berbeda. “Seperti ketika menonton langsung koreografi Sardono di Muaro Jambi, mata kamera tak bisa menghadirkan suasana. Penonton ikut larut dalam gerakan para penari, bebas mengikuti ke mana mereka bergerak,” kata Bambang Bujono, salah satu juri. Meskipun demikian, juri menilai karya ini bukan karya terbaik Sardono.
Pentas koreografi tentang Burung karya Sardono W. Kusuma di kawasan komplek Candi Koto Mahligai, Muara Jambi. Tempo/Dian Yuliastuti
Maestro tari Didik Nini Thowok berkolaborasi dengan maestro noh dalam Bedhaya Hagoromo di Indonesian Dance Festival. Ia berhasil mengawinkan dua budaya, koreografi Jawa dan noh, yang cukup rumit. Riset panjang, penghayatan dari kolaborasi budaya Jepang-Jawa, dan tema disajikan sangat subtil.
Hal itu membuat juri memilih karya itu sebagai Karya Seni Pilihan Tempo kategori seni pertunjukan. “Gagasan Bedhaya Lanang itu menggeser male gaze, mengganggu kekuasaan. Suara trompet menguatkan gangguan tadi. Ini mengamplifikasi gagasan Didik tentang perlawanan terhadap kekuasaan,” ucap Iswadi Pratama, salah satu juri. Bedhaya Lanang adalah tarian klasik Jawa yang dibawakan laki-laki alih-alih perempuan.
Bambang Bujono menilai pertunjukan Didik tidak ada cacat, punya gagasan menarik, dan menawarkan perspektif baru. Karya ini jelas mengandung isu transgender tapi itu tidak kemudian ditonjol-tonjolkan, namun muncul secara halus.
•••
UNTUK kategori sastra, kami menerima kiriman 100 lebih buku cetak ataupun digital (PDF) berupa kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, dan novel. Buku-buku itu dikirim oleh penerbit dan pengarang dari berbagai daerah. Kami juga mengumpulkan sendiri buku-buku lain yang tak termasuk buku yang kami terima. Kami membagi buku sastra ini dalam dua kategori, yakni buku puisi dan buku prosa (novel dan kumpulan cerita pendek).
Juri melihat buku-buku sastra yang terbit sepanjang tahun lalu terbentang dari karya nama-nama mapan hingga yang baru tumbuh. Namun buku karya penulis baru jauh lebih banyak. Karya prosa masih didominasi cerita realis tentang kehidupan sehari-hari dan kehidupan di masa lalu atau fiksi sejarah.
Namun ada beberapa yang mencoba menggarap genre fiksi yang lebih menantang seperti fiksi spekulatif. Percobaan-percobaan bentuk itu memang belum berhasil sepenuhnya—salah satu problem mendasar adalah ketidakterampilan penulis mengolah kalimat dan menyusun cerita dengan nalar fiksi yang meyakinkan. “Tapi ini menunjukkan upaya yang lumayan gigih dari para penulis generasi baru,” kata Zen Hae, salah satu juri.
Juri lain menilai bahwa proses kreatif dalam menulis pada dasarnya merupakan urusan yang soliter. Berkonfrontasi dengan selembar kertas, seorang penulis sering kali tidak mempunyai pilihan selain mengisolasi dirinya dari hiruk-pikuk di luar sana. Ia meloncat ke dalam semesta ingatan yang paling dalam dan membangun perasaan nostalgik, hasrat-hasrat rahasia, intuisi, dan insting serta seluruh unsur yang memberi “makan” dan makna pada imajinasi kreatifnya. “Dalam hal ini, penulis mesti menjelajahi berbagai kemungkinan dalam beragam peristiwa kemanusiaan agar dirinya menjadi makin kaya ‘narasi’, yang pada gilirannya berkontribusi dalam pembentukan sikap kritis yang bermanfaat dalam merumahkan pengalaman-pengalaman personalnya itu,” tutur Suminto A. Sayuti.
Sejak awal Desember 2024, para juri membaca dan mendiskusikan buku-buku tersebut yang bermuara pada daftar sekitar 10 buku puisi dan 10 prosa. Dalam diskusi-diskusi selanjutnya, daftar tersebut mengerucut menjadi lima dan kemudian tiga.
Tiga buku prosa yang dipertimbangkan juri dengan intens adalah novel Soraya karya Iin Farliani dan Mari Pergi Lebih Jauh karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie serta kumpulan cerpen Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu karya Sasti Gotama. Soraya menceritakan sepasang saudara Sora dan Raya yang menghadapi ayah yang kejam. Hubungan tiap tokoh menjadi cerita tersendiri dalam buku ini. Meskipun ringkas, novela ini cukup memberi kedalaman tentang psikologi tokoh.
Mari Pergi Lebih Jauh merupakan gabungan berbagai genre cerita, dari fantasi hingga fiksi sains. Seperti karya sebelumnya, Ziggy mencoba bereksperimen dalam novel ini, yang berpusat pada perjuangan anak di bawah lima tahun untuk melawan orang tua yang membakar karya anak-anak. Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu menunjukkan penjelajahan Sasti yang luas ke pelbagai khazanah kisah, dari masa kolonial Belanda hingga ke India dan dunia kita hari ini. Kisah-kisahnya ringkas dengan suspens yang terjaga.
Setelah membahas berbagai aspek sastra, seperti bahasa, keterampilan, dan tema, juri memutuskan memilih Mari Pergi Lebih Jauh karya Ziggy sebagai Karya Seni Pilihan Tempo kategori prosa. Novel ini merupakan sebuah fiksi petualangan anak-anak yang memikat dan menunjukkan upaya gigih Ziggy dalam menghadirkan fiksi yang berbeda dari kebanyakan fiksi berbahasa Indonesia sekarang ini.
Novel spekulatif ini menantang karena harus membangun sebuah dunia bayi dan bagaimana bayi-bayi melawan upaya orang dewasa untuk membakar karya anak-anak—coretan di buku, dinding, karpet, kaki, dan di mana saja yang terjangkau. Pemusnahan itu sebetulnya suatu bentuk kekerasan, yang dalam cerita anak ala Grimm Bersaudara dan Hans Christian Andersen jauh lebih kelam dan mengerikan. Novel ini parodi dari ketegangan hubungan antara orang tua dan anak-anak.
Untuk buku puisi, juri sampai pada tiga karya, yakni Dengung Tanah Goyah karya Iyut Fitra, Tilas Genosida karya A. Muttaqin, dan Ekphrasis karya Tan Lioe Ie. Dengung Tanah Goyah menyajikan bahasa Indonesia yang bertenaga, kerak bahasa Minangkabau yang lebih tipis, dan ungkapan yang lebih menyegarkan.
Tilas Genosida bergerak di antara puisi-prosa dan puisi lirik dengan memungut kembali mitologi Jawa dan perwayangan sebagai sumber ciptaan. Ekphrasis merupakan kesegaran baru Tan Lioe Ie dalam mengeksplorasi puisi yang diilhami lukisan tapi tidak berhenti dengan menarasikan apa yang visual tersebut seperti beberapa karya bersumber lukisan lainnya.
Para juri kemudian memutuskan memilih Tilas Genosida sebagai Karya Seni Pilihan Tempo kategori puisi. Puisi-puisi Muttaqin menghadirkan kembali sinkretisme iman masyarakat Jawa dalam situasi keberagamaan hari ini yang digencet karena dianggap bidah. Karya memuja alam dan menggali kisah yang sebetulnya masih menjadi masalah hingga kini, seperti tanah dan pembantaian 1965.
•••
DI ranah musik, berbagai festival besar tahunan terus memanjakan pencinta musik sepanjang tahun 2024. Ingar-bingar dan gegap gempitanya terlihat di Joyland Festival, Djakarta Warehouse Project, We The Fest, Synchronize Fest, Pestapora, dan Java Jazz. Di luar panggung festival, para musikus berkarya dan merilis lagu-lagu mereka dalam bentuk album ataupun album mini. Tak kurang dari 130-an album dan 70-an album mini mengisi ruang dengar para pencinta musik.
The Bakucakar tampil pada panggung Boss Stage Pestapora di Jakarta International Expo (JIExpo), Kemayoran, Jakarta, 20 September 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Tantangannya, memang, adalah bagaimana para musikus dapat menawarkan kebaruan dan kreativitas di tengah banjir karya tersebut. Juri mendengarkan kembali album-album mereka hingga menemukan 10 album yang dianggap memiliki nilai lebih.
Setelah mencermati album-album itu, juri memutuskan memilih album M. Album Tiga sebagai Karya Seni Pilihan Tempo kategori musik. Album ini karya BAP., nama panggung rapper Kareem. M. Album Tiga merefleksikan masalah kesehatan mental, ketika orang dihadapkan pada tuntutan kerja sampai mati atau kecemasan menghadapi malam. “Musiknya chaotic tapi tertata dalam harmoni,” kata seorang juri. Lagu-lagu di album ini juga mencampur berbagai genre musik, dari hiphop hingga jazz.
Pembaca, itulah Karya Seni Pilihan Tempo 2024. Karya mereka pantas untuk disaksikan, dibaca, dan didengar kembali sekarang atau nanti sebagai bagian dari sejarah seni negeri ini. ●
Tim Laporan Khusus Karya Seni Pilihan Tempo 2024
Penanggung jawab: Iwan Kurniawan
Pemimpin proyek: Dian Yuliastuti
Penyunting: Iwan Kurniawan, M. Reza Maulana, Mustafa Ismail, Nurdin Kalim, Nurdin Saleh, Seno Joko Suyono
Penulis: Bagus Pribadi, Hendro Wiyanto, Ihsan Reliubun, Oka Rusmini, Purwanto Setiadi, Seno Joko Suyono, Shinta Maharani, Yosea Arga Pramudita, Zen Hae
Periset foto: Charisma Adristy (koordinator), Agung Chandra, Fardi Bestari, Gunawan Wicaksono
Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Desainer: Djunaedi, Dianka Rinya, Novandy Ananta, Sunardi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Karut-Marut Negeri Ini dalam Bingkai Seni