Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telepon mengejar masa depan

Indonesia masih jauh ketinggalan dalam mengembangkan sambungan telepon. at & t and philips telecommu nications mencoba memperoleh order pemerintah dengan memperkenalkan sistem 5ess-prx.(pwr)

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGGAL 22 November 1963 merupakan hari hitam dalam sejarah Amerika Serikat. Presiden John Fitzgerald Kennedy tewas ditembak. Hari itu ternyata juga merupakan hari terburuk dalam sejarah telekomunikasi Amerika Serikat. Seluruh jaringan telepon dipenuhi beban pembicaraan dari banyak orang Amerika yang ingin tahu lebih banyak tentang kematian presidennya. Sentral-sentral penyambungan telepon kalang kabut melayani lalu lintas penyambungan yang mendadak berlipat ganda. Bahkan banyak sambungan yang tak berhasil diselenggarakan karena jalur yang tersedia tak mampu lagi menampung tambahan beban. Mengapa hal itu terjadi? Karena berita tertembaknya Kennedy pertama kali terdengar melalui radio. Orang kurang merasa yakin karena tak melihat sendiri. Budaya komunikasi yang telah merasuk dalam masyarakat itu juga menyebabkan mereka terus-menerus mencari berita dan mengkonfirmasikannya. "Itu berbeda dengan situasi yang baru terjadi, yaitu meledaknya pesawat ulangalik ruang angkasa Challenger," kata Doris Whitfield di pusat jaringan telepon AT&T di Bedsminster, New Jersey, Amerika Serikat. "Meledaknya Challenger disiarkan melalui televisi dan semua orang melihatnya dengan jelas. Karenanya, kecelakaan besar itu tidak mendampak pada melonjaknya permintaan sambungan telepon". Dengan 167 juta pesawat telepon di seluruh Amerika Serikat (71 telepon untuk tiap 100 orang), Amerika adalah negara dengan populasi telepon tertinggi di dunia. Sedangkan menurut jumlah pesawat telepon per kapita, Swedia-lah yang tertinggi dengan 83 pesawat telepon untuk tiap 100 orang (World Statistics, UN 1986). Kemajuan yang dicapai di bidang telekomunikasi di Amerika Serikat sudah mencapai tingkat yang membuat semua orang iri dan takjub. Sebuah komputer di pusat riset AT&T Bell Laboratories di Murray Hill, New Jersey, memantau secara tepat setiap tambahan satuan sambungan di Amerika Serikat. Pada suatu pagi, bahkan sebelum pukul sembilan, angka tambahan itu melaju lebih dari sepuluh angka setiap menit. Sebuah keadaan yang mungkin tak terpikirkan ketika Alexander Graham Bell menemukan prinsip telepon 110 tahun yang lalu. Terlalu jauh untuk membandingkannya dengan keadaan di negara kita. Tanpa menjadi sinis pun kita sudah harus menghadapi kenyataan pahit itu. Memesan satuan sambungan telepon, tak sedikit yang menunggu hingga dua tahun, hanya untuk memperoleh jawaban TTM (Teknis Tidak Memungkinkan). Di beberapa daerah tertentu di Jakarta, kantor-kantor sulit dihubungi dengan telepon yang sudah menjadi hotline karena terus-menerus dipakai. Bagaimana mungkin bisnis berkembang bila hanya didukung dengan satu sambungan telepon? Lalu lintas macet. Telekomunikasi macet. Dua hal utama yang membuat situasi bisnis menjadi agak primitif. Daerah Kuningan di Jakarta yang sedang dikembangkan menjadi pusat bisnis pun merupakan katastrofi berat karena kelangkaan telepon. Orang memperebutkan sambungan telepon at all cost. Bahkan ada yang urung pindah ke Kuningan karena tak berhasil mendapat sambungan telepon. Sebuah bank besar harus beroperasi tanpa telepon selama sebulan lebih. Dapat dibayangkan berapa banyak transaksi yang hilang. Belum terhitung nasabah yang kecewa dan lantas mencabut rekeningnya di bank itu. Pemerintah, untungnya, cukup tanggap untuk mengatasi masalah Kuningan. Bulan Februari 1985 Philips langsung dikontrak untuk membuat jaringan dengan 3.000 satuan sambungan. Jaringan ini diselesaikan Philips dalam waktu empat bulan. PEMERINTAH memang tak menutup mata atas kenyataan ini. Apa yang sekarang telah dicapai di bidang jasa pos dan telekomunikasi pun sudah merupakan pertumbuhan yang cukup berarti dibanding keadaan sebelumnya. Dulu kita harus antri di kantor telepon pada malam hari untuk memperoleh hubungan interlokal. Itu pun harus dilakukan dengan urat leher yang tegang karena berteriak teriak. Sekarang kita bisa melakukan hubungan interlokal kapan saja, dari rumah atau dari kantor, bahkan tanpa melalui bantuan operator di kantor telepon. Hubungan ke luar negeri pun tersambung langsung dari pesawat telepon di rumah. Perkembangan komputer yang makin lama makin terintegrasi dengan telekomunikasi telah pula dapat dinikmati bangsa kita. Kita bisa melanggani SKDP (Sistem Komunikasi Data Paket), kita bisa mengirim facsimile, kita bisa melakukan telekonferensi, dan lain-lain. Lalu, apa yang kurang? Ya, satuan sambungannya itu. Indonesia saat ini mempunyai 700.000 satuan sambungan telepon. Dibanding dengan jumlah penduduknya, kita hanya mempunyai 0,4 pesawat telepon untuk tiap 100 orang. Artinya, posisi jurukunci di ASEAN. Singapura mempunyai 35 telepon per 100 orang. Malaysia mempunyai 6 telepon per 100 orang. Thailand mempunyai 1,2 telepon per 100 orang. Papua Nugini saja lebih baik keadaannya daripada kita. Beberapa daerah dalam peta Indonesia masih merupakan terraincognita bagi telekomunikasi. Bersama Pakistan, India dan Srilangka, Indonesia termasuk yang terkebelakang di bidang ini. Padahal jumlah 700.000 satuan sambungan yang kini tersedia itu sudah merupakan empat kali lipat dari keadaan pada awal Repelita I. Jumlah 700.000 sambungan telepon yang tersebar di seluruh Indonesia itu (separuhnya terdapat di Jakarta) hampir sama dengan jumlah satuan sambungan di kota Amsterdam saja. Dengan jumlah penduduk 750.000, Amsterdam mempunyai hampir 600.000 satuan sambungan. Tak heran bila Pemerintah mempunyai target yang cukup tinggi untuk mengejar ketertinggalan itu. "Rencana yang ada pada saat ini adalah penambahan 750.000 satuan sambungan selama Repelita IV," kata Ir. Sukarno Abdulrachman, Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Dari sebuah sumber lain diperoleh juga keterangan akan adanya keterlambatan pemenuhan 192.000 sambungan pesawat telepon selama Repelita III yang lalu. UNTUK mengejar ketertinggalan dan memenuhi volume yang direncanakan itu, Pemerintah mau tak mau harus tiba juga pada pikiran untuk tidak hanya bergantung pada satu rekanan saja. Pemerintah sendiri sudah menetapkan pemakaian teknologi digital untuk telekomunikasi di Indonesia. Sejak 1982 hanya PT INTI yang bekerja sama dengan Siemens-lah yang melakukan pekerjaan atas unjukan Pemerintah untuk membangun sentral telepon otomat dengan teknologi digital. Presiden Soeharto sendiri ketika menerima Dr. W Dekker, Presiden Philips International, belum lama ini di Jakarta mengatakan bahwa sudah tiba saatnya bagi Indonesia untuk lebih memberikan perhatian pada pembangunan sarana telekomunikasi. Presiden ketika itu juga menyatakan telah menunjuk satu tim untuk merumuskan dan memilih teknologi telekomunikasi yang paling tepat bagi Indonesia. Ir. Sukarno Abdulrachman ketika ditanya tentang hal ini mengatakan bahwa keputusan tentang siapa yang akan diberi kepercayaan sebagai rekanan kedua sistem telepon digital itu belum lagi ditetapkan. "Rumusan-rumusannya memang telah kami garap," katanya. "Rekanan kedua memang merupakan jawaban untuk menyegerakan pemecahan masalah yang dihadapi." Pemikiran sementara yang kini tengah dimatangkan itu adalah bahwa rekanan pertama akan terus menggarap sistem telepon digital di Pulau Jawa, sedangkan rekanan kedua akan menggarap yang di luar Jawa. Dalam rencana penambahan satuan sambungan telepon itu, Pemerintah menetapkan jumlah tambahan yang besar di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Ini memang teori pemerataan agar seluruh daerah Indonesia menikmati bagian yang adil dari hasil pembangunan. Artinya, situasi 5 telepon untuk tiap 100 orang di Jakarta belum akan terlalu cepat dilipatgandakan. Dari segi investasi, keputusan untuk melaksanakan investasi penambahan satuan sambungan telepon di daerah-daerah yang jauh merupakan keputusan yang mahal. Membangun jaringan di daerah-daerah terpencil itu jelas lebih mahal biaya per satuan sambungannya dibandingkan dengan menyelenggarakan jaringan di wilayah yang padat. Nepostel, konsultan PTT Negeri Belanda, yang mengajukan pokok-pokok pikirannya untuk dipertimbangkan oleh Ditjen Postel, secara tegas menyebutkan perlunya menambahkan 350.000 satuan sambungan telepon per tahun untuk mengejar angka yang disasarkan bagi Repelita IV dan yang tak terselesaikan pada Repelita III. Bila itu tercapai, berarti tambahannya saja mencapai separuh dari jumlah sambungan yang kini sudah terselenggara. Itu memang bukan pekerjaan main-main. Karena itu konsultan Belanda itu menyarankan agar proyek itu ditangani secara turnkey. Turnkey adalah suatu istilah untuk menyebut pekerjaan borongan sampai beres. "Soalnya, percuma saja punya sentral telepon otomat yang punya kemampuan besar, tetapi tidak tersambungkan ke rumahrumah", kata A.L.W. Bloemendaal, perwakilan AT&T and Philips Telecommunications di Jakarta. Dengan sistem turnkey itu rekanan tidak hanya menyediakan sarana sentral telepon otomat, tetapi juga membangun jaringan secara keseluruhan. Konsultan itu juga menegaskan bahwa keputusan tentang penunjukan rekanan kedua harus segera diambil, atau akumulasi ketertinggalan akan semakin besar. F.C. Kuznik, Vice Presiden Marketing dari AT&T and Philips Telecommunications B.V., perusahaan patungan antara AT&T Amerika dan Philips Belanda, dalam makalahnya yang diajukan awal April yang lalu di Intertelec Jakarta mengatakan, pesatnya kebutuhan jasa telekomunikasi belakangan ini terutama dipacu oleh kebangkitan industri pelayanan dalam 20 tahun terakhir: fasilitas perbankan, paket perjalanan, program penyiaran, pendidikan, komputer dan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengannya. "Pertumbuhan telekomunikasi yang begitu cepat itu mendorong pengelola pos dan telekomunikasi menjadi investor sipil yang terbesar dalam teknologi tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar," katanya. Kuznik juga mengutip kesimpulan ITU yang menyatakan bahwa setiap pertambahan kepadatan telepon mempunyai hubungan kausatif terhadap peningkatan GNP. Tiap penambahan kepadatan 1 telepon untuk tiap 100 orang, GNP akan naik 3%. "Bila Indonesia dapat mempenetrasikar telepon dan membangun strukturnya di seluruh Indonesia, negara ini akan dapat memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang sustainable," katanya. Kuznik menggaris bawahi pernyataannya bahwa pembangunan struktur telekomunikasi itu dapat sepenuhnya dibiayai oleh pendapatan dari jasa telekomunikasi itu sendiri. "Kita tak perlu membebani rakyat lagi untuk keperluan ini," katanya. (Baca: "Bisnis Besar Telekomunikasi"). Ia, akhirnya, menyimpulkan: "Akan berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia bila bisnis internasional tak bisa berkomunikasi dengan lancar." Padahal, telekomunikasi tak hanya merupakan pilar untuk bisnis. Proyek-proyek telekomunikasi yang dibangun Philips di negara-negara Afrika menunjukkan bahwa telekomunikasi juga sangat instrumental dalam membangun dan mengoptimalkan hasil sektor agrikultur. MEMANG tak ada keraguan lagi akan perlunya menambah jumlah satuan sambungan telepon. Yang menjadi masalah adalah: bagaimana? AT&T and Philips Telecommunications B.V., misalnya berusaha memperoleh order Pemerintah sebagai rekanan kedua untuk melaksanakan penambahan populasi telepon yang disasarkan itu. Mereka datang dengan sistem 5ESSPRX yang sudah teruji keandalannya. (Baca: "Sistem Anti-Mati"!). Tetapi, benarkah sistem penyambungan dapat mengentas kita dari permasalahan akut kekurangan satuan sambungan itu? "Sistem penyambungan adalah komponen utama yang memungkinkan terjadinya peningkatan populasi satuan sambungan telepon," kata R.G. Gundlach di AT&T International di New Jersey. "Bagaimana mungkin peningkatan jumlah satuan sambungan telepon tercapai bila tak dipunyai kemampuan untuk menangani penyambungannya?" Apa yang dilakukan oleh suatu pusat penyambungan mungkin dapat diilustrasikan sebagai berikut. AT&T Network Systems di Amerika Serikat mempunyai 172 pusat penyambungan di seluruh Amerika Serikat untuk sambungan antar-negara bagian (interstate). Pada masing-masing pusat penyambungan dipekerjakan beberapa orang manajer penyambungan yang selalu siap di depan panil pengendali. Bila keadaan "aman", para manajer ini tampaknya seperti tak punya pekerjaan. Tetapi, bila tiba-tiba ada peningkatan permintaan sambungan telepon di suatu wilayah, maka mereka harus segera mengatasinya dengan membagi jalur dan mengatur lalu lintas penggunaan sambungan. Berita cuaca, antara lain, merupakan informasi yang selalu dimonitor oleh para manajer penyambungan. Perubahan cuaca selalu merangsang peningkatan permintaan percakapan telepon. Permintaan yang meningkat drastis di suatu wilayah bisa membebani dan memacetkan jaringan di wilayah itu bila tak segera dibagi bebannya ke pusat penyambungan di wilayah lain. Kadang-kadang, bila terlalu tinggi permintaannya, terpaksa dilakukan pemblokiran jaringan. Melalui rekaman suara, pelanggan telepon akan diberi tahu agar menunda permintaan percakapan telepon karena tingginya beban lalu lintas telepon. Di Amerika dan Belanda juga sudah dipakai Sistem dynamic routing yang secara otomatis membagi beban transmisi ke jaringan-jaringan yang ada. Gempa bumi di Mexico pada September 1985 yang lalu, misalnya, telah melibatkan 19 pusat penyambungan di Amerika Serikat untuk melayani peningkatan permintaan percakapan telepon. "Itu perlu dilakukan agar tidak membebani sistem penyambungan di Mexico yang tak dapat dihubungi," kata Doris Whitfield. Banyak lagi hal yang mempengaruhi perubahan pola permintaan percakapan telepon. Permintaan percakapan internasional, misalnya, meningkat pada malam hari karena orang hanya bayar separuh. Pada hari-hari libur permintaan percakapan telepon terbanyak terjadi di kawasan permukiman, bukan di kawasan bisnis seperti yang terjadi pada hari-hari kerja. Di Amerika Serikat, 90% pengelolaan sambungan telepon yang dilakukan oleh AT&T sudah ditangani dengan komputer, sehingga memudahkan sistem itu untuk melayani pelanggan secara maksimal. Jelaslah kemudian bahwa semakin besar jumlah satuan sambungan telepon yang harus dilayani, semakin canggih sistem penyambungan yang diperlukan untuk menanganinya. Karenanya, pilihan terhadap sistem penyambungan (switching system) merupakan langkah awal yang menentukan. Ia harus mampu digabungkan dengan sistem yang eksisten, tetapi juga harus mampu menjawab kebutuhan masa depan serta mempunyai keluwesan maksimum untuk diadaptasikan. A.L.W. Bloemendaal, representative AT&T and Philips Telecommunications di Jakarta mengatakan: "Dalam hal ini, sekalipun teknologi yang kami punyai unggul, tetapi kami tak ingin terperangkap dalam pertandingan teknologi. Yang dibutuhkan Indonesia adalah jaringan (network) dan sistem penyambungan yang tepat. Kami mempunyai keduanya. Dan kami siap melaksanakannya. " Di masa depan, kita sudah tak perlu sulit lagi untuk mengucapkan halo. Bondan Winarno BISNIS BESAR TELEKOMUNIKASI MEMANG tak terlalu mengherankan bila PT Indosat merupakan salah satu dari sedikit BUMN yang menghasilkan keuntungan dan kehidupan bisnis yang sehat. Jasa telekomunikasi merupakan sektor industri yang paling cepat mengembalikan modal yang ditanam. Telekomunikasi sudah bukan lagi wahana yang mengakibatkan beban biaya bagi penyelenggaranya. Telekomunikasi ini sudah dikembangkan menjadi cara untuk memperoleh manfaat ekonomi berupa pendapatan yang dapat membiayai investasi, pemeliharaan dan operasinya sendiri. Umumnya suatu sistem telekomunikasi dalam waktu 7-10 tahun mampu mengembalikan investasi yang ditanamkan untu membangun dan mengoperasikannya. Keadaan itu memungkinkan sektor jasa telekomunikasi mampu membiayai sendiri pengembangannya. Tentu saja ada batas minimal modal yang ditanam agar uang yang dihasilkan dapat mendukung kebutuhan pengembangan itu. Ada yang mengatakan bahwa instalasi awalnya harus mencapai 2,5 juta sambungan agar hasil operasinya dapat membiayai tambahan 25.000 satuan sambungan baru setiap tahunnya. Di Amerika Serikat perusahaan AT&T (American Telegraph & Telephone) menjadi perusahaan terbesar di dunia karena usaha di bidang telekomunikasi dengan dua tangan utama: Bell System dan Western Electric. Alvin Toffler yang pada 1972 diberi kesempatan untuk melakukan survai mendalam (hasilnya kemudian dibukukan dengan judul The Adaptive Corporation) justru mengajukan usul kontroversal, yaitu: agar monopoli Bell System di bidang jasa telepone diakhiri. Ini, menurut Toffler, justru perlu untuk mempertahankan leading edge dalam sektor jasa telekomunikasi yang lebih luas. Benar saja. Awal 1980-an AT&T mulai "digempur" oleh para pesaingnya dengan tuduhan monopoli dan bertentangan dengan Undang-Undang Anti-Trust. Pada 1982 AT&T lalu melakukan "perjanjian" dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat: AT&T melepaskan 22 perusahaan lokalnya, dan untuk itu Pemerintah Federal justru akan membuka pasar baru yang semula sudah tertutup bagi AT&T. Struktur baru itu dimanfaatkan oleh AT&T yang lalu membagi perusahaannya menjadi dua, sesuai dengan jenis pasar yang dihadapi, yaitu: AT&T Communications, dan AT&T Technologies. AT&T Communications merupakan sektor bisnis yang masih diatur oleh Pemerintah Federal (government regulated) dan melakukan usaha seperti yang dulu dilakukan sebagian oleh Bell System atau AT&T Long Lines, yaitu: hubungan interlokal antar negara bagian (interstate), maupun hubungan telepon internasional. Hubungan telepon lokal ditangani oleh perusahaan-perusahaan lokal. AT&T Communications juga mendapat pekerjaan untuk mengelola public network nasional. Sedangkan AT&T Technologies merupakan sektor bisnis yang non-regulated. Pendukung utama dari sektor ini adalah AT&T Bell Laboratories, sebuah lembaga riset dan pengembangan produk yang paling disegani di dunia. Sejak didirikan pada 1925, para penemu di laboratorium ini telah melakukan riset fundamental di bidang telekomunikasi dan manajemen informasi. Rata-rata sehari dihasilkan satu paten dari laboratorium ini dan tujuh profesornya telah menerima hadiah Nobel di bidang fisika. Hasil temuan itu sebagian besar "dipasarkan" oleh AT&T Network Systems yang merupakan supplier terbesar di dunia dalam sistem telekomunikasi. Khusus untuk pemasaran ke luar negeri, kegiatan itu dilakukan oleh satu tangan lain yang bernama AT&T Internasional. Dalam siasat pemasaran internasionalnya, AT&T melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan. Di bidang otomatisasi kantor, misalnya, AT&T bekerja sama dengan Olivetti. Di Jepang ia bekerja sama dengan Ricoh, di Spanyol dengan Telefonica, di Korea dengan Goldstar. Di bidang telekomunikasi, AT&T memilih Philips sebagai mitra bisnis mengingat pengalaman Philips dalam melayani pasar dunia. Patungan 50% AT&T dan 50% Philips ini memang agak aneh karena tak ada mayoritas. "Kami berdua kan sudah dewasa," kata F.C. Kuznik, Wakil Presiden perusahaan patungan AT&T and Philips Telecommunications B.V. "Jadi, ya pasti jalan. Tak ada persoalan. Ada tiga orang Amerika dan dua orang Belanda di pucuk pimpinan. Markas besar dan pabriknya pun di Negeri Belanda." Patungan ini cocok dengan penyiasatan Triad Power-nya Kenichi Ohmae yang mengatakan bahwa perusahaan multinasional perlu mengembangkan company-to-company relationships untuk melayani pasar dunia yang makin tinggi tuntutannya. AT&T punya nama besar di bidang teknologi telekomunikasi. Philips pun bukan muka baru di pasar dunia. Saudi Arabia, misalnya, baru saja mengontrak Philips untuk proyek turnkey skala besar di bidang telekomunikasi. Gabungan keduanya merupakan kekuatan besar yang kini memegang 26% market share dunia, hampir tiga kali lipat pesaing terdekat. Nama besar itu memang bukan sekadar untuk gagah-gagahan. Telekomunikasi adalah bisnis besar dengan investasi besar. AT&T dan Philips memberikan dukungan pendanaan dan teknologi yang tak perlu diragukan lagi. "Kami bukan cuma produsen", kata A.L.W. Bloemendaal. "Kami punya kemampuan menyelesaikan secara turnkey". SISTEM ANTI-MATI INDONESIA dengan cepat menyerap teknologi cetak ofset ketika penemuan itu baru mulai dipasarkan. Soalnya, Indonesia memang sedang membutuhkan mesin-mesin cetak, sedangkan kapasitas yang tersedia memang boleh dikata tidak ada. Karena itu dengan "mudah" Indonesia dapat mengadopsi teknologi cetak ofset karena tak ada mesin cetak lama yang harus di-PHK. Itu berbeda dengan situasi di Amerika Serikat, misalnya, yang hingga kini pun masih banyak memakai teknik cetak-tinggi untuk pencetakan buku karena tak bisa menghapus begitu saja investasi mesinnya. Lahan yang dapat ditumbuhi teknologi baru seperti itu juga terjadi di bidang telekomunikasi. Sekalipun telepon sudah ada di Indonesia sejak awal abad ke-20, tetapi jaringan yang ada masih terlalu sedikit untuk diperhitungkan ketika jaringan baru yang akan dibangun itu di rencanakan. Pilihan masa depan bagi sistem telekomunikasi Indonesia, karenanya tidaklah merupakan hal yang sulit. Sebagai anggota ITU (International Telecommunications Union) yang sedang berusaha memadukan sistem ISDN (Integrated Systems Digital Network), Indonesia dengan sendirinya mempunyai keperluan untuk mengadopsi sistem telekomunikasi digital pula. Soalnya, bila sistem yang dipakai tidak kompatibel untuk melakukan telekomunikasi global, jasa yang tersedia itu akhirnya akan menjadi timpang. Ini dapat dilakukan Indonesia tanpa melakukan transisi besar-besaran. Pilihan teknologi digital ini juga dengan memperhitungkan bahwa tak ada ketergantungan baru yang akan terjadi. Digital memberi kemungkinan jangka panjang yang lebih luas bagi jasa telekomunikasi global. Pilihan itu tidak berarti bahwa sistem yang sekarang masih dipakai akan menjadi tak terpakai dan harus diganti. Pengalaman di PTT Negeri Belanda menunjukkan bahwa sistem elektromekanik tetap dapat digunakan seiring dengan sistem digital. Modul penyambung (switching modules) dalam sistem itu berfungsi sebagai interface yang mengubah sinyal analog menjadi digital. Di pusat penyambungan PTT Amsterdam, misalnya, baru separuh dari sambungan telepon memakai sistem digital. Separuhnya lagi masih memakai sistem elektromekanik. Direncanakan dalam waktu sepuluh tahun ini semuanya sudah menjadi digital. Beroperasi sebelah-menyebelah, memang tampak sekali perbedaan nyata antara kedua sistem itu. Bila sistem elektromekanik masih ditangani dengan solder dan obeng, sistem digital cukup ditangani dengan keyboard. Pemakaian ruang pun menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Sistem elektromekanik memerlukan kabel-kabel yang berseliweran ke sana ke mari. Sedangkan sistem digital hanya memakai keping-keping printed circuit yang ringkas. Kebutuhan ruang untuk sistem digital hanyalah seperdelapan belas dari sistem elektromekanik. "Yang menyenangkan dari sistem 5ESS-PRX ini adalah pemeliharaannya yang sangat minim," kata Ir. H. Van Rooy di kantor PTT Amsterdam. 5ESS-PRX adalah sistem yang dibuat oleh AT&T and Philips Telecommunications B.V. Dengan demikian layanan kami kepada pemakai jasa dapat ditingkatkan." Menurut keterangan pabriknya, sistem penyambungan 5ESS-PRX ini hanya dapat rusak/macet selama dua jam dalam waktu 40 tahun . 5ESS adalah generasi kelima dari sistem penyambungan digital yang dikembangkan oleh AT&T. Philips sendiri sebenarnya tengah mengembangkan sistem penyambungan PRX/D (digital) untuk menggantikan sistem PRX/A (analog). Dengan patungan AT&T dan Philips itu lalu dlkembangkan, 5ESS-PRX yang dibuat di pabrik AT&T and Philips Telecommunications B.V. di Den Haag, Negeri Belanda. Pabrik AT&T di Oklahoma City tetap hanya memproduksi 5ESS untuk memenuhi kebutuhan pasar Amerika Serikat sendiri. Perbedaan 5ESS-PRX adalah bahwa ia telah disesuaikan dengan standar CCITT yang diperlukan untuk ISDN. Modul administrasi untuk sistem 5ESS-PRX ini ditangani oleh sebuah komputer seri 3B yang khusus dibuat oleh AT&T. Komputer seri 3B ini disesuaikan dengan kondisi pengoperasian di lapangan. "Tak perlu ditaruh dalam kamar yang pakai AC," kata Art McCarthy di pabrik AT&T di Oklahoma City. "Ia telah mengalami stress test yang berat untuk dapat tetap bekerja dalam kondisi lapangan yang terburuk tanpa memerlukan hal-hal khusus," tambah McCarthy. Standar dalam tes mereka adalah 1 kegagalan dalam tiap 10.000 upaya penyambungan telepon. Nyatanya, mereka hanya mengalami 1 kegagalan dalam 60.000 upaya penyambungan. Seorang insinyur di bagian pembuatan komputer itu bahkan melebih-lebihkan: "Sekalipun petugas di kantor penyambungan telepon mati semua, komputer ini akan terus berjalan sendiri untuk menyelenggarakan sistem telekomunikasi 5ESS." Di Den Haag yang mulai memproduksi 5ESSPRX sejak 1984, produksi dilakukan sama canggihnya dengan pabrik "induk" di Oklahoma City. Otomatisasi pabrik pun sudah dilakukan untuk mengajar persisi tinggi yang dituntut dalam pembuatannya. Sistem 5ESS-PRX adalah sentral penyambungan digital penuh yang arsitekturnya berdasarkan pengolahan dan penyambungan terdistribusi. Sistem penyambungan memakai struktur 32-kanal dan untuk pengolahannya dipakai mikroprosesor 32-bit. Konfigurasinya terdiri atas tiga elemen dasar: modul penyambungan, modul komunikasi dan modul administrasi. Modul penyambungan (switching module) adalah jantung dari sistem ini. Ia melaksanakan pengolahan sambungan, menghubungkan semua jalur eksternal, menyediakan fungsi penyambungan sirkit maupun paket serta bertindak sebagai interface bagi semua media transmisi - analog maupun digital. Sistemnya yang modular juga memungkinkan berbagai macam pengembangan: dari 100 sampai 5120 satuan sambungan permodul. Bila diperlukan, modul penyambungan inipun dapat ditempatkan pada jarak jauh (RSM=Remote Switching Modules). Modul komunikasi (communication module) adalah modul yang melakukan komunikasi antara modul-modul penyambungan. Ia dapat melakukan komunikasi suara maupun data dan melakukan fungsi pengendalian antar modul penyambungan dan modul administrasi. Modul administrasi (administrative module) melakukan fungsi pengolahan dan pengalokasian sumberdaya secara sentral. Pencatat pulsa, misalnya, dilakukan oleh modul ini. Keunggulan sistem 5ESS-PRX ini adalah penggunaan kabel serat optik untuk hubungan internal antara modul penyambungan dan modul komunikasi. Kabel serat optik ini selain lebih ringkas dan akurat, juga bersifat anti-statik sehingga tidak gentar disambar halilintar. "Sebelum memakai kabel serat optik," kata kepala riset khusus PHILAN (Philips Local Area Network), "kami pernah kehilangan separuh dari peralatan kami karena disambar petir". Di negeri yang ramai petir seperti di Indonesia, pemakaian serat optik dalam sistem pusat penyambungan telepon tentulah akan memperkecil gangguan telepon bagi para pelanggan . 5ESS-PRX, agaknya, merupakan pilihan yang memenuhi semua persyaratan bagi kebutuhan layanan telekomunikasi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus