BIASANYA, pohon ditanam untuk mempertahankan air di dalam tanah. Lain di Padang Arafah, air malah disuntikkan ke dalam tanah untuk mempertahankan pohon. Di negeri gurun yang setiap saat berembus angin samum itu, kini air sudah bukan lagi perkara pelik setelah mereka sukses dengan proyek penyulingan air laut, di Jeddah. Berkah air ini membawa kota pelabuhan itu sekarang tampak hijau. Bahkan Arafah pun hijau, meski suhu seperti pada musim haji barusan masih berkisar 55 C. Dan itu cukup untuk mengeringkan sapu tangan basah dalam tempo dua menit. Karena itu, jemaah selalu diingatkan agar banyak minum. Juga untuk saling menjaga seandainya ada yang tertidur di tenda: jangan dibiarkan lena lebih dari satu jam. Akibatnya fatal, karena air di dalam tubuhnya bisa menguap, habis tanpa terasa. Tapi syukurlah, di Arafah air melimpah. Bukan hanya sebagai pelipur hawa yang terik, bahkan juga untuk mengairi pepohonan yang kini mulai rindang. Sudah dalam tiga tahun terakhir ini padang pasir yang dilingkari bukit berbentuk belanga itu -- tempat berkumpul sekitar tiga juta manusia di musim haji --ditanami pohon pelindung. Pohon itu memang bukan ajaib seperti dalam cerita 1001 malam, melainkan pohon sejenis Akasia, yang banyak hidup di Indonesia. Tiap pohon tumbuh dalam sebuah lubang plastik berisi tanah yang didatangkan dari Thaif -- ratusan kilometer dari Arafah. Biaya perawatan tiap pohon yang di Arafah itu, sehari-hari, hampir sama dengan biaya hidup per hari seorang mukimin di Mekah: 50 rial. Atau sekitar Rp 25 ribu/hari. Mahal-murahnya biaya penghijauan tersebut agaknya tak jadi soal benar bagi Arab Saudi. Apalagi Arafah merupakan monumen asal-usul manusia, setelah Adam dan Hawa berjumpa kembali di sini. Dan di Arafah ini pula hajinya seseorang. Alhajju-arafatun. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini