LENGGAK-lenggok sepuluh wanita memasuki arena itu bak hendak menjalankan upacara adat, seronok dipandang-pandang. Apakala di kepala mereka bertengger seikat padi berhias -- perlambang Dewi Sri -- dan seperangkat buah-buahan, itu memang syarat sesaji. Pakaian mereka mewakili pelbagai corak dari banyak daerah, rancak kepyar-kepyar, seperti menuju ke pesta. Di belakang mereka menyusul enam lelaki. berkuda kepang plus sepikulan hasil panen. Itulah Pesta Desa, ramuan aneka ari rakyat Nusantara yang diolah si penatanya, Bagong Kussudiardjo. Suasana sukacita pada saat panen diutarakan Bagong dalam tata gerak yang di, campur unsur olah raga pencak silat. "Dasar tari ini kerakyatan dan religius," katanya. "Tari ini menjadi andalan saya dalam lawatan ke Korea Selatan sekarang." Bagong, dengan rombongannya, bakal menjadi tamu penting dalam pesta olah raga Olimpiade di Seoul pada September sebentar lagi. Dalam pembukaan pesta olah raga akbar itu, ia diminta menyuguhkan satu nomor ciptaannya. Sebelum Olimpiade dimulai, ia bersama rombongan sudah pula kerja keras, lantaran mewakili Indonesia pada acara Festival Tari Rakyat yang berlangsung di tiga kota (Chonju, Inchon, Kwangju) empat api Olimpiade diinapkan. Festival yang diikuti 12 negara ini diselenggarakan oleh Council International des Organization de Festival de Folklore Etd Arts Traditionalle CIOFF). Di luar itu, Bagong dan kawan-kawan masih berkewajiban menyuguhkan tari hiburan di perkampungan atlet dan tarian untuk sebuah jamuan makan malam. Pesta Desa awalnya hasil kreasi Bagong pada 1960-an. Lalu direvisi beberapa kali. Ketika pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir dari Malaysia di Yogya, tari ini disuguhkan di hadapan kedua pembesar itu sewaktu berkunjung ke Padepokan Tari Bagong Kussudiardjo di Desa Kasihan, Bantul, Juni lalu. Tari tersebut satu dari 25 nomor yang disiapkan Bagong untuk ditampilkan di korea Selatan. Karya selebihnya -- dan bukan semua kreasi baru -- di antaranya adalah Kebyar, Gema Nusantara, Jemparing, Srimpi, Satria Tangguh, Roro Ngigel, dan Tari Tombak. Misalnya, Gema Nusantara sudah dipentaskan dalam Festival Film Indonesia 1984 di Yogya. "Tetapi kami sudah memberinya darah baru, sesuai dengan kondisi dan situasi," kata Bagong. Revisi itu meliputi penyesuaian dengan waktu yang disediakan panitia festival (20 menit untuk tiap nomor), bentuk dan ukuran panggungnya, dan jenis khalayak penonton. Maka, ada pembaruan kostum penari dan tata gerak. Ini disebut penting, apalagi kalau diingat bahwa dalam perjalanan pulang dari Korea Selatan, Bagong dan rombongan akan merayap pula ke Jepang, Hong Kong, dan Singapura. Presiden Soeharto, melalui Bob Hasan Ketua Bidang Luar Negeri KONI Pusat, memilih Bagong dikirim ke Korea Selatan. Ini merupakan jawaban atas permintaan Komite Olimpiade Seoul, yang berharap agar Indonesia tidak cuma hadir dengan atletnya. Juga maunya dilengkapi rombongan tari. Maret lalu Bagong dipanggil Bob Hasan ke Jakarta membicarakan undangan tersebut. Bagi Bagong, 60 tahun, yang sering memboyong rombongan tarinya ke mancanegara, keberangkatan kali ini terasa istimewa. "Ini merupakan tugas negara," ujarnya. Selama enam bulan mempersiapkan diri termasuk membuat tata busana bagi penari-penarinya plus menyediakan uang harian untuk latihan per orang Rp 2.000, dana yang sudah dihabiskan Rp 30 juta. Dan biaya selama perlawatan diperkirakan Rp 150 juta. "Itu merupakan perkaraan biaya minimal, termasuk uang saku tiap penari Rp 30 ribu per hari," tutur Edy Wibowo, ketua pelaksana produksi Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardjo. Semua biaya, dari persiapan sampai mudik nanti, ditanggung KONI Pusat dan bantuan Presiden. Rinciannya tak disebutkan Edy. Dengan demikian, Indonesia ke pesta Olimpiade Seoul tambah lengkap. Di luar para atlet yang akan dijajal kepejalan otot-ototnya "duta budaya" yang ke sana bukan hanya Bagong dan rombongan. Komite Olimpiade -- melalui panitia khusus yang paham seni rupa -- bahkan jauh sebelum Baon sudah meminjam sebuah lukisan karya Affandi. Mereka juga mengundang pematung Sidharta dan R.M Suarsono, lalu meminta keduanya membuat duplikat karya masing-masing yang sudah ada. Kedua repro itu, Tumbuh dan Berkembang (Sidharta) dan Lingkaran (Arsono). Patung-patung itu -- bagian dari The Olympiad of Art -- jadi penghuni tetap Taman Olimpik, sebagai kenangan Olimpiade XXIV di ibu kota Korea Selatan itu (TEMPO, 2 Juli 1988). Dan berbeda dengan Bagong, kedua pematung itu memperoleh jatah dana dan panitia pengundang. Dan mereka berangkat ke Seoul tanpa banyak upacara. Sebaliknya dengan Bagong dan rombongannya. Sebelum meninggalkan tanah air, mereka perlu melakukan rentetan pamitan. Rombongan 17 penari dan 10 orang penabuh karawitan ini bukan dipimpin Bagong, tapi oleh Dr. Yudho Wibowo Poerwowidagdo, M.A., yang sehari-hari rektor Universitas Duta Wacana, Yogya. Sejak 1979, setiap jajaran penari Bagong melanglang buana, kata Edy, "pimpinan rombongannya selalu Pak Yudho." Dan sebelum berangkat seperti pada 2 September itu, mereka main dulu di atas pentas terbatas di Hotel Said Jakarta. Tiga hari kemudian tampil di Taman Ismail Marzuki. Disusul esoknya, sebagai gong, pamit pada Sri Sultan Hamengku Buwono, Menteri Penerangan, serta Menteri P dan K. Misi yang api semangatnya dari Desa Kasihan, 15 km dari Kota Yogya ini, seperti memikul beban tambahan lagi. Mohamad Cholid dan I Made Suarjana (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini