Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial
Main Mata Denda Sawit

Impunitas untuk Perusak Hutan

Penyidikan korupsi denda sawit di kawasan hutan mandek di Kejaksaan Agung. Alat barter penguasa dan pengusaha.

2 Maret 2025 | 08.30 WIB

Impunitas untuk Perusak Hutan
Perbesar
Impunitas untuk Perusak Hutan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemerintah mengampuni pengusaha sawit dan tambang penyerobot hutan melalui denda administratif.

  • Pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diduga menyelewengkan dana tersebut dari Rp 300 triliun hingga tinggal Rp 600 miliar.

  • Setelah memberlakukan denda, pemerintah hendak memakai hutan yang diambil alih negara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.

BEGINILAH jadinya jika kejahatan korporasi diputihkan melalui mediasi denda. Alih-alih menjerat pidana perusahaan penyerobot hutan dan perusak lingkungan, pemerintah menegosiasikan denda yang membuka pintu korupsi. Penetapan tarif denda diduga menjadi alat tawar-menawar antara pengusaha dan penguasa. Penyidikan dugaan penyelewengan itu pun kini mandek di Kejaksaan Agung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal Oktober 2024, Kejaksaan Agung menggeledah kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—kini menjadi Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Salah satu yang digeratak adalah ruang kerja Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK waktu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memeriksa puluhan aparatur sipil negara, Kejaksaan Agung menyasar keterlibatan pejabat eselon I dan II. Anehnya, belum ada satu pun tersangka penyelewengan denda sawit di kawasan hutan diumumkan, meski Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pernah menyatakan sudah mengantongi nama-nama mereka.

Centang-perenang ini bermula ketika pemerintahan Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Dua pasal tambahan dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, yaitu 110A dan 110B, memandatkan negara mengampuni perkebunan sawit di kawasan hutan asalkan pemiliknya membayar dana reboisasi dan denda administratif.

Pemerintah berharap melalui skema ini bisa meraup Rp 300 triliun sebagai penerimaan negara bukan pajak. Denda ini menyasar ribuan perusahaan—beberapa di antaranya korporasi milik konglomerat kakap. Faktanya, akibat negosiasi pemerintah dan pengusaha, uang yang masuk ke kas negara tidak lebih dari Rp 600 miliar.

Salah satu pangkal soalnya adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang terbit pada Juni 2023. Berkat lobi pengusaha, keputusan menteri ini memberi celah bagi perusahaan bermain mata dengan pejabat kementerian: menurunkan luas hutan yang mereka serobot dan menegosiasikan nilai dendanya. Korupsi tata kelola sawit inilah yang mendorong Kejaksaan Agung menggeledah KLHK.

Sejak awal, mekanisme penghitungan dan pembayaran denda sawit tidak transparan. Pemerintah tidak pernah mengumumkan perkembangan pemutihan ini. Daftar perusahaan yang terkena Pasal 110A berikut nilai denda dan luas hutan yang mereka serobot tidak pernah diumumkan kepada publik. Proses tertutup ini mudah memicu manipulasi dan persekongkolan jahat.

Upaya korporasi mempengaruhi kebijakan atau regulasi untuk kepentingan mereka merupakan ciri state capture corruption. Fenomena ini terjadi dalam penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja hingga pembuatan aturan teknis di tingkat kementerian. Hukum dipakai sebagai akal-akalan untuk mengubah jerat pidana menjadi denda yang sifatnya transaksional. Padahal, bila pemerintah serius melindungi hutan, hukuman pidana mesti menjadi opsi utama, lalu denda ditujukan sebagai pengganti kerusakan hutan.

State capture terjadi karena adanya kekuatan oligarki yang memanfaatkan lembaga negara yang bisa menguntungkan bisnis mereka. Dengan mengendalikan sumber daya alam, mereka bisa mempertahankan dan meningkatkan kekayaan.

Hubungan antara aktor publik dan swasta di dalam state capture berlangsung timbal-balik. Bukan hanya pelaku usaha yang “menangkap” negara, juga sebaliknya. Ini memicu konflik kepentingan dan memalingkan wajah negara dari masyarakat. Nihilnya hukuman pidana bagi korporasi sawit dan mandeknya penyidikan di Kejaksaan Agung kini menjadi contoh.

Presiden Prabowo Subianto lalu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 yang meluaskan aturan denda bagi usaha pertambangan di kawasan hutan. Dengan aturan ini, setelah memberlakukan denda, pemerintah akan mengambil alih seluruh lahan itu kembali menjadi hak negara. Masalahnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menerbitkan aturan menjalin kesepahaman pemakaian hutan bekas sawit dan pertambangan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.

Setelah dijadikan ajang penyelewengan denda sawit, hutan kini akan dipakai untuk tujuan militerisasi. Selain menjadi semacam pengampunan bagi perusak lingkungan, lalu menyelewengkan dananya, faksi lain dari oligarki kini merubung dan siap mencaplok hutan menggantikan “pemain lama” dengan berkedok pengambilalihan lahan oleh negara.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus