Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Diperlukan sebuah lembaga negara dengan kewenangan yang kuat untuk mengatasi permasalah struktural kebakaran hutan dan lahan gambut di daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir semua kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia terjadi karena persoalan struktural. “Jika penanggulannya hanya di memadamkan api, sampai kapan pun tak akan tuntas kalau masalah struktural tidak diatasi,” ujar pakar Antropologi Universitas Indonesia dan peneliti Gambut, Suraya Afiff dalam Dialog Khusus Tempo bertajuk “Restorasi Gambut di Mata Pemerintah Daerah” pada 24 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, konsensi perusahaan seperti perkebunan sawit rawan konflik. Masyarakat sekitar tidak mendapat keuntungan dengan konsesi besar di daerahnya. Selain itu perusahaan kerap mengabaikan tuntutan masyarakat sehingga melahirkan konflik berkepanjangan.
“Makanya kebakaran adalah persoalan struktural. Masalah struktural hanya bisa diatasi oleh lembaga yang bisa sama-sama melibatkan semua pihak,” kata Suraya.
Dalam riset yang dilakukan, selama ini karhutla lebih banyak terjadi di kawasan konsesi. Sejumlah kepala daerah menyampaikan fakta yang sama dengan pendapat Suraya. Lokasi kebakaran umumnya berada di areal perusahaan.
“Dengan catatan, perusahaan yang berkonflik,” kata Wakil Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Beni Hernedi. Luas lahan gambut di Kabupaten Muba seluas 359 ribu hektare atau 25,6 persen dari total luas wilayah.
Sedangkan Bupati Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan Abdul Wahid menuturkan, kebakaran di daerahnya terjadi di perusahaan perkebunan sawit, dan karena faktor kesengajaan.
Kebakaran hutan terburuk di Indonesia terjadi pada 2015. Lahan yang terbakar mencapai 2,6 juta hektare. Peristiwa itu menewaskan puluhan orang dan membuat ribuan lainnya terkena penyakit saluran pernapasan.
Dampak asapnya dirasakan hingga Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Setahun kemudian, Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016 membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Badan ini bertanggungjawab memulihkan ekosistem gambut yang rusak.
Keberadaan BRG dipandang cukup membantu upaya daerah mencegah kebakaran di lahan gambut karena lembaga tersebut memberi bantuan infrastruktur dan pendampingan masyarakat.
“Kami berterima kasih karena saat ini telah memiliki sumur bor dan sekat kanal. Sebelumnya kalau musim kemarau kami kesulitan mendapatkan air di lahan gambut,” ujar Yanto L Adam, Kepala Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Pemerintah pusat belum memberikan keputusan baru terkait masa tugas BRG yang akan berakhir pada 31 Desember 2020.
Apapun lembaga yang akan dibentuk presiden, upaya restorasi gambut di Indonesia tak boleh berhenti. Sebenarnya, pemerintah dapat melakukan evaluasi dari kinerja BRG selama lima tahun atau mengubah struktur lembaga dan target pencapaian, tanpa perlu membuat lembaga baru.(*)