Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketika tahun wawu memasuki jawa

Peringatan 1 muharam 1409 hijri atau 1 suro 1921 wawu diperingati puro mangkunegaran, solo, keraton yogya & petilasan raja jayabaya. peringatan itu dianggap keramat, menyimpan kekuatan magis.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OLEH sebagian orang Jawa, 1 Suro itu tak cuma pergantian tahun. Tanggal itu bahkan mereka percayai "keramat" menyimpan kekuatan magis dan mempengaruhi keberuntungan. Tahun ini 1 Suro jatuh pada 14 Agustus -- tepat dengan tahun baru Islam, 1 Muharam 1409 Hijri. Dalam perhitungan kalender yang diciptakan tahun 1633 oleh Sultan Agung Hanyokrokesumo, tahun Jawa dimulai pada 78 Masehi, bertepatan dengan tahun 1 Saka. Sultan Agung (memerintah Mataram pada 1613-1645) membedakan sistem penanggalan kedua kalender ini. Tahun Saka disebutnya produk India dan menganut sistem solar, peredaran matahari mengitari bumi. Sedangkan Tahun Jawa menganut sistem lunar, peredaran bulan mengikuti bumi. Kini Jawa memasuki tahun Wawu atau 1921 setelah meninggalkan tahun Be, 1920. Malam sebelum 1 Suro disebut detik Tanggap Warsa -- mohon berkah. Ada yang nyepi di kuburan raja Jawa masa lalu. Atau ada yang bersemadi di tempat yang dianggap keramat. Ada yang cuma melek semalam suntuk. Lingkungan keraton sibuk menjamasi atau memandikan pusaka dengan japa-mantra, kemenyan, dan air kembang setaman. Bahkan ada kerabat Keraton Yogya menyambangi Parangtritis: minta berkah pada Nyai Roro Kidul, yang disebut Ratu Pantai Selatan itu. Puro Mangkunegaran, Solo, Kasunanan Surakarta, dan Keraton Yogya dibanjiri pengunjung. Para bangsawan dan abdi dalem mengarak pusaka keraton, kirab ke segenap kota. Bersama mereka ikut tujuh kebo bule (kerbau berbulu putih) yang dipuja. Para warga menyusur di belakangnya. Bila Kyai Slamet (nama kerbau itu) membuang kotorannya, ada yang berebut mengambil atau membungkusnya dengan kain putih, dibawa pulang. "Saya ngalap berkah," kata Samijo, 67 tahun, petani asal Desa Juwiring, Klaten. Ia berharap "tuah" dari ampas kerbau bule itu. Mengarak pusaka, konon, dilambangkan sebagai sebuah aktivitas pertanian. "Kerbau Kyai Slamet dan tombak pusaka gambaran unsur-unsur pertanian," kata Kanjeng Raden Tumenggung Harjonegoro, ahli budaya Jawa dan pusaka dari Mangkunegaran. Upacara Suro di Jawa Timur lain lagi. Di Desa Menang, 15 kilometer dari Kediri, tak kurang dari 3.000 warga setempat dan dari daerah tetangga berziarah ke petilasan Raja Jayabaya, yang konon dimakamkan di sana. "Sekalipun itu tempat keramat atau kuburan, yang mereka lakukan adalah berdoa pada Tuhan Yang Maha Esa," kata Karkono K. Partokusumo, pimpinan Yayasan Javanologi Panunggalan Yogya. Sedangkan bagi K.G.P.A. Mangkoenagoro, upacara 1 Suro itu simbol perjuangan, mencari keselarasan antara kehidupan dan alam semesta. Priyono B. Sumbogo dan Kastoyo Ramelan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus