BULAN Mei lalu, menjelang Lebaran, Thamrin disayembarakan. Selebaran terbatas berupa stensilan diedarkan di kalangan petugas taman nasional di Ujungkulon. Sudarmadji, Kepala Taman Nasional Ujungkulon, yang menandatangani pengumuman itu, menjanjikan setengah juta rupiah buat pembekuk Thamrin. "Saya ingin tahu bagaimana reaksinya," ucap Sudarmadji, menjelaskan iming-iming yang menggiurkan itu. Dia pun mau tahu sikap anak buahnya yang lain -- teman-teman sekerja Thamrin. Bagi petugas Taman Nasional yang bergaji Rp 30 ribu sampai Rp 100 ribu, jumlah hadiah itu cukup jelita. Tapi, seperti yang telah diduga, sayembara itu berlalu bagai angin kosong. Thamrin adalah nama yang menakutkan. Pembantaian Kohar, contohnya. Semua percaya Thamrinlah di balik peristiwa itu, kendati pengadilan hanya menganggap Thamrin pagar makan tanaman: mencuri lobster yang seharusnya dia jaga. Nama-nama jawara yang ada di seputar Thamrin juga membuat keder. Sekeluarnya dari penjara, Thamrin makin menjadi-jadi menjarah. Ia merajalela. Para sejawatnya, yang giliran patroli, ramai-ramai tutup mata, pura-pura tidak tahu. Jangankan menangkap, menegur pun tak berani. Sayembara itu membuat Thamrin makin jemawa. "Siapa yang dapat menangkap Thamrin, saya beri hadiah Rp 750 ribu," tantang Thamrin sendiri. Dia sudah terang-terang memperkosa kawasan daerah lindung itu. Untunglah, tantangan itu tak berkepanjmgan. Kurang beberapa hari Lebaran, sepasukan polisi (dan petugas taman nasional) akhirnya berhasil menjawab tantangan itu. Thamrin dan 12 orang kawannya dapat dibekuk, ketika sedang asyik mencuri. Untuk sesaat Ujungkulon tenang kembali. Istana terakhir di dunia bagi badak bercula satu itu damai lagi. Penyu kembali leluasa mendarat dan membenamkan telurnya di pasir banteng merumput dan berjemur kala pagi merak memekik dan memamerkan bulu burung rangkong mengepakkan sayap di atas tajuk pepohonan bagai pesawat terbang rusa-rusa berlari lincah melompati semak: sedang macan tutul, buaya, pelanduk, juga kera dan biawak Pulau Peucang santai menunggu makan tangan dari para turis. Tapi untuk berapa lama? Ujungkulon sejak dahulu selalu dalam ancaman bahaya. F.W. Junghuhn -- orang pertama yang mempromosikan Ujungkulon sehingga kemudian dijadikan cagar alam -- mencatat apa yang terjadi pada malam 15 Mei 1846 dulu. Dalam buku Bianglala Sastra karya Rob Nieuwenhuys (ditulis kembali oleh Dick Hartoko) ia memberikan kesaksian: 'Dalam sekejap mata mereka mengelilingi penyu itu dan menerkamnya dengan buas. Menurut perkiraan kami, jumlah anjing itu sekurang-kurangnya tiga puluh ekor. Mangsanya mereka sergap pada kepala, leher, kaki yang berbentuk sirip, pada ekornya dan paha pantatnya, mereka menarik menyobek-nyobek bagian dari badannya, memutarnya kian-kemari. Suara merela yang berdengus-dengus dan terputus-putus itu terdengar sebagai batuk-batuk dan mengungkapkan nafsu mereka untuk mengganyang mangsanya dan minum darahnya. Rupanya, mereka sedang mabuk atau gila, sehingga mereka sama sekali tidak melihat buaya itu yang mendekati mereka dengan langkah-langkah halus dan ringan sekali, diam-diam, seperti seekor cecak yang pada dinding sebuah bilik menangkap lalat, merangkak pada perutnya, makin lama makin dekat dan, akhirnya, bagaikan anak panah meluncur ke depan dan menghancurkan dua atau tiga ekor anjing.yang sedang menyalak itu dengan rahangnya.... 'Lalu anjing-anjing liar itu berlarian, buaya pergi membawa santapannya, anjing itu kembali datang, harimau raja menerkam, anjing berlarian lagi, harimau membelah kulit penyu, macan tutul datang, harimau mendengus marah, dan glarrrr . . . senapan Junghuhn pun menikam malam'. Lukisan kesaksian tersebut setiap saat dapat terjadi lagi. Sebuah ironi, karena justru kawasan yang eksotik itu telah memancing manusia jadi buas. Bayangkan 7 ribu hektar kehijauan pepohonan dalam pagutan debur ombak. Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, Pulau Panaitan, dan daerah Pulau Krakatau, salah satu dari sepuluh taman nasional Indonesia itu, senantiasa diintai bahaya. Sudarmadji jadi prihatin. Bajingan macam Thamrin setiap saat dapat merampas kelestarian demi lobster. Kapal bisa lalu lalang mengangkuti batu apung dari pulau terpencil, seperti Pulau Sertung. Para pengait akan mengakhiri hidup penyu, maling-maling bangsat akan merampas rumah walet, Setiap orang bersenapan adalah ancaman buat cula badak yang memang tinggi harganya. Sementara itu, sarana dan dana untuk mempertahankan dan melawan semua ancaman itu, konon, terbatas. Saat ini tersedia tiga perahu besar yang memungkinkan petugas menjelajahi kawasan Selat Sunda itu, sekaligus berkejaran dengan para pencuri. Namanya: KM Badak, KM Krakatau, dan KM Taman Jaya. Sayangnya, Badak dan Krakatau selalu saja bergantian sakit: praktis hanya dua yang siap pakai. Tapi lantaran keterbatasan lainnya -- anggaran dan tenaga tak semuanya siap melaut setiap saat. "Sering kami kerepotan mengejar pencuri-pencuri," kata Sudarmadji terus terang. Dalam satu kesempatan patroli, para petugas menangkap basah tiga buah kapal yang tengah memunggah batu apung di sekitar gugus Pulau Krakatau, tanpa izin. "Ketika kami dekati, ketiga kapal itu lari ke arah yang berlawanan. Kami bingung. Akhirnya saya putuskan untuk mengejar salah satu. Setelah yang satu tertangkap, baru mengejar yang lainnya sampai ketiganya tertangkap. "Masalahnya kemudian, kami kerepotan bagaimana membawa awak-awak kapal itu ke darat. Menyuruh kapalnya menuju Labuhan sendiri sama halnya menyuruh mereka lari. Menyuruh mereka semua naik kapal kami, jelas tak muat. Kalau saya tempatkan anak buah saya di kapal mereka masing-masing, sama halnya bunuh diri. Kami sama sekali tak bersenjata. Kalau mereka mengikat tubuh petugas kami dan menceburkannya ke laut, 'kan habis sudah." Akhirnya Sudarmadji memutuskan, dua oraly pimpinan dari setiap kapal pencuri itu harus naik ke kapal patrolinya. Salah satu bagian mesin kapal milik maling-maling itu dicabut, sehingga mereka tetap terkatung-katung di tengah laut. Lalu Sudarmadji ke darat, melapor kepada polisi, dan minta tolong menarik kapal itu ke darat, untuk barang bukti. Mengatur jadwal patroli kapal pun rumit. "Bayangkan, hanya ada uang Rp 1,5 juta setahun untuk setiap kapal." Berarti per bulan hanya ada biaya Rp 125 ribu. Padahal, setiap kapal keluar, paling tidak memerlukan 300 liter solar agar bisa keliling. Artinya, baru buat bahan bakarnya saja telah menghabiskan uang Rp 44 ribu. Belum untuk minyak pelumas dan suku cadang ringan. "Itu 'kan sama halnya dalam setiap bulan hanya bisa berpatroli tiga hari. Lalu hari-hari lainnya bagaimana?" Memang ada perahu-perahu dengan motor kecil tapi jumlahnya tak memadai. Dengan jumlah bahan bakar sudah dicatu, setiap motor tempel itu idealnya hanya bisa keluar lima kali dalam sebulan. Namun, dengan akal-akalan mesin, kemampuan hari patroli itu memang bisa ditingkatkan sampai dengan lima belas kali patroli. Susahnya, para maling sialan tahu persis keadaan instansi tersebut. Taman Nasional Ujungkulon kini menampung 121 orang karyawan. Sebagian di antaranya masih honorer. Seperempat dari jumlah itu bekerja di kantor, di Labuhan. Lainnya disebar pada lima seksi wilayah dan 13 pos jaga. Sepintas jumlah itu terasa banyak, tapi apa kata Sudarmadji: "Idealnya, pada setiap pos jaga ada tujuh petugas," kata Sudarmadji. Sebab, mereka harus bergiliran, sehingga setidaknya ada lima orang yang sedang bertugas (dua yang lain beristirahat pulang). Dari lima orang ini, tiga orang yang harus berpatroli di hutan (kalau hanya dua orang, dan salah seorang sakit mendadak akan sangat repot: meninggalkan kawannya di hutan sendirian salah, membawa pulang ke pos pun tak kuat). Seorang harus selalu berada di pos jaga, dan yang seorang lagi bisa mondar-mandir melayani keperluan pos jaga. Sekarang, jumlah ideal ini pun belum terpenuhi. Sebenarnya, jumlah tak jadi soal, kalau semuanya segagah Kohar. Tapi ternyata tak banyak orang mampu memenangkan kewajiban dari rasa takut. "Iya, memang," kata seorang petugas muda memberikan pengakuan terus terang. Banyak staf setempat yang lebih suka pindah ke daerah lain yang lebih tenang, daripada menghadapi menghadapi keganasan Thamrin dengan tangan kosong. Pistol, yang dahulu menjadi pegangan bertugas, entah mengapa ditarik oleh pihak keamanan, justru setelah Kohar ditembak. Padahal, mereka tahu, di Banten -- di daerah yang mengelilingi kawasan Ujungkulon -- senapan locok bikinan sendiri menyebar pada banyak rumah penduduk di setiap desa. Kecilnya nyali tampaknya berkait dengan kehidupan sehari-hari. Para petugas tinggal di daerah terpencil, bergaji pegawai negeri, tapi tak memungkinkan mencari penghasilan tambahan dengan cara, misalnya, berkebun. Tiga minggu mereka -- yang bertugas di pulau-pulau -- harus tinggal terpisah dengan keluarga. Seminggu kemudian mereka pulang, ke kota, mengambil gaji, mencari hiburan, membeli perbekalan dengan biaya transpor yang sangat mahal. Bagi Heri Khusaeri, 30 tahun, misalnya, hidup sebagai petugas taman nasional terasa lumayan. Mengepalai subseksi Pulau Panaitan, dia mengaku bergaji Rp 78 ribu sebulan plus uang transpor Rp 20 ribu. Tapi bayangkan mereka yang masih honorer dan mendapat Rp 30 ribu per bulan. Ada tambahan penghasilan memang. Setiap kali mengantar wisatawan lasak ke hutan mereka mendapat tambahan Rp 5.000 sehari. Tapi turis 'kan tak, selalu ada. Seorang petugas honorer yang muda mengaku, rata-rata tiga kali menjadi pemandu wisata dalam sebulan. Ketenangan selalu terusik kembali dengan kedatangan pencuri. "Taruhan kami ini nyawa?' kata Heri dengan bersemangat. Sudarmadji, sendiri, misalnya, pernah didatangi orang yang dikenal masyarakat sebagai jawara. Orang itu minta agar saudaranya, yang ditahan karena kasus pencurian, dibebaskan. "Kalau tidak. ingat akhirat, saya bisa menggorok leher orang sehari," begitu ancamannya. Suwignyo, salah seorang petugas, pern berhadapan dengan kawanan jawara. Waktu itu dia hendak menjebak penjual cula yang telah menembak mati badak di daerah Cikeusik Hulu. Lebih dari 24 jam dia berdiplomasi sendirian dalam kamar tertutup dengan para jawara itu. Dia harus berpura-pura jadi "bos" yang hendak membeli cula. Suwignyo berhasil lolos dari kecurigaan, walaupun golok bergeletakan di samping para jawara itu siap menebas setiap saat. Yang paling sulit teratasi adalah pencuna sarang burung walet. "Kalau kami jelas tidak mampu. Hanya ABRI saya kira yang bisa menjaganya," kata Sudiono, kepala subseksi di Taman Jaya. Masalahnya kembali menyangkut soal senjata. Juga kekuatan aparat setempat. Sedang para penjarah alam itu kadang nekat. Pos jaga di daerah Ciakar pemah mereka bakar habis. Buat Sudarmadji, yang terpenting adalah mengubah sikap anak buahnya. Selama ini mereka lebih banyak menunggu. "Mereka menunggu adanya informasi....'Oh, ada pencurian di sana' . . . baru ramai-ramai bergerak." Seharusnya -- kalau ditunjang sarana -- mereka lebih sering berpatroli. Dengan begitu para pencuri enggan datang. "Tapi mengapa pistol kami belum juga dikembalikan?" tanya Sudarmadji. Kini ombak masih terus membasah bibir pantai Ujungkulon yang terancam. Badak pun masih kelihatan berkubang dengan nikmatnya. Sementara itu, burung pecuk ular melintas memamerkan kejenjangan lehernya. Keindahan masih terlukis di rumpun paku masih tampak lumut membatik kulit kayu dan batang pepohonan yang tua pun tumbang dengan wajar, lalu pelan-pelan melapuk menyatu dengan tanah. Masih hijau dan buas, mengagumkan seperti yang pernah dipuji oleh Junghuhn. Tapi masih akan bertahan berapa lama lagi, dalam kepungan keserakahan manusia? Budiono Darsono dan Z.U.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini