Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Air bidadari di hari kasada

Kegiatan hari kasada, ritual hindu dharma khas tengger setiap akhir tahun di gunung bromo dan sekitarnya. dimulai dengan arakan tengah malam hingga puji syukur di pentas upacara. banyak turis yang datang.

30 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPI dinihari laut pasir Gunung Bromo dipecah telapak kaki dan ringkik kuda. Gigitan dingin tak meredam hoyak semangat kafilah Tengger menuju puncak gunung di Jawa Timur itu. Mereka membawa sesaji -- ternak dan hasil bumi -- lalu dibuang ke kawah yang mengepulkan uap belerang. Semua ini bagian hari Kasada, ritual Hindu Dharma khas Tengger pada 14-15 Desember lalu, dan kemudian diakhiri dengan membuang ongkek, sesaji yang sudah disembahyangi, sambil menyambut fajar menyiram puncak Bromo. Upacara Kasada (bukan kesada atau kasodo) saat purnama dalam tiap akhir tahun. Dimulai dengan arakan menjelang tengah malam dari Desa Ngadisari, lewat Cermorolawang, melintasi laut pasir lima kilometer ke kaki Gunung Batok. Setelah itu, dilanjutkan puji syukur di pentas upacara, dan ujian para dukun. Gua di pinggang Gunung Widodaren, tetangga Bromo, juga mereka ziarahi. Di sini, mereka bermalam beberapa hari, memohon berkah, dan menampung "tetesan air bidadari" dari langit-langit gua. Air ini mereka yakini sebagai obat mujarab. Kasada juga diramaikan kunjungan turis lokal dan luar negeri. Lebih dari 30.000 pengunjung membuat suasana tenteram menjadi hiruk-pikuk. Alam pegunungan yang indah dan berkabut itu adalah daerah makmur yang menghasilkan sayur-mayur. Karena karunia itulah, maka warga Tengger bersyukur tiap tahun dengan membuang sesaji ke kawah Bromo. Kepercayaan ini diangkat dari legenda turunan Brahmana, Joko Seger, dan Roro Anteng -- anak Raja Brawijaya dari Majapahit. Setelah Islam masuk ke Majapahit, konon, pasangan ini bersama pengikutnya yang Hindu melarikan diri ke sekitar Gunung Bromo. Dari pasangan Roro An(Teng) dan Joko Se(ger) inilah disebut muasal orang Tengger. Tapi, tabir sejarah suku Tengger masih misteri. Berbeda dengan orang Bali, asalnya moyang suku Tengger belum terbukti hingga kini sebagai pelarian Majapahit -- misalnya seni budaya seperti ukiran, arsitektur, dan unsur teater. Yang ditemukan di Tengger, baru 21 lembar lontar abad ke-14. Dan isi tulisan Sanskerta tersebut belum terungkap tuntas. Burhan Piliang dan Herry Mohammad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus