Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta Menjelang 5 Abad Tetapi Jadi Magnet untuk Pendatang

Jakarta menjelang usia 5 abad tetap menjadi magnet. Para komuter menikmati transportasi modern, sementara pasien rujukan memanfaatkan layanan kesehatan, meski tantangan biaya hidup masih menghantui.

24 Desember 2024 | 18.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karyawan Swasta , Syaifullah Thalib di Depok, pada Sabtu, 21 Desember 2024. TEMPO/Sandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Menjelang usianya yang ke-5 abad pada 2027, Jakarta tetap menjadi magnet bagi jutaan pendatang. Kota ini menjadi tujuan utama para pekerja komuter dari kota-kota sekitarnya. Tak hanya itu, Jakarta juga menjadi tumpuan harapan ribuan pasien dari berbagai penjuru Indonesia, yang mencari pengobatan di rumah sakit-rumah sakit rujukan berstandar nasional.

Syaifullah Thalib, karyawan swasta di sebuah stasiun televisi nasional, setiap hari harus pergi dari rumahnya di Depok ke kantornya di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Jika mendapat giliran bertugas saat malam, ia bisa menggunakan kendaraan pribadi dengan lancar. Namun ketika jadwal masuk pagi, ia lebih memilih menggunakan transportasi publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Karena di jalur gue ke kantor sangat memudahkan dan meringankan. Transportasi publik sekarang menyenangkan, sudah nyaman. Ya, kalau di jam-jam peak berangkat dan pulang kerja wajarlah padat. Tapi sekarang sudah ada AC, jadi lebih nyaman. Kendaraannya juga bersih, kok,” ucap pria yang akrab disapa Ipul pada Info Tempo, Ahad, 22 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada akhir 1990-an, ia harus berdesakan di dalam kereta listrik atau KRL yang hanya tersemat kipas angin. Begitupun dengan bus kota yang panas dan pengap ketika sarat penumpang. Berangkat rapi dan wangi, tiba di kantor basah kuyup oleh keringat.

Namun transformasi besar-besaran terjadi ketika Gubernur DKI Sutiyoso meluncurkan busway Transjakarta pada 2004. “Itu sangat keren, bahkan fenomenal. Setelah itu setiap tahun, setiap ganti gubernur ada lagi perubahan lainnya. Sekarang ada MRT, LRT, bahkan jalur sepeda dan CFD (hari khusus bebas berkendara). Pokoknya Jakarta keren,” ucapnya.

Perkembangan transportasi publik yang semakin baik juga mendapat apresiasi Arsiya Heny Puspita, pendatang dari Lampung. “Sudah sangat bagus karena terkoneksi, dari mulai Transjakarta, MRT, dan LRT. Pembayarannya juga terkoneksi, jadi cuma sekali tap in. Sangat meringankan warga Jakarta,” ucap jurnalis perempuan yang gemar berkunjung ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Satu moda yang juga jadi pujiannya yakni JakLingko. Selain gratis, transportasi umum ini memudahkan perjalanan ke tiap sudut Jakarta. “Seperti kemarin saya ke Condet. Turun dari Transjakarta di PGC Cililitan terus nyambung pakai JakLingko. Walaupun (rute) agak memutar tapi buat saya tetap menarik,” tutur Heny.

Selain kemudahan transportasi, fasilitas kesehatan di Jakarta turut mendapat apresiasi. Agus Odeng, seniman di Taman Ismail Marzuki, pernah mendapatkan Kartu Jakarta Sehat dari Pemerintah Provinsi DKI. “Jadi enggak usah bayar iuran, sangat meringankan saya yang berprofesi sebagai seniman. Tahu dong kondisi saya yang kadang-kadang dapat order (pekerjaan), kadang kosong,” ucapnya.

Adapun Rohidi, merupakan pendatang dari Serang, Banten, untuk mengantar anaknya yang sakit dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Selama di Jakarta, ia menginap di rumah singgah di Jalan Kenari, Senen, Jakarta Pusat.

“RSCM memang paling sering jadi rujukan untuk kami yang di daerah. Cukup bersyukur ada rumah singgah, tetapi kami tetap harus mencari donasi untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” katanya saat bertemu Info Tempo sedang melintas di trotoar kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Rekannya di rumah singgah, Helmi Jayadi, juga berkomentar tentang sulitnya menyambung hidup di Jakarta. Biaya pengobatan untuk anaknya memang gratis ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. “Tapi untuk kami yang mendampingi kan juga harus makan, apalagi perawatan itu lama, bisa setahun lebih,” kata dia.

Permasalahan lainnya, Helmi melanjutkan, tidak semua pengobatan bisa didapat secara gratis. “Misalnya kalau anak saya harus ke lab (laboratorium) ternyata tidak gratis,” ujarnya. Artinya, ia yang harus meninggalkan pekerjaan karena mendampingi anaknya semakin sulit mengatur uang yang terus menipis untuk berbagai kebutuhan. (*)

Sandy Prastanto

Sandy Prastanto

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus