Pendapat yang mengatakan bahwa dana adalah unsur nomor satu penentu keberhasilan penerbitan suratkabar, hari ini boleh dipertanyakan lagi. Setelah terbit selama empat tahun, harian Bisnis Indonesia membuktikan bahwa modal idealisme tetap berada di atas modal uang dan teknologi untuk mengantarkan suratkabar ekonomi ini pada awal pertumbuhan dan kepercayaan publik pembacanya. "Tanpa idealisme kami tak dapat bertahan dan mencapai hasil seperti yang dialami hari ini," ujar Lukman Setiawan, Wakil Pemimpin Umum Bisnis Indonesia, yang merangkap sebagai Pelaksana Harian. Bisnis Indonesia, seperti disebutkan Lukman, dimulai dan dikelola penerbitannya dalam kondisi pas-pasan. KEGIATAN redaksi dan bagian usaha Bisnis Indonesia berlangsung di Jl. Kramat V/8 Jakarta Pusat. Kantor ini adalah gedung sewaan yang dikontrak sampai dengan Januari 1991. Pekarangannya yang tidak penuh sesak oleh mobil ataupun sepeda motor para wartawan mengisyaratkan kebenaran ucapan Lukman. Kesibukan unit usaha penerbitan ditampung dalam sebuah ruangan kecil, pavilyun bangunan itu. Di dalam bangunan utama, pada ruangan yang dapat dikatakan agak sempit, terpusat kegiatan redaksi. Di situlah pekerjaan editorial yang selalu dikejar deadline berlangsung hampir tiada henti, melibatkan banyak wartawan. Ruangan ini berisik. Kegaduhan suara mesin tik tak mengizinkan tempat itu tenang, seperti ketenangan ruang kerja redaksi penerbitan-penerbitan besar yang sudah memasuki era komputerisasi. Tapi, bertahan dan kemudian mulai berkembang tanpa menunggu adanya fasilitas canggih -- komputer, misalnya -- bagi Bisnis Indonesia menjadi bukti bahwa sumberdaya manusia dengan idealismenya adalah modal terpokok yang tak mungkin dicarikan bandingannya. Bagaimanapun, para wartawan dan karyawan nonredaksi Bisnis Indonesia membuktikan bahwa uang dan teknologi adalah modal yang nomor dua. "Namun, toleransi para share holder lewat Presiden Direktur, Eric Samola," begitu Lukman, "dan kesabaran mereka sangat membantu, baik moril maupun materil." Agaknya keyakinan dan kesetiaan pada pekerjaanlah yang melahirkan semuanya itu. Lukman berkata, "Pada mulanya, banyak orang yang membayangkan betapa besar peranan penyandang dana dalam mengembangkan bisnis koran." Itu, katanya, telah terbantah. Dalam kondisi pas-pasan ini, "Kalau bukan karena idealisme, tak mustahil Bisnis sudah ditinggalkan. Idealisme dan ketahanan mental, merupakan dasar suatu usaha pers." Bisnis Indonesia didukung sebagian besar oleh para jurnalis muda. Pada umumnya mereka lulusan perguruan tinggi, masuk bekerja di suratkabar ekonomi ini sebagai "tenaga segar" yang belum berpengalaman, dan kini mulai menikmati jurnalisme. Orang-orang muda ini, sebagaimana kodratnya, memiliki keinginan-keinginan. Di tempat lain, di luar mereka ada kenyataan yang lain, yakni pasar. "Kami mencoba memadukan keinginan-keinginan itu dengan kenyataan pasar tersebut," kata Ery Soedewo, 45, seorang dari dua wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Di antara 135 orang karyawan Bisnis Indonesia dewasa ini, terdapat 52 jurnalis, mulai dari Pemimpin Redaksi sampai dengan calon wartawan. Koresponden di daerah memang masih terbatas jumlahnya, "Kami masih memprioritaskan daerah niaga yang besar -- Surabaya, Bandung, Semarang, Ujung Pandang, Medan, Yogyakarta, dan Surakarta -- dalam penempatan koresponden," ujar Ery. "Untuk para jurnalis muda ini," kata Sukamdani S. Gitosardjono, Pemimpin Umum Bisnis Indonesia, "kami memberi kebebasan dan kemerdekaan dalam mencari berita." Yang dipentingkan dalam kebebasan itu ialah tanggung jawab. "Itu selalu kami tekankan. Berita jangan sampai membawa kekacauan dan merugikan masyarakat. Berita sebaiknya dapat menumbuhkan partisipasi rakyat dan mendatangkan kesejahteraan." Bisnis Indonesia adalah suratkabar kedua yang menyatakan dirinya sebagai suratkabar ekonomi dan bisnis, setelah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) diberlakukan sejak 1984 silam. Koran ekonomi pertama, yang mendapatkan SIUPP ialah harian Neraca, Jakarta. Selain itu ada pula Prioritas, Jakarta, yang juga terkena pembatalan SIUPP pada 1987 yang lalu. Tetapi sebelum era suratkabar ekonomi dengan SIUPP itu telah ada koran harian lain yang juga mengkhususkan dirinya untuk pemberitaan masalah ekonomi: Jurnal Ekuin, juga terbitan Jakarta. Jurnal Ekuin kini sudah tiada setelah dikenai larangan terbit beberapa tahun yang lampau. Penerbitan media khusus untuk peliputan masalah ekonomi di Indonesia pada dasarnya menghadapi persoalan yang lebih pelik ketimbang suratkabar umum, apalagi jika ia dibandingkan dengan koran populer yang menjajakan hiburan dan bahkan sensasi. Di dalam dirinya sendiri, suratkabar ekonomi harus mengatasi kelangkaan tenaga wartawan yang memahami masalah ekonomi dengan baik. Di luar dirinya, koran ekonomi dihadapkan pula pada kenyataan bahwa lapisan pembaca masalah ekonomi adalah golongan yang tidak terlalu banyak. Jenis kebutuhan informasinya, pada mulanya, belum terumuskan secara jelas. Kiranya itulah sebabnya pelonjakan oplah sampai ratusan ribu eksemplar hampir tak dimungkinkan untuk penerbitan jenis ini. Sukamdani lebih tegas menyatakan, tujuan utama penerbitan Bisnis Indonesia bukan tujuan komersial. "Tuntutan pembangunan yang begitu besar memanggil kami, swasta, untuk terlibat," ujar Sukamdani. Secara idiil, katanya lagi, "Harapan kami adalah membantu pembangunan nasional melalui pembangunan ekonomi. Tentu saja, dari segi komersial kami juga tidak mau rugi. Bisnis Indonesia diharapkan dapat mengembangkan misinya sebagai koran pembangunan dan sekaligus dapat mencapai tujuan idiil itu." Antara share holder dengan pemegang manajemen pemberitaan pun tampaknya ada keselarasan dalam mencapai tujuan itu. Menurut Ery Soedewo, "Kami tak berambisi menjadi suratkabar dengan oplah yang terlalu tinggi. Ambisi kami ialah menjadi surat ekonomi terkemuka di Indonesia." Di antara wartawan yang kini ada, yang betul-betul merupakan sarjana ekonomi hanya 5 orang, pertanian 11, sarjana ilmu sosial 21, teknik sipil 1 orang. Yang tidak sarjana ada 11 orang. Merekalah sumberdaya di redaksi yang pengembangan wawasan ekonomi-bisnisnya terus diupayakan. Untuk pengembangan wawasan ini antara lain dilakukan training di dalam redaksi sendiri: diskusi interen. Ada juga diskusi dengan pakar, pengamat ekonomi ataupun akuntan, yang merupakan program rutin. Tapi bukan hanya itu. Manajemen Bisnis Indonesia merasa perlu adanya pembinaan semangat, menanamkan penghayatan profesi jurnalistik. Untuk itu diundang juga pembicara dari kalangan wartawan sendiri, seorang editor -- wartawati -- senior. Pendidikan di luar kantor dilakukan dengan mengirim karyawan ke Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) untuk bidang ekonomi dan membaca efisien. Dalam setahun ada dua angkatan. Biaya satu angkatan Rp 52 juta. Anggaran pendidikan ini mencapai sekitar 15 persen dari anggaran belanja tahunan. Sudah barang tentu hasil pengembangan sumberdaya manusia ini perlu dipantau. Terhadap masing-masing wartawan, misalnya, diperhatikan soal kepatuhan, kemampuan menyelesaikan tugas, kecepatan kerja, maupun keterampilan menulis. Dalam pemantauan ini redakturlah yang memegang peran. Di kalangan para pengasuh suratkabar ini sekarang timbul keyakinan yang lebih kuat, tentang berkembangnya kebutuhan akan informasi ekonomi dan bisnis dalam masyarakat. "Ini nyata sekali dari kecenderungan yang terlihat belakangan ini," ujar Banjar Chaeruddin, Redaktur Pelaksana Bisnis Indonesia. Keyakinan itu makin terasa setelah Bisnis Indonesia menaikkan harga eceran di Jakarta, dari Rp 300 menjadi Rp 500 pertengahan 1989 ini. Pada minggu-minggu pertama harga baru, seperti diakui Shirato, Pemimpin Perusahaan Bisnis Indonesia, memang ada penurunan penjualan, tapi kemudian naik kembali. "Malah," kata Banjar, "angka penyusutan itu, di bawah yang diperkirakan." Artinya, pembaca tidak mundur walau harga meningkat. Bahkan, seperti dikatakan Wakil Pemimpin Redaksi Nur Hidayat, "Setelah harga naik, oplah justru jadi meningkat." Keberhasilan Bisnis Indonesia dalam memikat publiknya itu, antara lain berkat pendekatan sejak awal. Pendekatan Bisnis Indonesia terhadap pembacanya memang berangkat dari awal yang lebih bijaksana. "Bagi kami," kata Lukman Setiawan, "kalangan pengusaha dipandang sebagai mitra dalam pembangunan. Tetapi, jika yang terjadi adalah sebaliknya, kami harus menyampaikan kritik." Karena itu pulalah, kesadaran betapa pentingnya akurasi dan kehati-hatian dalam pemberitaan, menjadi salah satu pegangan dalam kebijaksanaan redaksi. Bagaimanapun sensasi harus dijauhi. Lagi pula, tanggapan serta reaksi yang terlihat dari khalayak belakangan ini mulai terasa. "Tentang saham misalnya," kata Nur Hidayat, "kami harus sangat berhati-hati," karena beberapa pemberitaan tentang saham dan Bisnis Indonesia dipakai khalayak sebagai barometer. Artinya, pengaruh pemberitaan Bisnis Indonesia mulai tertanam. Karena itu tidaklah berlebihan jika pada saat sekarang, manajemen Bisnis Indonesia sangat menyadari perlunya peningkatan profesionalisme. "Langkah peningkatan profesionalisme ini adalah langkah berikutnya dalam upaya pengembangan, sesudah kami memiliki idealisme," kata Lukman Setiawan. "Sesudah ini, barulah kami akan menjamah pengembangan teknologi." Para pengelola Bisnis Indonesia yang berhasil membuktikan daya tahan dan idealisme itu, oleh manajemen diberi wadah: Kerukunan Warga Karyawan (KWK). Fungsi utama KWK ialah menjembatani aspirasi pegawai dengan keinginan dan tuntutan manajemen. Pada masa sekarang, KWK memberikan perhatian pula dalam hal pemecahan masalah mendesak yang dihadapi karyawan dengan cara kekeluargaan. "Nanti," kata Ketua KWK Najmia Razak, "KWK akan membentuk badan hukum sebagai wadah karyawan Bisnis Indonesia yang berhak atas 20 persen saham perusahaan penerbitan itu," sebagaimana diinginkan oleh ketentuan SIUPP. Bagaimanakah kalangan karyawan ini melihat profesinya? Pengurus KWK yang lain, Cyrillus I. Kerong, mengatakan, "Ada kebanggaan dalam kami sebagai karyawan pers, yang selain tentu saja mengharapkan gaji, mendapat kepuasan setelah melihat hasil pekerjaan kami sendiri." "Kepuasan itu," kata Yulian Warman, wartawan Bisnis yang lain, juga dari pengurus KWK, "adalah kepuasan batin, yang tentunya tak mungkin diukur dengan uang." PT Jurnalindo Aksara Grafika, penerbit Bisnis Indonesia, didukung oleh beberapa penyandang dana, antara lain dari Sahid Group, kelompok Indocement, dan juga Grup Pembangunan Jaya. Terbit sejak 14 Desember 1985, selama tiga bulan pertama -- 12 halaman, enam kali dalam seminggu -- suratkabar Bisnis Indonesia dicetak 60.000 dan diedarkan ke tengah khalayak. Kenapa 60.000? "Karena target audience yang kami perhitungkan, kira-kira sejumlah itu," kata Shirato Syafei. Suratkabar ini disebarkan terutama di Jakarta. Kota niaga berikutnya yang menjadi pilihan ialah Surabaya, Medan, Bandung, Semarang dan Ujung Pandang. Pada bulan keempat barulah oplah cetak disesuaikan dengan daya serap pasar yang il pada masa itu. Dewasa ini, 73,3 persen oplah Bisnis Indonesia terserap di Jakarta, 6 persen terjual di Bandung dan wilayah Jawa Barat lainnya, 5,7 persen di Surabaya, 3,5 persen di Semarang dan daerah Jawa Tengah lainnya, dan 2,1 persen di Medan. Sisanya tersebar ke berbagai kota lainnya (lihat Grafik Peredaran/Sirkulasi Bisnis Indonesia). Hanya saja, menurut Shirato, sasaran pembaca potensial untuk koran ini sekarang memang baru tercapai sekitar 60%. Ini bukanlah soal luar biasa. Di luar Eropa, Amerika Serikat dan Jepang, oplah suratkabar ekonomi dan bisnis memang rendah. Penyebabnya mudah dipahami. Kelompok pembacanya untuk negeri semacam Indonesia, sebagaimana kebanyakan negeri di Asia lainnya, belumlah banyak. Walau begitu, dengan "modal idealisme, dalam kondisi pas-pasan" para awak Bisnis Indonesia berhasil membawa kapal mereka ke pantai tujuan. Awal 1989 lalu, suratkabar ini mencapai break even point. Perbandingan pendapatan dari penjualan suratkabar dan penjualan halaman untuk iklan, kini memang masih 1:2. Angka penjualan didominasi oleh pelanggan, yakni 90 persen. Eceran -- karena tipe pembaca Bisnis Indonesia yang tak terbiasa membeli -- suratkabar di jalan memang hanya 10 persen. Dengan kenyataan seperti itu, Bisnis Indonesia kini sudah meraih untung. "Penyandang dana," kata Banjar Chaeruddin, "mulai happy." Artinya, suntikan modal untuk pengembangan tentunya akan berlangsung. Anggaran penerbitan Bisnis Indonesia mecapai Rp 2 milyar setahun. Shirato mengatakan, untuk tahun depan diperkirakan terjadi peningkatan sampai 60%, terutama untuk membiayai investasi baru, menerbitkan edisi 16 halaman dua kali dalam seminggu, dan menerbitkan Bisnis Indonesia Minggu yang direalisasikan sejak Desember 1989 ini. Keberhasilan yang diraih Bisnis Indonesia dalam bertahan dan mengembangkan pasar, belum selesai. Ia tengah berlangsung. Situasi ekonomi mutakhir, dan perubahan konsep isi yang dilakukan atas dasar hasil angket pembaca, mendukung upaya meraih sukses tersebut. Ketika kebijaksanaan mobilisasi dana berlangsung mengiringi paket deregulasi ekonomi, khalayak tiba-tiba berhadapan dengan peningkatan kebutuhan informasi bisnis terutama perihal bank dan pasar modal. Eric Samola, yang arif membaca situasi, menyarankan kepada redaksi agar memindahkan rubrik indeks saham ke halaman satu. Di saat beberapa perusahaan mulai go public dan menawarkan saham kepada masyarakat, permintaan akan suratkabar ini jadi menanjak. Pada waktu bursa saham sedang boom, para pengecer yang cerdik dalam melihat kebutuhan pasar pernah menjual Bisnis Indonesia Rp 1.500 sampai Rp 2.000 per eksemplar. "Hampir setiap hari kini ada tambahan permintaan," ujar Shirato tentang pertumbuhan penjualan itu. Wilayah pembaca pun kian luas. Balikpapan, Batam, Ambon, Bali, Manado, dan Malang misalnya, walau tak terlampau banyak, mulai membutuhkan Bisnis Indonesia. Hasil riset yang dilakukan Survey Research Indonesia (SRI) mengungkapkan, Bisnis Indonesia sekarang dibaca oleh 67.000 orang. Riset yang sama menyebutkan bahwa 84 persen dari pembaca tersebut datang dari kelompok white collar. Sekitar 64 persen dari mereka berpenghasilan di atas Rp 300.000 per bulan. Kelompok ini adalah golongan terpelajar, 63 persen menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, dan 80 persen dari mereka adalah orang yang menguasai bahasa Inggris. Siapakah mereka? Mereka adalah target audience yang dibidik Bisnis Indonesia sebagai konsumen informasi bisnis: bankir, eksportir, dan kalangan usahawan lainnya, swasta maupun BUMN. "Kami akan mencoba meluaskan sasaran pembaca ini," kata Shirato, "yakni, mencapai kelompok menengah bawah, dan koperasi." Ketika Bisnis Indonesia memasuki tahun yang kelima dalam kiprahnya sebagai suratkabar ekonomi, rencana pengembangan pasar ke kalangan menengah yang lebih luas itu, tentunya bukanlah sebuah mimpi. "Bisnis Indonesia: Menjelaskan Fakta, Tanpa Sensasi" Jika Anda menginginkan sensasi, jangan dicari dalam Bisnis Indonesia. Tapi kalau Anda membutuhkan informasi ekonomi dan bisnis yang lengkap dan nilai akurasi yang tinggi, Anda sangatlah layak jadi pembacanya. Pada usianya yang kini mencapai empat tahun, dari kalangan bankir terdengar penilaian bahwa kelengkapan dan akurasi pemberitaan Bisnis Indonesia dapat diandalkan. Ini adalah buah dari konsep redaksi yang mau mempelajari dan dapat memahami bagaimana sebaiknya berita ekonomi dan bisnis disajikan. Penyebarluasan informasi bisnis, yang dapat dikatakan tengah berkembang pesat di Indonesia saat sekarang, dicoba lebih dimantapkan oleh Bisnis Indonesia. "Pada tahap sekarang," kata Ery Soedewo, "kami tengah mengembangkan wawasan para wartawan, agar mereka mengerti masalah yang akan diberitakan." Mungkin tidak berlebihan jika secara sederhana dikatakan bahwa pemberitaan masalah ekonomi di Indonesia hingga pertengahan 1960-an masih berada "di sekitar sembilan bahan kebutuhan pokok". Perubahan politik dan kehidupan bernegara yang sangat berarti yang terjadi pada pertengahan 1960-an silam itu, meniupkan angin baru yang embusannya mulai terasa sejak awal 1970-an. Berbarengan dengan merosotnya daya tarik dan kehangatan diskusi dalam bidang politik, perkembangan yang tak pernah berhenti kemudian berlangsung dalam sektor ekonomi. Untuk dasawarsa mendatang, ketika Indonesia memasuki era industrialisasi, kebutuhan akan informasi bisnis itu akan sangat berkembang, kata Shirato Syafei. Dalam menjawab kebutuhan pembaca itulah Bisnis Indonesia menetapkan kiat yang lebih jelas. "Sensasi bukan untuk masalah-masalah bisnis," ujar Ery Soedewo tentang cara pendekatan untuk pemberitaan. Hal yang sama juga dikatakan oleh John Rachman, 38, bankir mantan Vice President Citibank yang akan duduk sebagai Direktur Utama Bank Sampoerna, Jakarta. Begitu juga pendapat Hikmad Kartadjumena, 45, Direktur Unibank, juga di Jakarta. Mereka ini adalah pelaku ekonomi, yang jadi sasaran pembaca Bisnis Indonesia. Kedua-duanya sependapat, sama-sama suka dengan design halaman yang dipilih Bisnis Indonesia: block make up. Block make up yang dipilih suratkabar ekonomi dan bisnis ini sejak awal terbitnya, amat sesuai dengan tipe pembacanya: orang sibuk. Artikel yang disajikan mudah diikuti. Sambungan tulisan ke halaman lain hampir tak ada. Penataan halaman yang demikian dengan penampilan perwajahan yang lebih konvensional disertai name plate yang dibuat dari tipografi jenis Engravers Old English. Selaras dengan dunia bisnis serta orang-orang yang ada di dalamnya, yakni target audience Bisnis Indonesia. Betapa tidak. Kelompok pembaca Bisnis Indonesia adalah orang-orang yang sangat memerlukan kemudahan dan ketenangan dalam membaca suratkabar, karena waktu yang tersedia untuk membuka koran begitu sempitnya. Joh'n Rachman misalnya, di samping membaca Bisnis Indonesia dan dua suratkabar nasional lain, serta suratkabar dan majalah luar negeri, rata-rata hanya memiliki waktu satu jam dalam sehari untuk membaca koran dan majalah. Hikmad Kartadjumena, lebih banyak membuka suratkabar dan majalah di mobil dalam perjalanan antara rumah dan kantornya setiap hari. Jenis make up halaman dan penataan artikelnya memudahkan pembaca, ujar John Rachman. Rachmat Gazali, Kepala Pracetak Bisnis Indonesia mengatakan, make up seperti itu masih akan dipertahankan. Tapi yang tampaknya lebih penting dari itu adalah kadar informasi Bisnis Indonesia. "Untuk masalah ekonomi dan bisnis, terutama perihal bank dan pasar modal," kata John Rachman, "saya pikir Bisnis Indonesialah kini yang paling lengkap." "Dan, fakta yang disajikan suratkabar ini semuanya benar," ujar Hikmad. Katanya lagi, "Ini bukan sekadar kesan saya, tapi juga begitu yang dikatakan pembaca lain dari kalangan perbankan yang pernah saya dengar." Adakah usul untuk itu? Tentu ada. John Rachman mengajukan saran, "Harap lebih berhati-hati mengutip penjelasan nara sumber yang jalan pikirannya keliru. Seleksi Bisnis Indonesia harus lebih baik." Buat John, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, itu soal penting. Pada masa sekarang, katanya, informasi bisnis begitu diperlukan. "Kedudukan wartawan kian penting." Satu lagi saran tambahan dari John Rachman: Bisnis Indonesia harus mengupayakan riset sendiri sebagai penunjang pemberitaan, karena coverage ekonomi memerlukan kedalaman. Riset pendukung pemberitaan ini sebetulnya. Walau dengan tenaga yang masih terbatas -- sudah mulai dikembangkan oleh Ery Soedewo dan beberapa wartawannya. Desember tahun ini, untuk mendukung riset itu pulalah tentunya Bagian Dokumentasi Bisnis Indonesia mulai dengan komputerisasi. Upaya pengumpulan bahan pemberitaan sendiri dalam kerja redaksi Bisnis Indonesia berlangsung dalam grafik agak menanjak belakangan ini. Jika pada awal terbitnya sekitar 85 persen isi suratkabar itu berasal dari kantor berita, kini persentase itu mulai berbalik. Hasil reporting wartawan Bisnis sendiri mulai dominan. Malah, dalam redaksi mulai dikembangkan unit untuk menyusun indeks saham. "Ini kami lakukan dengan berhati-hati dengan standar yang jelas," kata Banjar Chaeruddin. Pengembangan cakupan kerja dan mutu produk redaksi adalah kegiatan yang dapat disebut tidak pernah berhenti sejak suratkabar ini terbit empat tahun yang lalu. Pembenahan penyajian dimulai dari penerapan bahasa yang baik dan benar, struktur penulisan dan kelengkapan informasi. Tentu saja kejelian mencium bahan berita amat diperlukan. Semuanya itu adalah untuk mendukung editorial concept yang diterapkan. Konsep isi yang diterapkan ialah "menjelaskan masalah kepada pembaca", kata Ery Soedewo. "Bisnis Indonesia tak berpretensi menggurui. Kami senang, karena kami menerima tanggapan yang tidak sedikit dari pembaca," katanya lagi. Tugas utamanya adalah menerangkan semua fakta kepada pembaca sehingga duduk perkara suatu masalah jadi dipahami. News of the spoken words yang kini begitu banyaknya tersaji dalam hampir semua media di Indonesia, oleh Bisnis Indonesia sendiri diusahakan untuk dihindari. Ini sejalan dengan selera pembaca. "Bagi kami fakta dengan kelengkapan dan kedalamannya jauh lebih diperlukan daripada sekadar kutipan-kutipan komentar dan pendapat orang," kata John Rachman. Soal ini dari awal memang sudah disadari oleh redaksi Bisnis Indonesia. Itulah tampaknya yang membuat suratkabar ini sanggup tampil sebagai salah satu pilihan bacaan. Dan jika pada akhir 1989 ini Bisnis Indonesia merayakan ulang tahunnya yang keempat. Disertai penyelenggaraan seminar tentang pasar modal. Pada saat itu pula secara pasti suratkabar bisnis ini mencatat kenaikan jumlah penjualan yang lebih banyak terjadi karena adanya peningkatan kualitas isi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini