Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL-Perairan laut Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati berlimpah, dengan luas 6,4 juta kilometer persegi terdiri dari 3 juta km2 laut zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan 3,4 juta km2 laut teritorial (Rokhmin Dahuri, 2021), yang menghubungkan 17.504 pulau-pulau kecil (PPK) dari Sabang sampai Merauke, dan dihuni lebih dari 2 juta jiwa penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari luas perairan laut Indonesia, sekitar 28,4 juta hektare merupakan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN), yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan di dalamnya terdapat 146 pulau-pulau kecil berukuran 1 ha sampai 10.000 ha atau 100 kilometer persegi, dengan luas total lebih kurang 136.864 ha, tidak berpenduduk, serta merupakan areal penggunaan lainnya (APL).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pulau-pulau kecil tersebut, berada pada kawasan konservasi di taman wisata perairan (TWP) Pulau Pieh-Sumatera Barat (3 pulau), TWP Kepulauan Anambas-Kepri (119 pulau), suaka alam perairan (SAP) Aru-Maluku (6 pulau), dan taman nasional perairan (TNP) Laut Sawu-NTT (18 pulau).
Pemanfaatan kawasan konservasi dilakukan untuk kegiatan, di antaranya penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pariwisata alam perairan, pelaksanaan adat istiadat dan ritual keagamaan sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi.
Besarnya potensi kawasan konservasi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya berupa keanekaragaman hayati laut, pesona pesisir, uniknya pulau-pulau kecil, serta keindahan ekosistem kawasan termasuk perairan bawah laut menjadi daya tarik wisata bahari yang harus dikelola dengan baik.
Jika melibatkan masyarakat lokal pada berbagai atraksi wisata berbasis kearifan lokal atau ciri khas budaya setempat, disertai layanan premium dan perlindungan insurance jasa lingkungan, maka wisata bahari premium di kawasan konservasi sudah menyasar segmented market wisatawan eksklusif, tetapi tidak memprivatisasi pulau dan perairan
Wisatawan eksklusif terbatas jumlahnya dan memenuhi jenis wisata tertentu, seperti perjalanan rekreasi dan spiritual, menyelam, snorkeling, mengamati hewan di laut (paus, lumba-lumba, penyu, pari manta), petualang bertahan hidup, archeology bawah air, dan bangunan bersejarah.
Pemanfaatan Kawasan Konservasi
Persyaratan dasar perizinan berusaha berupa kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL), termasuk pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata bahari premium diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko.
Pemanfaatan kawasan konservasi perairan nasional seluas satu juta hektar saja untuk wisata bahari premium dengan tarif (Rp 18,68 juta/ha) sesuai PP 85 Tahun 2021 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada KKP, akan menghasilkan PNBP mencapai 18 triliyun rupiah.
Pemanfaatan lahan pulau-pulau kecil diatur dalam Perpres Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengalihan Saham dan Luasan Lahan dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Pemanfaatan Perairan di Sekitarnya Dalam Rangka PMA, maksimal 49 persen dari 136.864 ha luas pulau yang tersebar di kawasan konservasi, atau sekitar 67.000 ha, menghasilkan PNBP mencapai 2 triliun rupiah (tarif Rp 30,8 juta/ha untuk pemanfaatan oleh PMA dan tarif Rp 25,4 juta/ha untukrekomendasi pemanfaatan kurang dari 100 km2).
Disamping kemudahan pelayanan perizinan (cepat, murah, mudah, clean and clear), ketersediaan infrastruktur dan kenyamanan wisatawan eksklusif menjadi faktor penting dalam mendukung wisata bahari premium. Untuk itu, pemerintah dapat mengelola kawasan konservasi dan pulau-pulau kecil dengan melakukan tiga langkah strategis.
Pertama, mensertifikatkan 30% lahan di pulau-pulau kecil sebagai asset negara sesuai Perpres 34 Tahun 2019 dan sebahagian KKPRL di kawasan konservasi perairan nasional yang selanjutnya dikelola menjadi aset badan layanan umum (BLU), diantaranya 119 pulau di TWP Kepulauan Anambas. Untuk itu, dibutuhkan komunikasi intensif dengan kementerian ATR/BPN dan kementerian keuangan serta Pemerintah Daerah.
Kedua, memastikan ketersediaan infrastruktur dasar, diantaranya air bersih/minum, energi listrik ramah lingkungan (PLTS, LNG), maupun infrastruktur komunikasi (menara BTS, sinyal), serta konektivitas (Seaplane, kapal wisata, dermaga), yang bersumber dari APBN atau melalui kerjasama dengan badan usaha (KPBU) untuk memastikan ketersediaan pembiayaan dan pembangunan infrastruktur yang bertujuan bagi kepentingan umum;
Ketiga, menyusun regulasi, pedoman/kriteria untuk menjaga daya dukung dan daya tampung, di pulau-pulau kecil maupun kawasan konservasi, seperti kepadatan wisatawan, jadwal kunjungan, bangunan tahan bencana, dan ramah lingkungan.
Kebijakan tersebut diatas, harus disinergikan dengan rencana penyediaan infrastruktur oleh investor, baik di pulau-pulau kecil (seperti pengelolaan sampah, gazebo, jalur tracking) maupun di perairan konservasi (seperti cottage, jeti apung, perahu wisata), yang perencanaannya berdasarkan kajian, siteplan atau masterplan, rencana tata ruang wilayah/RTRW, serta rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil/RZWP3K.
Pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata bahari premium mengutamakan kelestarian sumber daya perairan laut beserta ekosistem pulau di sekitarnya, merupakan peluang investasi baru, yang berdampak langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat pulau dan nelayan serta penerimaan negara. (*)
(Rido Miduk Sugandi Batubara, Ahli Madya Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP)
Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP)