Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Putusan-putusan murah hati

Budi setiawan dan robert sumampouw yang terlibat manipulasi sertifikat ekspor hanya ditahan rumah oleh ma. ricky susanto yang dituduh menyelundupkan barang-barang elektronik dibebaskan.(hk)

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERBEDAAN pendapat antara lembaga peradilan dan instansi penyidik atau penuntut umum, anehnya, agak sering terjadi dalam kasus korupsi dan ekonomi, khususnya perkara penyelundupan. Mahkamah Agung, misalnya, belum lama ini memberikan tahanan luar kepada dua orang terhukum perkara manipulasi Sertifikat Ekspor (SE), yaitu direktur dan karyawan PT Jagarin, Budi Setiawan Ishak dan Robert Sumampouw. Padahal, kedua orang itu sebelumnya dinyatakan peradilan bawahan bersalah memanipulasikan ekspor pakaian jadi sehingga negara dirugikan Rp 2,4 milyar. Budi dan Robert masing-masing diganjar peradilan banding dengan hukuman 6 dan 3 tahun penjara. Kecuali Mahkamah Agung, peradilan banding juga sering bermurah hati terhadap perkara-perkara penyelundupan. Pengadilan Tinggi Jakarta, misalnya, pada waktu yang sama membebaskan seorang tertuduh penyelundup barang-barang elektronik, Ricky Susanto, yang diduga merugikan negara Rp 255 juta. Vonis majelis hakim yang diketuai Nyonya Aslamiah Sulaeman itu menyebutkan bahwa barang bukti, berupa pesawat video dan barang kelontong, itu disita negara. "Itu 'kan aneh. Masa terdakwa dilepaskan barangnya disita. Putusan itu bertolak belakang," ujar seorang jaksa yang menangani kasus itu. Pihak kejaksaan kecewa. Ketua majelis hakim agung yang menangani kasus Jagarin, Palti Radja Siregar, sekurangnya sampai bulan ini sudah dua kali mengeluarkan ketetapan terdakwa hanya dikenai tahanan rumah. Yang lebih mengkhawatirkan pihak kejaksaan lagi, bila sampai awal Juli mendatang perkara manipulasi SE itu belum juga mendapat keputusan, kedua terhukum banding itu akan lepas dari tahanan demi hukum. "Semuanya itu 'kan kemauan peradilan tertinggi, kami tidak berwenang mengomentari," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara Santoso Wiwoho. Budi dan Robert dituduh Jaksa T.M. Siahaan mengelabui negara, sekitar 1982 sampai 1983, dengan 100 kali memanipulasikan fasilitas SE. Caranya, PT Jagarin mengekspor pakaian jadi yang bahan bakunya berasal dari luar negeri, tapi seakan-akan memakai bahan baku dalam negeri. Akibatnya, negara memberikan perangsang ekspor yang jumlahnya mencapai Rp 2,5 milyar. Selain memalsukan dokumen-dokumen tentang bahan baku tadi, kata jaksa, Budi dan Robert - pada waktu yang sama - juga memasukkan pakaian jadi luar negeri dengan label lengkap made in Indonesia. Kepada Bea Cukai, mereka melaporkan barang jadi itu sebagai bahan baku. Belakangan barang itu pula yang mereka ekspor untuk mendapat SE. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Soeharto, 1985, menganggap Budi dan Robert bersalah. Karena itu, Budi divonis 12 tahun penjara dan Robert kena 11 tahun. Tapi vonis itu belakangan diperingan peradilan banding menjadi 6 dan 3 tahun penjara. Mahkamah Agung, yang kini menangani kasus itu, belum mengeluarkan putusannya - kecuali penetapan agar terdakwa ditahan luar itu. Pengacara Budi dan Robert, Yan Apul Girsang, menganggap status tahanan rumah kliennya itu sebagai hal yang wajar saja. "Budi itu sakit, di kepalanya ada tumor, sesuai dengan keterangan dokter Rumah Sakit Polri Kramat Jati," kata Yan. Lalu Robert? Robert sendiri menyatakan tidak tahu-menahu soal proses tahanan rumahnya. Sebab, semua, katanya, diurus majikannya, Budi. "Saya memang sakit dan habis operasi gondok," kata Robert. Berbeda dengan Budi dan Robert, yang masih tahanan rumah, Ricky Susanto justru mendapat vonis bebas dari peradilan banding. Ricky semula dituduh jaksa bersama Lie Neng Hoat, masih buron, menyelundupkan barang-barang elektronik melalui pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Barang-barang yang sebenarnya datang dari Singapura itu, kata Jaksa, oleh kedua orang itu dokumennya disulap seolah-olah dari Pulau Sambu, Riau. Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tuduhan jaksa itu diyakini hakim, sehingga Ricky divonis dua tahun penjara. Tapi peradilan banding berpendapat lain. Dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, April lalu, hakim banding berkeyakinan bahwa Ricky tidak terbukti bersalah. Menurut majelis, Ricky hanya terbukti membantu Lie Beng Hoat mencarikan gudang untuk menumpuk barang-barang itu, dan tidak terlibat waktu penyelundupan dilakukan. "Menurut ilmu pengetahuan hukum, perbuatan membantu hanya dapat dilakukan sebelum dan selama kejahatan dilakukan," begitu bunyi putusan majelis. Dan, menurut majelis, sesuai dengan yurisprudensi, kejahatan penyelundupan telah berakhir begitu barang melewati pos penjagaan pabean yang terakhir. Seorang anggota majelis, yang tidak bersedia menyebutkan namanya, menganggap jaksa keliru menuduh Ricky menyelundup. "Jika jaksa menuduh Ricky sebagai penadah, kami akan menghukumnya," ujar hakim banding itu. Tapi kenapa barang buktinya dirampas? "Barang-barang itu jelas hasil selundupan. Kami rampas karena, sampai kini, pelakunya belum tertangkap. Kalau Lie Beng Hoat tertangkap, barangnya akan diperhitungkan dalam perkaranya," ujar hakim itu lagi. Skenario hakim itu tidak bisa diterima kejaksaan. Pada memori bandingnya, awal bulan ini, Jaksa Adenan Kasian menganggap hakim salah menerapkan hukum. Kecuali itu jaksa juga tidak sependapat dengan yurisprudensi yang dipakai hakim untuk membebaskan Ricky. "Yurisprudensi itu menyangkut penyelundupan ekspor, sementara kasus Ricky penyelundupan impor," tulis Adenan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan hakim tidak hanya terjadi dalam kasus-kasus penyelundupan sekarang ini. Dalam perkara penyelundupan hasil "Tim 902", sekitar 1976-1980, belasan terdakwa perkara yang sebelumnya divonis sebagai kasus subversi dan korupsi di peradilan bawahan dibebaskan peradilan banding atau kasasi. Dari segi itu memang tak ada yang baru. Tapi selalu menarik untuk diamati. Karni Ilyas, Laporan Eko Yuswanto & Agus Basri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus