SEPI dinihari laut pasir Gunung Bromo dipecah telapak kaki dan ringkik kuda. Gigitan dingin tak meredam hoyak semangat kafilah Tengger menuju puncak gunung di Jawa Timur itu. Mereka membawa sesaji -- ternak dan hasil bumi -- lalu dibuang ke kawah yang mengepulkan uap belerang. Semua ini bagian hari Kasada, ritual Hindu Dharma khas Tengger pada 14-15 Desember lalu, dan kemudian diakhiri dengan membuang ongkek, sesaji yang sudah disembahyangi, sambil menyambut fajar menyiram puncak Bromo. Upacara Kasada (bukan kesada atau kasodo) saat purnama dalam tiap akhir tahun. Dimulai dengan arakan menjelang tengah malam dari Desa Ngadisari, lewat Cermorolawang, melintasi laut pasir lima kilometer ke kaki Gunung Batok. Setelah itu, dilanjutkan puji syukur di pentas upacara, dan ujian para dukun. Gua di pinggang Gunung Widodaren, tetangga Bromo, juga mereka ziarahi. Di sini, mereka bermalam beberapa hari, memohon berkah, dan menampung "tetesan air bidadari" dari langit-langit gua. Air ini mereka yakini sebagai obat mujarab. Kasada juga diramaikan kunjungan turis lokal dan luar negeri. Lebih dari 30.000 pengunjung membuat suasana tenteram menjadi hiruk-pikuk. Alam pegunungan yang indah dan berkabut itu adalah daerah makmur yang menghasilkan sayur-mayur. Karena karunia itulah, maka warga Tengger bersyukur tiap tahun dengan membuang sesaji ke kawah Bromo. Kepercayaan ini diangkat dari legenda turunan Brahmana, Joko Seger, dan Roro Anteng -- anak Raja Brawijaya dari Majapahit. Setelah Islam masuk ke Majapahit, konon, pasangan ini bersama pengikutnya yang Hindu melarikan diri ke sekitar Gunung Bromo. Dari pasangan Roro An(Teng) dan Joko Se(ger) inilah disebut muasal orang Tengger. Tapi, tabir sejarah suku Tengger masih misteri. Berbeda dengan orang Bali, asalnya moyang suku Tengger belum terbukti hingga kini sebagai pelarian Majapahit -- misalnya seni budaya seperti ukiran, arsitektur, dan unsur teater. Yang ditemukan di Tengger, baru 21 lembar lontar abad ke-14. Dan isi tulisan Sanskerta tersebut belum terungkap tuntas. Burhan Piliang dan Herry Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini