Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampoerna berpacu memburu ...

Pt hm sampoerna di surabaya memproduksi rokok kretek dji sam soe & sampoerna. pendirinya liem seeng tee & kini dikelola oleh generasi ketiga dinasti sampoerna. mereka berpacu memburu kesempurnaan.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama kali dilinting 75 tahun lalu, Dji Sam Soe bukan sekadar kuantitas usia, tapi juga kualitas rasa. Kini dikelola oleh generasi ketiga Dinasti Sampoerna, mereka berpacu memburu kesempurnaan. MENGISAP rokok kretek, apalagi dari merek tertentu, kini tak lagi menurunkan harkat -- malah menaikkan gengsi. Bila terlihat ada seseorang sedang merokok kretek dari jenis ini, acapkali timbul tanggapan seperti: "Wah, Dji Sam Soe ya? Hebat sekarang." Kalaupun tanggapan itu tak muncul, kekaguman diam-diam akan menyertai kehadirannya. Ada masanya, memang, ketika perokok kretek dicoba ejek. Misalnya, seperti yang dialami Almarhum Haji Agus Salim, mantan menteri luar negeri RI dalam Kabinet Syahrir di awal kemerdekaan. Hadir dalam suatu pertemuan dengan orang-orang Belanda, Agus Salim berkupiah, berkaca mata, berbaju gunting Cina dan bersarung, dan berjanggut -- enak saja menghembuskan rokok kreteknya kesana kemari. Tak ayal, asap berkandungan cengkih membuat orang Belanda terbatuk-batuk. Namun, sang diplomat ulung yang dikenal sangat patriotis itu tenang-tenang saja sampai seseorang mencemooh dan mencela kebiasaannya merokok kretek sebagai "kampungan". Lalu, "Tahu kalian, karena cengkih yang ada dalam ramuan rokok saya inilah bangsa kalian datang ke negeri kami, menguras harta dari penjualan cengkih, dan memindahkannya ke negeri kalian." Begitu kira-kira jawaban sengit marhum Agus Salim, dan membuat yang mendengar ucapannya terdiam dan tertunduk malu. Itu cerita dulu, ketika rokok kretek belum akrab di kalangan orang-orang non Indonesia. Kini, rokok kretek (kita sebut saja kretek) sudah menjadi bagian hidup bangsa Indonesia, bahkan menembus pasar internasional. Di Australia, sebungkus kretek bahkan bisa menjadi duta persahabatan. Kretek sudah dikenal di Indonesia sejak 1824. Dari sebuah catatan orang Belanda, ketika itu dikenal Pak Mirah yang menjajakan kreteknya dengan bersepeda. Kretek itu hasil karyanya sendiri, dari merajang tembakau, mencampurnya dengan cengkih, lalu melinting dan menjualnya. Setelah itu, Nitisemito dikenal sebagai "raja kretek" dari Kudus, Jawa Tengah. Sisa-sisa kerajaannya di Kota Kudus, menunjukkan kebesaran kerajaan kretek ketika itu. Awal kejayaan Nitisemito juga mulai seperti upaya Pak Mirah. Bersama anggota keluarganya, Nitisemito merajang tembakau, lalu mencampurinya dengan irisan cengkih dan melintingnya. Kretek hasil karya seluruh keluarga itu didagangkan di depan rumah. Sebagian diedarkan berkeliling. Usaha itu kian maju, Nitisemito perlu mengembangkan usahanya. Buruh melinting mulai digunakan, sebagian besar adalah kerabat dekatnya. Dari Kudus, kretek menyebar, tidak lagi hanya di kawasan Pulau Jawa. Ekspansinya begitu cepat. Pangsa pasar rokok putih pun makin terdesak oleh kretek. Ekspor bahkan sudah dilakukan. Seorang pakar periklanan pernah mengingatkan pada produsen rokok putih BAT di Indonesia, yang justru adalah kliennya. Bahwa mereka harus berhati-hati terhadap pasar kretek. Sang pakar melihat bahwa kretek akrab dengan kondisi Indonesia. Lagi pula para pengusaha kretek makin gigih melakukan inovasi dalam pemasaran dan produknya. Anjuran itu disampaikannya hampir lima belas tahun lalu. Nyatanya benar, kretek berfilter yang mulai dikenal awal 70-an, dan diproduksi dengan mesin menguasai pangsa pasar rokok di Indonesia. Dalam industri kretek, produk yang menggunakan filter itu disebut sebagai SKM (Sigaret Kretek Mesin). Dan sejak SKM dikenal, penjualan kretek jenis ini melonjak, masuk pasar internasional. Karena itu, tiga produsen terbesar mengutamakan produk SKM nya. Pasar meledak. Pomosi pun dilakukan alang kepalang. Peningkatan luar biasa SKM ternyata tak membuat SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang dibuat secara tradisional itu, turun. Sebagian memang terdapat penurun pada produksi SKT nya. Namun, PTHM Sampoerna, produsen Dji Sam Soe, masih bertahan, bahkan pasarnya meningkat. Dji Sam Soe memang primadona bagi PTHM Sampoerna. Yang pasti, SKT adalah proyek padat karya, memerlukan banyak tenaga kerja manusia. Untuk mendapatkan produksi jutaan batang perhari saat ini, Sampoerna memerlukan ribuan tenaga kerja manusia yang cekatan dan terlatih untuk menanganinya. Dji Sam Soe kini menapak pada usia ke 75 tahun, menembus generasi ke tiga dari dinasti "kerajaan kretek' tertua yang masih berjaya sampai kini. Pada mulanya adalah Liem Seeng Tee dari Kampung Dapuan, Surabaya. Ia memulai bisnisnya sama dengan para pedagang kretek pendahulunya. Mulai dari merajang tembakau, mencampuri cengkih, sampai melinting dan menjajakannya sendiri. Seeng Tee men jajakan kreteknya di pasar Besar Surabaya, tak jauh dari tempat tinggalnya. Dapoean dipakainya sebagai merek produk kreteknya yang pertama, untuk mengenang tempat tinggalnya di Kampung Dapuan. Kenangan akan produk pertamanya itu diabadikan dengan mozaik kaca di gedung tua pabrik Sampoerna yang kini dinamai Taman Sampoerna. Pabrik Sampoerna yang didirikan tahun 1913 itu kini masih berfungsi. Didirikan setelah Seeng Tee berhasil menerapkan keinginannya untuk menjaga mutu dan rasa kreteknya. Kondisi itu hanya bisa dicapai melalui penggunaan tembakau pilihan yang harus benar-benar dipilih mulai dari bagian tembakau yang paling baik, aromanya serta kematangannya. Tembakau pilihan itu lalu dirajang sebelum dijemur. Sama halnya dengan pemilihan cengkih. Upaya tersebut memberikan hasil pemasaran yang baik bagi Seeng Tee. Dji Sam Soe adalah salah satu produknya yang melejit di pasaran. Seeng Tee pun tetap menjaga ramuan yang telah ditemukannya. Ia menggunakan tembakau dari Madura dan campuran tembakau-tembakau dari Pulau Jawa, serta sedikit campuran tembakau dari Virginia, Amerika. Itu rahasia utamanya. "Rokok ini memang nyaris tanpa saus, " ujar Hendra Prasetya, General Manager PT HM Sampoerna sekarang. Cita-cita mendirikan pabrik kretek setelah sekian lama berdagang kretek, tercapai. Seeng Tee mempekerjakan banyak tenaga, terutama orang-orang Kampung Dapuan. Sejak itulah tonggak sejarah Sampoerna bermula. Usaha Seeng Tee kian maju. Ia perlu lokasi tambahan untuk gudang penyimpanan tembakau. Karena tembakau yang dijadikan kretek produknya itu bukanlah tembakau yang baru selesai diolah. Tembakau rajangan itu disimpan dulu beberapa lama, paling sedikit dua tahun, baru dilinting. Ini juga salah satu rahasia Sampoerna. Gudang tua dekat Taman Sampoerna itu pun sampai kmi masih berfungsi, meski merupakan bagian kecil dari gudangnya yang dimiliki sekarang. Gang yang mengelilingi gudang tua itu pun masih dinamai Gang Sampoerna, seperti dulu. Gang itu pada mulanya adalah jalan darurat bagi petugas kendaraan pemadam kebakaran bila sewaktu-waktu terjadi kebakaran. Gang yang kini menjadi jalan kecil itu merupakan daerah hunian sebagai pekerja Sampoerna. Rumah-rumah tua yang mengelilingi pabrik di Taman Sampoerna juga merupakan rumah kompleks karyawan kepercayaan Sampoerna. Kompleks yang mengelilingi pabrik itu sengaja dibuat sekaligus untuk melindungi pabrik beserta isinya. Kini ditinggali oleh keturunan para pekerja kepercayaan, yang masih keluarga Seeng Tee. Rumah tersebut boleh ditinggali sampai kapanpun asal masih tetap keturunan penghuni semula. Tak boleh dipindahtangankan. Upaya Seeng Tee melindungi kekayaannya patut dipuji. Bahkan sebagai seorang keturunan Cina, ia pun merasa terganggu dengan adanya kepercayaan di kalangan Cina yang mengatakan bahwa harta mereka biasanya bertahan tak lebih dari tiga generasi. Beberapa pengalaman memang menunjukkan demikian. Generasi pertama adalah peletak dasar. Generasi kedua yang membesarkan. Generasi ketiga yang menikmati kemewahan dan generasi keempat tinggal membayar utang dan mengalami sisa-sisa kekayaan terakhir. Seeng Tee tak ingin itu terjadi pada usahanya, sehingga regenerasi menjadi perhatian pokoknya. Kedua anak lelakinya lalu disuntik dengan berbagai falsafah hidup untuk melestarikan usahanya. Liem Swie Hwa alias Adi Sampoerna dan anak kedua Liem Swie Ling alias Aga Sampoerna, sama-sama mendapat petuah. Swie Ling paling merasa peduli pada petuah sang ayah. Padanya kemudian segalanya dipersiapkan sebagai komando usaha Seeng Tee. Swie Hwa lebih menekuni masalah tembakau, jadilah ia kemudian pemasok tembakau terpercaya bagi Sampoerna. Adapun Swie Ling lebih banyak dibekali pengetahuan formal. Seeng Tee menyekolahkannya ke Universitas Peking. Setelah berhasil, pulang ke Surabaya Swie Ling tak berlagak seorang cendekia berpakaian perlente. Tetapi, dengan celana pendeknya ia terjun ke pabrik milik ayahnya. Dalam waktu singkat seluruh masalah dikuasainya benar. Tak salah bila Seeng Tee menyerahkan tongkat komando Sampoerna padanya. AKAN halnya Seeng Tee, ia bukan saja giat berdagang. Kegiatan politik pun digelutinya. Tak sedikit sumbangannya bagi gerakan kebangsaan kala itu. Ia pun akrab dengan Dr. Soetomo dan Dr.Gunawan Roeslam Wongsokoesomo. Dua orang tokoh yang dikenal bersemangat tinggi mengobarkan semangat kebangkitan nasional Koran perjuangan di Surabaya Soeara Oemoem dibantunya. Gedung Nasional pun dibangun di jalan Bubutan, Surabaya. Bangunan lain dibangunnya pula dalam rangka gerakan politiknya. Gedung disamping pabriknya itu sangat megah. Maksudnya untuk pertemuan-pertemuan gerakan kebangsaan yang selalu mencari tempat untuk berkumpul. Namun, suasana politik yang sangat tak memungkinkan, upaya Seeng Tee selalu mendapat tekanan dari pihak pengusaha pemerintah Hindia Belanda. Sehingga gedung tersebut berfungsi tak lebih dari setahun. Seeng Tee mengalihkannya sebagai gedung bioskop megah, yang sesekali toh digunakan berkumpulnya para pergerakan kebangsaan. Digedung bioskop megah yang kini menjadi pabrik kretek SKT ini pula Bung Karno pernah berpidato di depan suatu kongres Partindo (Partai Indonesia). Tentu saja masyarakat yang menghadiri berlimpah. Seeng Tee bahkan menyiapkan gedung Nan Yang di Kapasari sebagai tempat penampungan peminat lain. Kabel-kabel pengeras suara dihubungkan kesana. Masyarakat pun puas akan ulahnya. Meski kemudian ia harus menantang Belanda karena dipanggil untuk diinterogasi oleh Dinas Rahasia Belanda. Seeng Tee dianggap bersalah karena meminjamkan gedungnya serta memberi izin Partindo berkongres disana. Akan tetapi Seeng Tee licin bersilat lidah. Belanda toh sudah memberi izin pengadaan kongres, dan Seeng Tee pun tak ikut salah bila memberikan tempat bagi kongres tersebut. Bumerang memukul pihak Belanda, Seeng Tee pun dibebaskan. Sikap pendiri Sampoerna ini nyatanya menurun kepada Swie Ling, penerima tahta kerajaan. Kegiatan berpolitik Swie Ling melebihi ayahnya. Keakrabannya dengan para tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) membuatnya berdiri pada posisi yang sulit. Swie Ling pun hijrah ke luar negeri. Pabrik kembali dipimpin oleh Seeng Tee. Dan ketika Seng Tee meninggal di tahun 1956 pada usia 63 tahun, Swie Ling bisa kembali secara diam-diam berkat bantuan seorang pejabat pemerintah yang ikut membujuknya pulang. Liem Swie Ling alias Aga Sampoerna ternyata tak segera bisa menyesuaikan diri memimpin pabrik. Situasi ekonomi dan berbagai hal lainnya menyebabkan Aga sedikit berhati-hati mengembangkan usaha warisan ayahnya. Tahun 1959 ia baru mengoperasikan pabrik secara penuh. Produksinya ketika itu sekitar 100.000 batang perhari. (Bandingkan dengan produksi sekarang yang jutaan batang perhari, khusus untuk SKT nya. Belum lagi produk SKM yang makin meningkat, melebihi produk SKT). Aga Sampoerna benar-benar memeras keringat untuk membangun Sampoerna. Diawal orde baru, ketika pemerintah memberi angin segar pada para pengusaha, Aga memacu perkembangan Sampoerna. Ia hampir-hampir hidup disepanjang jalan Pulau Jawa dan Bali. Ia mencari tembakau dan cengkih melalui pasar di Jakarta, juga ke pelosok-pelosok perkebunan. Lalu memasarkan produknya. Mengawasi pabrik di Surabaya dan Denpasar. Di Denpasar ia mempunyai pabrik kretek Panamas. Tentang pabriknya yang di Denpasar itu, Aga kemudian menjualnya. Ia menilai pabrik itu tak menghasilkan. Konsumen kretek lebih banyak berada di Pulau Jawa. Lagi pula di Bali sulit mencari bahan baku untuk pembuatan rokok kretek. Pabrik itu lalu dialihkannya ke Malang. Bekas pabrik rokok Philip Moris penghasil rokok Abdulla itu dibelinya untuk kegiatan pabrik Panamas. Kerja keras Aga membuahkan hasil mengembirakan. Produk Dji Sam Soe dan Sampoerna A tak bergeming dari pasar. Tetap menduduki tempat keempat setelah tiga produsen kretek terbesar saat ini. Manajemen yang diterapkan Aga juga merupakan kunci keberhasilan. Terutama karena ia tinggal di lingkungan pabrik. Sehingga ia langsung dapat melihat seluruh pekerjaan, dan segera cepat mengambil keputusan. Pada tahap membangun, disitulah kunci suksesnya. Rumah di samping pabrik itu memang sudah disediakan Seeng Tee lagi Aga dan Adi. Dua buah rumah kembar yang mengapit bekas gedung bioskop Sampoerna yang bersejarah ini didirikan Seeng Tee agar kedua anak lelakinya dengan mudah mengendalikan roda industri. Kini, rumah tinggal Adi sudah digunakan sebagai kantor. Karena Adi Sampoerna lebih banyak mngurusi perkebunan tembakaunya. Sedangkan bekas rumah tinggal Aga masih dirawat seperti yang empunya masih tinggal disana. Ruang kerja Aga di kamar depan yang bersebelahan dengan kamar tidurnya, masih tampak rapi. Bekas kamar kerja itu punya arti tersendiri bagi para karyawannya. Aga jarang memanggil karyawannya ke kamar tersebut, kecuali beberapa staf terdekatnya. Ia lebih sering mendatangi para karyawan. Bila terjadi salah seorang karyawan dipanggil menghadap kamar kerjanya, ada dua hal yang menjadi pertanyaan di kepala. Apa salahnya? Atau hadiah apa yang akan didapatnya? Aga selalu menegur karyawannya yang bersalah di kamar itu. Begitu pula bila ia memberikan sesuatu hadiah atas prestasi yang menonjol. Aga memang tak lagi tinggal disana. Pada usianya yang 72 tahun kini, ia menikmati pensiun bersama istrinya di Singapura, sambil mengurus bisnis pribadinya. Meski tinggal disana, Aga toh masih kental dengan budaya Kejawennya. Setiap ulang tahun Sampoerna, 27 Agustus, ia selalu nanggap wayang kulit. Kepercayaan terhadap keberuntungan juga lekat pada dirinya, meski hal itu jauh dari mistik. Kepercayaan tentang keberuntungan itu adalah soal angka 9. Sebagai lambang, angka ini memang angka yang tertinggi, banyak dipercayai sebagai pembawa keberuntungan. Produk Dji Sam Soe yang merupakan simbol angka 234, bila dijumlahkan akan mendapat jumlah sembilan. Produk ini pula yang menjadi primadona Sampoerna. Akhirnya, angka atau jumlah yang menyatakan sembilan menjadi lekat pada setiap gerak usaha Sampoerna. Ejaan Sampoerna pun tetap menggunakan oe (u-ejaan kini), karena bila diganti dengan ejaan baru, maka jumlah hurufnya menjadi delapan, tak lagi sembilan. Jumlah uang yang diberikan untuk berbagai sumbangan pun selalu melibatkan angka atau jumlah sembilan. Bahkan nomor mobil pun menggunakan angka 234. Beberapa mobilnya menggunakan nomor polisi L 234 ..., dengan huruf seri yang berbeda di belakangnya. Seorang karyawan Sampoerna malah memberi tahu, "mudah saja membedakan mobil-mobil yang diparkir di halaman kantor, apakah mobil itu milik tamu atau milik PTHM Sampoerna. Kalau jumlahnya sembilan, dapat dipastikan bahwa itu mobil perusahaan," katanya. Membayarkan upah pada karyawan harian pun tidak seperti lazimnya di bayarkan setiap hari Sabtu. Upah karyawan harian itu diberikan setiap tanggal 2, 12, dan 22. Telusurilah angka-angka tanggal tersebut. Tidakkah memberi gambaran angka 2, 3, dan 4 yang bila dijumlah menjadi sembilan? Begitu pula jumlah gudang tembakau di Kawasan Industri Rungkut Surabaya yang direncanakan sebanyak 18 buah gudang. Lagi-lagi berjumlah sembilan. Panjang dan lebar gudang juga menunjukan angka sembilan. Sekali lagi, meski angka sembilan lekat dengan bisnis Sampoerna, akan tetapi dunia mistik sangat jauh dari kehidupan industri kretek Sampoerna. Kerajaan" itu dibangun dengan kerja keras dan kepercayaan, serta manajemen yang saling memerlukan. Falsafah manajemen Sampoerna dapat dilihat dari simbol perusahaan berupa tiga buah tangan yang menunjuk ke arah luar. Simbol atau logo itu kini sudah dipermodern dengan tiga arah penunjuk yang geometris. Tiga tangan atau arah penunjuk itu memberikan arti: konsumen, pedagang dan perusahaan. Konsumen dapat perhatian utama, karena selera mereka lah yang menjadi perhatian utama dan harus dipuasi. Sedangkan para pedagang yang menjadi partner penjualan produk-produk Sampoerna mencapai sukses. Perusahaan pun harus melayani kehendak konsumen serta para pedagang. Bila ketiga unsur tersebut saling mendapat kepuasan maka perusahaan akan berjalan dengan baik. Logo itu menjadi sempurna dengan slogan yang ditampilkan: Kami Memang Beda. Bukan saja perbedaan bahwa ramuan Sampoerna merupakan campuran pilihan tembakau paling baik. Pengolahan dan penyajiannya pun berbeda, sehingga menghasikan produk bermutu dan bercita rasa tinggi. Nyaris tanpa saus. Inipun berbeda dengan sajian rokok lain, yang mengutamakan kegurihan sebagai klaim utama. Gurih itu berarti saus, sehingga saus yang menjadi perhatian. Sedangkan bagi Sampoerna, tembakau pilihan yang diramu itulah yang jadi kunci sukses. Bukan soal angka sembilan yang nyaris jadi tumpuan. Manajemen modern yang diterapkan dalam tubuh Sampoerna dilakukan sejak awal 1980, ketika secara gencar industri kretek tertua ini mulai beriklan dengan cara spektakuler. Sebelumnya Dji Sam Soe dan Sampoerna dikenal tak pernah beriklan. Iklannya yang pertama kali justru berbentuk sebuah pengumuman, bahwa meskipun sebagian gudang Sampoerna terbakar, pabriknya tetap berproduksi. Setelah itu tak pernah lagi beriklan. Dan ketika Sampoerna secara gencar beriklan, masyarakat lalu menebak, bahwa Sampoerna melakukan manajemen baru. Kondisi bermanajemen modern makin terasa ketika menjelang peralihan penyerahan tongkat estafet pada Liem Tien Pao alias Putera Sampoerna. Putera menyiapkan tempat berusaha yang lebih modern dan luas. Bangunan untuk kantor dan pabrik serta gudang dibangun di Kawasan Industri Rungkut Surabaya. Namun pola rumah tinggal di kawasan pabrik tetap dipertahankan. Lantai tiga dari bangunan kantor dijadikan rumah tinggal Aga Sampoerna dan Putera Sampoerna, meski mereka tak tinggal disana. Aga di Singapura, dan Putera di Amerika. Tetapi, bila datang ke Surabaya, mereka menginap disana. Pada perayaan ulang tahun ke 71 Sampoerna, 1984, bangunan baru itu secara resmi di gunakan. Aga dan Putera sama-sama hadir, ketika itu baru saja tongkat estafet diserahkan dari Aga Sampoerna kepada Putera Sampoerna. Putera Sampoerna ini nyaris mirip kondisi Aga ketika menerima tongkat komando dari Seeng Tee. Putera Sampoerna adalah anak lelaki kedua dari Aga. Dan ketika kepadanya diserahkan tongkat komando, hal itu tak menjadikan cemas kakak dan adiknya. Aga dengan bijak menjelaskan bahwa usaha itu adalah usaha kakek mereka. Anak-anak lelakinya yang lain diberi kesempatan memajukan usaha mereka masing-masing, dan semuanya berhasil, bahkan semua dilakukan di luar negeri. Putera Sampoerna yang berdomisili di Amerika Serikat pun punya perusahaan komputer di sana. "Komputer adalah hobi saya," katanya. Sampoerna dengan mudah ia kendalikan dari jauh setelah ia menata manajemen dengan rapi. Orang-orang kepercayaan yang ditempatkannya memang mereka yang profesional. "Setiap hari mereka dengan mudah menelpon saya membicarakan soal perusahaan," jelas Putera. Kenyataan memang begitu. Setiap hari setumpuk laporan dalam bentuk facsimile menumpuk di meja kerjanya di Los Angeles. Domisilinya di manca negara memberi hasil pula dalam pemasaran Sampoerna. Sekitar 300 juta batang kretek Sampoerna memasuki pasaran rokok di Amerika Serikat. Ini merupakan rokok impor terbesar di sana. Promosi Sampoerna di Amerika Serikat juga cukup berarti untuk meningkatkan pasar. Putera Sampoerna pun menyadari bahwa situasi industri kretek kini harus berorientasi pada volume. Dengan slogan "Kami Memang Beda" Putera memasang strategi bahwa ia tak akan bertarung dengan tiga besar lainnya. Mempertahankan pada posisi keempat saja baginya sudah baik. Baginya yang lebih diutamakan adalah profitabilitas. "Percuma mengeiar pasar besar tetapi keuntungan sedikit. Lebih baik bertahan pada mutu dan pasar dengan untung yang bagus," tugasnya. Keuntungan bagi Putera akan memberi arti pada perusahaan, dan memberikan kemakmuran untuk karyawan. Selain punya strategi khusus seperti disebutkan, Putera juga punya rencana besar untuk menghadapi masa depan. Ia sangat berkonsentrasi pada pengembangan sumber daya menusia, mengingat orientasinya kini adalah orientasi volume dan profitabilitas. Ini menyangkut sumber daya manusia dan faktor dana tunai yang kebetulan dimiliki oleh Sampoerna. Dana tunailah yang mempermudah pengembangan pertumbuhan. Nasib baik memang dipercayai adanya oleh Putera Sampoerna. Bisnis apapun selalu dipengaruhi "nasib baik". Dalam bisnis Sampoerna "nasib baik" itu jelas ada, namun yang paling penting menurut Putera, berbagai persiapan besar telah dilakukan beberapa tahun terakhir. Suatu infra struktur telah dibangun, termasuk jaringan distribusi dan logistik. Semua sudah diperhitungkan secara rinci. Pola berpikir Putera Sampoerna memang meledak-ledak. "Kita harus bisa mengikuti dan menerjemahkan maksud Pak Putera," ujar seorang stafnya. Satu contoh, Putera telah berpikir jauh bahwa industri kretek dimasa mendatang akan bertumpu pada SKM. Ini berarti Sampoerna harus menghadapi volume yang lebih besar. Untuk menyiapkan kondisi tersebut, Putera bertolak pada masalah teknologi, dan itu masih mudah dihadapi. Tetapi, ada hal lain yang berkaitan, bahwa dengan volume besar, maka tingkat keuntungan per unitnya menjadi lebih kecil. Titik kritis ini dilihat sendiri oleh Putera. Maka berbagai kekeliruan di masa lalu tak boleh diulang lagi, termasuk mencegah keborosan. Dalam keadaan demikian, pengambilan keputusan setepat dan secepatnya, serta manajemen informasi, menjadi kunci keberhasilan. Kondisi ini sedang disiapkan oleh Putera sekarang. "Investasi kita sekarang harus berdasarkan harapan di masa depan. Itulah beban yang kami tanggung dewasa ini," ujarnya. Soalnya, kapasitas masa depan yang sedang mereka rancang adalah produksi 50 juta batang rokok per hari. Itulah kesiapan kelompok Sampoerna menghadapi kondisi bila suatu hari, siapa tahu, SKT tak diminati orang lagi. Namun, yang tetap disyukurinya ialah bahwa Dji Sam Soe adalah produk kretek yang tetap bermutu tinggi, yang mengutamakan kesempurnaan. Untuk menghadapi masa depan itu pula, Putera telah menyiapkan tenaga ahli di bidang-bidang yang dibutuhkan. Beberapa tenaga asing drrekrut demi mengutamakan mutu, di antaranya seorang ahli tembakau, dan ahli pengembangan produk. Mereka sekaligus bisa berperan sebagai pengalih teknologi. Putera Sampoerna, generasi ketiga pemegang tongkat estafet Dinasti Sampoerna, kini sedang berpacu bersama staf dan karyawannya. Sampoerna Memang Beda. Ini bukan sekadar slogan kosong -- boleh coba. Apalagi sekarang dipersenjatai dengan slogan baru: Anggarda Paramita, Menuju Kesempurnaan dengan tak henti-hentinya. Pelinting Generasi Ketiga KEGIATAN utama sebuah pabrik rokok kretek adalah melinting rokok. Ini dilakukan oleh para pekerja wanita, dan mereka pula yang merupakan tulang punggung pabrik rokok kretek. Ribuan tenaga kerja wanita terserap di sektor ini. Mereka juga merupakan tenaga terampil, yang mendapat upah secara harian. Di Sampoerna, para pekerja jenis ini harus mampu melinting 325 batang rokok per jam. Kurang lebih satu detik per batang. Bagi para pemula, baru mencapai 200 batang per jam. Dan pekerja Sampoerna rata-rata telah mencapai standar yang diminta. Beberapa bahkan melebihi standar tersebut. Tentu mereka mendapatkan upah tambahan atas pretasinya. Ami, 33 tahun. Ia sudah bekerja selama 15 tahun di Sampoerna, sejak masih gadis. Kini ia sudah punya tiga orang anak. Prestasinya luar biasa. ia dapat melinting tiga kali lebih cepat dari rekan-rekan lainnya. Ketika padanya diajukan beberapa pertanyaan, tangannya tetap lincah pada alat pelinting rokok, sambil badannya ikut goyang mengikuti irama kerjanya melinting rokok. Luar biasa. Tentu saja ia mengumpulkan bonus lumayan. Karena sistem upah harian yang dianut Sampoerna juga memberikan bonus kepada yang meraih prestasi diatas jumlah standar yang ditentukan. Ami nampak puas dengan pekerjaan dan tempat kerjanya. Keterampilannya menjadi ia selalu meraih upah tambahan. Kesejahteraan pun diterima, seperti juga para pekerja lainnya. Koperasi disediakan perusahaan, mirip mni market, semua keperluan sehari-hari terdapat disana. Begitu pula dengan perhatian kesehatan. Dokter perusahaan terus berjaga selama jam kerja. Lain lagi bagi Tinah, 77 tahun, yang rambutnya sudah memutih. Kini ia dipercaya sebagai mandor para pelinting. Scjak 1933 ia sudah membaktikan dirinya pada Sampoerna. Kok belum pensiun? Baginya bekerja merupakan hiburan. Kebiasaan bekerja sejak sebelum kemerdekaan membuatnya tak betah duduk dirumah. Pekerjaan-pekerjaan dirumah toh bisa dilakukannya sebelum berangkat dan sepulang kerja. Upah yang diterimanya kini lebih banyak digunakan untuk uang jajan cucu-cucunya. Tinah tak sendiri disana, anak dan cucunya bahkan mengikuti jejaknya menjadi pelinting di Taman Sampoerna. Dua orang anaknya yang lain menjadi pelinting Sampoerna di Rungkut. Tiga generasi ikut mencari nafkah disini. Sedang Tinah yang telah menghabiskan lebih dari separuh usianya sebagai pelinting rokok menyatakan kepuasannya bekerja di situ. Perusahaan banyak memberi perhatian padanya. Nenek yang berwajah bersih ini tampak berseri dalam pekerjaan sehari-hari. Ia pun mudah bergurau dengan sesama rekan yang jauh dibawah usianya. Junah hampir senasib dengan Tinah. Junnah tak tahu persis berapa usianya. Yang diingatnya ialah ketika ia masuk bekerja sebagai pelinting di Sampoerna pada tahun 1935. Hampir berbarengan dengan Tinah. Junah sempat berhenti ditahun 1942 ketika pendudukan Jepang. Mengungsi bersama keluarga ke desa. Ketika kembali ke Surabaya, Junah kembali menjadi pelinting di Sampoerna, tahun 1952. Junah yang masih tetap menjadi pelinting didampingi anak dan cucunya. Seorang anak dan dua cucunya bahkan duduk berdampingan menghadapi alat pelinting rokok. Kemampuan berproduksi nenek Junah memang sudah turun dari angka standar yang ditentukan. Tetapi, kualitas ketrampilannya boleh diandalkan. Sama seperti Ti-nah, upah yang diterima Junah juga lebih banyak digunakan untuk uang jajan cucu-cucunya. Karyawan dan karyawati yang setia bertahan pada Sampoerna seperti Tinah dan Junah masih banyak. Kesetiaan terhadap tempat kerjanya adalah penggambaran suasana kerja yang apik. Suasana itu sudah dibentuk oleh Seen Tee sejak lama. Termasuk sistem pengaturan lalu lalangnya para pekerja didalam ruang yang padat dengan para pekerja. Sisem itu masih berlaku hingga sekarang. Meskipun dilakukan secara manual dan dilakukan dengan tenaga kerja manusia, namun sistem yang diberlakukan mengikuti sistem ban berjalan. Semua sudah berjalan dengan prosedur dan standar yang berlaku. Tempat duduk para pelinting pun diselingi dengan para penggunting yang mengguntingi kelebihan tembakau hasil lintingan. Setelah tiga orang pelinting, diselingi dengan seorang penggunting. Secara teknis kemudian dapat ditangkap bahwa kecepatan seorang penggunting harus mampu melayani tiga pelinting. Jadi lama waktu yang digunakan untuk menggunting tiga batang rokok, sama dengan waktu melinting sebatang rokok. Ingin tahu jumlah karyawan yang diserap Sampoerna di tiga lokasi pabriknya Taman Sampoerna, Rungkut dan Malang? Di lokasi Taman Sampoerna, tempat yang lebih pantas dijadikan musium Sampoerna dengan luas lebih dari satu hektar itu menampung sekitar 2400 karyawam. Sedanngkan di pabrik dan kantor baru Sampoerna yang di Rungkut itu menampung kurang lebih 3000 pekerja. Bangunan yang baru dioperasikan sejak 1983 itu berdiri di atas tanah seluas hampir dua hektar. Di Rungkut lebih banyak dikerjakan SKI (Sigaret Kretek Mesin). Sehingga produksi yang lebih besar itu hanya memerlukan sedikit tenaga kerja. Di Malang, pabrik Panamas bekas pabrik rokok Philip Moris itu mempekerjakan hampir 3500 tenaga kerja. Malang dan Taman Sampoerna khusus memproduksi SKT, karena itu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Perbandingan hasil produksi SKT dan SKT adalah para pelinting. Kalau rata-rata orang melinting 300 batang perjam, dan sehari mereka bekerja delapan jam, dapat diduga berapa juta batang dapat diproduksi oleh Sampoerna dalam sehari. Anggarda Paramita: Menuju Kesempurnaan ANGGARDA PARAMITA, yang berarti Menuju Kesempuranaan, kini dijadikan semboyan baru pendamping Kami Memang Beda. Upaya menuju kesempurnaan itu sendiri sudah dilakukan Seeng Tee sejak lama, katika kepada Aga Sampoerna dan Adi Sampoerna diminta untuk melestarikan perusahaan. Maksudnya meneruskan usaha hingga tak berhenti sampai generasi ketiga seperti kepercayaan para keturunan Cina. Sejak itulah upaya menuju kesempurnaan dipatok. Seeng Tee yang meletakkan dasar, Aga membangunnya, dan Putera kini sedang menuju jalan kesempurnaan itu. Karena itukah Sampoerna kini gencar beriklan? Pertanyaan tersebut bisa dijawab ya dan tidak. Yang pasti, inilah jawaban Putera Sampoerna tentang hal itu: "Sebagai produk, Dji Sam Soe ini ibarat mobil Rools Royce yang sangat dikenal. Kami merasa tidak perlu mengiklankan,. Sekarang, kami telah membangun suatu landasan dan siap lepas landas. Gencarnya periklanan dan promosi adalah merupakan pertanda kami telah siap mengejar volume yang besar." Upaya beriklannya memang tak sia-sia. Selain pemasaran yang meningkat -- juga karena dibantu perbaikan sistem distribusi -- iklan Kelompok Perusahaan Sampoerna (begitu nama grup Sampoerna kini) memborong penghargaan semua kategori ikaln-iklan rokok pada Lomba Cipta Iklan "Citra Pariwara" yang dilaksanakan Juli lalu. Artinya, iklan yang dilakukan Sampoerna memang berhasil dari berbagai pihak. Materinya dan upaya komunikasi persuasinya, yang mampu membangun citra. Sampoerna yang kini menapaki jalan menuju volume besar, nyatanya tak hendak mengalahkan keuntungan. Bagi Putera, keuntungan adalah nomor satu, karena itulah yang membuat karyawannya bekerja lebih baik. Bekerja berdasarkan volume cenderung untuk menjadikan keuntungan yang makin menipis. Kondisi itu yang tak diingini Putera. Ia justru menyiapkan peningkatan keuntungan sebanding dengan peningkatan volume. Sejalan dengan maksud inilah kemudian Putera Sampoerna membentuk satu barisan bak sebuah pasukan yang lengkap terdiri atas pasukan infantri sampai pasukan udara yang kuat. Putera Sampoerna benar-benar sedang dalam perbincangan membentuk suatu rangkaian keterampilan menghadapi kesempurnaan. Ahli-ahli itu harus dimiliki. Tak mesti dari kalangan dalam. Kalau mereka memang berprestasi, boleh saja diangkat. Tetapi kalau tidak, Putera merasa perlu menempatkan orang-orang profesional di beberapa tempat penting. Ia menempatkan Dr. Daniel Wo sebagai tenaga Penelitian dan Pengembangan Produk. Juga Richard S. ahli tembakau dari BAT yang kini memperkuat barisan ahli di Sampoerna. Masih ada lagi beberapa tenaga asing lainnya yang digunakan sebagai konsultan. Sedangkan tenga-tenaga ahli profesional lain yang kini mengendalikan perusahaan sehari-harinya adalah tenaga-tenaga profesional yang didatangkan dari luar lingkungan Sampoerna. Hendra Prasetya yang kini memegang jabatan General manager adalah sama sekali orang luar, bukan kerabat Sampoerna. Ia bertugas sebagai pemegang komando administrasi. Dalam kondisi seperti itu, kekhawatiran selalu ada. Yaitu kekhawatiran orang-orang lama yang merasa apakah dirinya akan tetap digunakan. Putera menyadari benar situasi ini, dan ia sudah siap. Kondisi itu dinilainya sebagai kesempatan untuk menjadi organisasi yang khas. Ia memberi contoh bahwa seorang kepala administrasi dan keuangan pada suatu perusahaan yang membawahi kurang lebih 20 orang karyawan, akan punya wawasan berbeda bila dibandingkan dengan kepala personalia yang membawahi ratusan karyawan. Perbedaan wawasan seperti itulah yang diharap timbul dari seluruh stafnya. Karena hal itu akan membantu dalam menghadapi transisi yang bakal terjadi nanti. Bagi Putera, semua sudah diperhitungkan secara matang. Karena itu ia tak khawatir melepas tanggung jawab pada orang-orang kepercayaannya. Dengan mudah ia mengawasi perusahaan dari Los Angeles, tempat tinggalnya, sampai memimpin perusahaan komputernya. Putera juga menandaskan bahwa bisnis komputernya tidak dinomorsatukannya. "Semua mendapatkan perhatian yang sama. Perusahaan-perusahaan itu tidak saling berkompetisi," jelasnya. Begitu pula dengan bisnis pribadinya, suatu proyek permukiman di dekat Pandaan, Jawa Timur yang diberi nama Taman Dayu. Ini juga bukan merupakan proyek saingan bagi Sampoerna meski merupakan usaha di luar Kelompok Sampoerna. Putera Sampoerna, kini memegang kendali perusahaan rokok kretek yang sudah berdiri 75 tahun. Berbagai rancangan menuju kesempurnaan sudah dan sedang dilakukan. Promosi pun dilakukan secara terkendali dan memperhatikan berbagai aspek yang menunjang citra. Semua dilakukan pada jalur kebijakan mendukung upaya Anggarda Paramita. Menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan musik tak dipilihnya sebagai upaya (below the line). Sampoerna memilih untuk mensponsori tim pendaki gunung dari Bandung, Wanandri, untuk merambati puncak-puncak Himalaya. Ekspedisi yang pertama memang tak berhasil, akan tetapi dengan berbagai penyempurnaan kemudian, ekspedisi tersebut berhasil mencapai puncak Pumori, pengunungan Himalaya. Bendera Wanandri dan Sampoerna ditancapkan di sana. Bukankah ini lambang dari Anggarda Paramita? Bahwa dengan penyempurnaan tim pendaki tersebut berhasil mencapai cita. Dari kampung Dapuan Surabaya penyempurnaan dilakukan, sampai kini berada di Kawasan Industri Rungkut. Sampoerna telah memberi kepuasan menikmati rokok kretek dengan cita rasa tinggi. Tradisi kesempurnaan itu sudah dilakukan, dan tetap dijalankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus