BERTUMPU pada senapan Ruger Ranch 222, Mathieu menengok ke bawah. Di padang rumput yang luas itu kawanan kerbau liar berlarian menjauhkan diri dari helikopter yang mendekat. Tampaknya mereka ketakutan oleh suara pesawat. Lalu heli terbang di atas pohonan di atas hutan sejauh beberapa kilometer lagi. Monyet-monyet menyeringai ketakutan, mencari perlindungan. Di arah belakang helikoper terbang asap hitam menutup langit. Ada yang membakar padang rumput, asap abu-abu menggelembung naik. Tentulah itu ulah para pemburu gelap. Selama beberapa hari jerami kering akan tetap membara. Angin yang bertiup akan menyebarkan api ke kawasan puluhan kilometer persegi. Inilah cara pemburu gelap menggiring binatang buruan mereka. Sebab, setelah api padam, dengan mudah mereka menemukan jejak binatang. Di tanah yang hangus jejak kawanan gajah begitu jelas bagaikan tercetak pada kertas putih. Tiba-tiba Mathieu menunjuk sesuatu ke bawah. Ia mengatakan sesuatu. Tapi suara mesin Puma yang berisik menelan kata-kata anak muda itu. Angin bertiup masuk lewat jendela heli, para penumpang terpaksa memicingkan mata. Dan kemudian terlihatlah ini. Lewat kaca depan kokpit tampak sekelompok gajah. Ya, ratusan gajah. Seekor gajah jantan kecil begitu ribut mengikuti gajah-gajah betina yang berlarian mendengar suara heli. Dan ketika kawanan itu bergerak serentak, debu membubung ke udara. Betapa menakjubkan pemandangan ini. Berbaris memanjang gajah-gajah itu lari berliku-liku di antara pepohonan dalam gerakan yang luwes. Itulah laporan perjalanan wartawan Gamma, Patrick Forestier belum lama ini. Ia mengunjungi hutan cagar alam Republik Afrika Tengah. Dan di situlah Forestier bertemu seorang Tarzan. Seorang anak muda dengan tubuh gagah, yang tampaknya lebih bisa akrab dengan hewan-hewan liar daripada manusia. Memang, ini Tarzan modern, bercelana dan berbaju, bukannya bercawat kulit macan tutul. Tapi ia memang benar-benar Tarzan, hampir mirip Tarzan di komik-komik atau dalam film: siap melakukan apa saja untuk menyelamatkan kehidupan satwa liar. Lihat saja. Heli yang terbang lebih cepat melewati gajah-gajah itu membuat Mathieu bisa memantau sesuatu. Tiba-tiba terlihat seekor gajah tua berdiri pada kaki belakangnya, menegakkan telinganya yang lebar, seperti hendak melawan benda berisik yang terbang di atasnya. Mathieu minta pilot agar menghentikan pesawat. Tak sesuatu pun sebenarnya yang terjadi pada kawanan gajah itu. Tapi mereka tampak bergerak kacau balau, kadang-kadang berhenti, lalu berlarian lagi mengubah arah. Akibatnya, anak-anak gajah tampak susah payah mengikuti gerak induknya. Dan itulah, Mathieu rupanya khawatir anak-anak itu akan tertinggal jauh. Sebab, bila itu terjadi, gajah-gajah kecil itu akan dengan mudah menjadi mangsa singa. Maka, heli pun perlahan-lahan menjauh dari kawanan gajah, agar mereka tak terburu-buru lagi. Sementara itu, Mathieu, dengan matanya yang terlatih mengawasi hutan, jangan-jangan pemburu gelap berkeliaran mengejar gajah. Anak muda ini akan dengan mudah menemukan pemburu gelap yang berlindung di balik-balik pohon, atau yang sedang merangkak mengintai buruan di antara padang ilalang. "Di sekitar kawanan gajah, biasanya pemburu gelap berkeliaran," gerutunya. Mathieu Laboureur, anak muda 20 tahun, itulah si Tarzan. Kedua orangtuanya, orang Prancis, Jean dan Claudine Laboureur, dikontrak pemerintah Republik Afrika Tengah menjaga hutan cagar alam di negeri itu, sejak 1960-an. Tepatnya sejak Mathieu belum bisa berjalan. "Anak itu baru berumur 33 hari, 20 tahun yang lalu, ketika kami mulai tinggal di hutan," tutur Claudine, ibunya. "Ia tumbuh di antara binatang-binatang liar, dan beberapa tahun kemudian ia pun menjadi Tarzan, Tarzan yang sebenarnya, dan benar-benar mirip Tarzan di dalam film." Memang, Mathieu tak mengalami kisah sebagaimana nasib Tarzan ciptaan pengarang Inggris, Edgar Rice Burroughs, yang dipublikasikan pertama kali pada 1912. Kedua orangtuanya tak mengalami musibah, hingga Mathieu, misalnya, tak perlu diasuh oleh keluarga gorila. Toh, ia tumbuh berkawan dengan Pambo, seekor macan kumbang, Josephine, seekor babi hutan Afrika yang bertaring melengkung. Dan di tengah hutan, bagaimana ibu Mathieu memberi susu anaknya? Seekor kerbau liar ditangkap oleh Jean, dan dari kerbau itulah ibu Mathieu mendapatkan susu. Si kerbau kemudian diberi nama Toto. Pada umur 13 tahun, tutur Claudine pula, Mathieu tumbuh menjadi seorang anak hutan dalam arti sebenarnya. Lebih dari bapaknya, anak itu tahu benar liku-liku, tingkah laku, dan rahasia hutan seisinya. Benar, tak ada cerita bagaimana Mathieu bergulat dengan buaya. Atau bagaimana ia menyelamatkan ibunya, misalnya, dari terkaman seekor singa. Juga, tak ada kisah-kisah pertarungan dengan penduduk asli. Musuh Mathieu, juga menjadi musuh ayahnya, adalah para pemburu gelap. Tiap hari Tarzan Mathieu mempertaruhkan nyawanya guna menyelamatkan satwa dari buruan gerombolan pemburu gelap yang tak mengenal belas itu, kata Claudine. Ibu ini merasa lebih tenteram bila Mathieu hanya sedang melacak kawanan gajah, atau kerbau. Tapi bila anak muda itu menemukan jejak pemburu liar dan kemudian berusaha mengusir atau menangkapnya ketika itulah Claudine selalu cemas. "Saya lebih mempercayai binatang liar daripada gerombolan tak punya belas kasihan itu," begitu Claudine. Lebih dari bapaknya, si Tarzan Mathieu memang sangat mencintai hutan seisinya. Ia melindungi satwa liar di cagar alam itu dengan semangat melindungi sesama makhluk, daripada karena tugas. Ia memang telah merasa menjadi bagian dari hutan. Menyusupnya seorang pemburu gelap adalah juga ancaman bagi hidupnya. Sudah sejak remaja, Mathieu menyatakan perang terhadap orang-orang bersenjata yang menembaki gajah, kerbau, bahkan badak dengan tak semena-mena. Dan perang itu tampaknya serius. Di tubuh Mathieu beberapa bekas luka membuktikan keseriusan ancaman pemburu gelap. Ia beberapa kali terpukul dalam perkelahian dengan para pemburu gelap. Pernah suatu kali, cerita anak muda itu, ia terkena tembakan di bahunya. Si penembak kemudian meninggalkan Mathieu begitu saja, mengira anak muda itu tewas. Tapi tidak. Mathieu sadar dari pingsannya, kemudian dengan naluri seekor macan ia bangkit merangkak mengejar si penembak. Tubuhnya memang telah tergembleng oleh ganasnya hutan. Dan kecintaannya terhadap dunia liar menjadikan hutan pun melindunginya. Orang yang telah mengenal inci demi inci anatomi hutan ini dengan mudah menyelinap hilang dari pandangan orang yang dikejarnya. Sebaliknya, ia dengan amat mudah menemukan jejak si pemburu gelap. Akhirnya dengan wajah benci, orang itu menatap Mathieu ketika yang terakhir ini menjebloskannya ke penjara. Pertama kali suami istri Jean dan Claudine masuk hutan konsesinya, hutan di pinggir Sungai Kambala itu belum seperti sekarang. Tak ada landasan kapal terbang, tak ada perumahan. "Kami hanya mempunyai sebuah landrover tua, sedikit minyak tanah, dan sejumlah kecil makanan cadangan," tutur Claudine. Mereka mendirikan kemah di Sungai Kumbala. Pemerintah Republik Afrika Tengah menyerahkan kepada mereka sendiri untuk menentukan wilayah cagar alam 8.000 km2 dari hutan seluas lebih dari 18.000 km2. "Jean pergi dari pagi hingga malam, untuk mengenali wilayah hutan dan menghitung hewan-hewan. Saya sendirian dengan si kecil Mathieu. Saya selalu dalam ketakutan. Saya selalu waswas, jangan-jangan Mathieu disengat kalajengking atau digigit laba-laba beracun. Saya pun tak berani dekat-dekat sungai, karena banyak buayanya. Tiap pagi gajah-gajah datang minum ke Sungai Kumbala. Itulah pemandangan yang sangat mengasyikkan, meski sedikit menakutkan juga, umpamanya tiba-tiba mereka mengamuk dan menyerang saya dan Mathieu." Malam harinya, kata Claudine pula, untuk beberapa lama, merupakan teror sendiri. Suara-suara aneh hutan selalu membuat Claudine terbangun. Padahal, memang begitulah hutan. Begitu matahari terbenam, begitu suara-suara muncul dari padang ilalang, dari gerombolan pohon-pohon. Tak jelas suara apa itu. Erangan macan kumbang, kelepak elang malam mencari mangsa, atau jeritan monyet diterkam singa. Atau sekadar suitan ilalang ditiup angin. "Raungan singalah yang paling mendirikan bulu kuduk," cerita Claudine, yang bertemu Jean ketika ia, sebagai gadis Prancis yang banyak ingin tahu, berlibur ke Afrika. "Singa-singa yang sedang mengadakan perburuan akan meraung-raung untuk membuat antilop ketakutan. Sungguh dahsyat. Kata pepatah Afrika, orang belum mengenal ketakutan yang sebenarnya, bila ia belum mendengar raungan singa di hutan ." Pernah suatu malam terdengar raungan singa begitu dekat dengan tenda. Jean bangkit, menyambar senapan. Claudine mengikutinya dengan gemetaran. Di luar, "Saya tak melihat apa pun, tapi rasanya singa itu begitu dekat. Tiba-tiba ada bunyi kemrosak, untunglah, binatang buas itu segera pergi. Malam itu tak pernah kulupakan." Tapi pada dasarnya Claudine tentulah perempuan pemberani. Bila tidak, bagaimana ia menerima lamaran Jean, padahal sudah tahu bakal hidup di tengah hutan Afrika? Tak mengherankan bila dari ibu seperti itu lahir seorang Mathieu, yang nyaris tak mengenal takut. Seorang yang kemudian memiliki naluri bagaikan binatang liar, yang cepat mencium bahaya sebelum bahaya itu mendekat - modal pokok untuk bisa survive di belantara Afrika. Jean Laboureur menginjak Afrika pertama kali sehabis Perang Dunia II, tepatnya pada 1948. Ia bergabung dengan pasukan parasut Prancis. Tapi beberapa lama menghirup udara Brazzaville, tahulah bapak Mathieu ini bahwa dunia ketentaraan bukanlah dunianya. Lalu ia merencanakan suatu kehidupan bebas sebebas-bebasnya. Untuk mencari nafkah ia mencari lisensi guna menyuplai daging segar ke rumah-rumah makan dan ke tangsi-tangsi tentara pendudukan. Sebelum Perang Dunia II memang hanya ada empat negara Afrika yang merdeka. Daerah lainnya, bila tak diduduki Prancis, ya Inggris, atau negara Eropa lainnya. Maka, dengan sebuah Winchester, Jean menjelajah ke Likuala, daerah hutan berpaya-paya sangat luas. Berminggu-minggu ia berburu kerbau liar. Empat puluh pribumi Afrika menjadi anak buahnya. Waktu itu satu paket daging segar sebanyak satu setengah ekor kerbau, telah digarami, bernilai sekitar 800 franc. Jean beruntung, salah seorang anak buahnya dari suku Bengalis, pencari jejak yang terkenal. Suku ini, konon, tak pernah melakukan perkawinan antarsuku, guna mempertahankan bakat alam mereka itu. Kepala suku Bengalis pernah dengan bangga menyatakan, ia suatu ketika mendapat pesanan 10.000 kerbau liar guna memberi makan pekerja pemasang rel kereta api Congo Ocean. Dan ia sukses. Pada suatu hari, cerita Jean, seorang prajurit kulit hitam berkata kepadanya. "Orang kulit putih cuma berani menembak kerbau ketika kerbau-kerbau sedang berkubang. Tapi saya membunuhnya di darat, dengan sebilah beliung," prajurit itu menyombong. Dan ia tentunya pantas menepuk dada. Seekor kerbau liar jauh lebih kuat, lebih lincah daripada banteng-banteng yang dilepaskan di arena matador di Spanyol. Tanduk kerbau liar itu benar-benar bagaikan pedang sakti di tangan pendekar ulung, bila si empunya sedang marah. Laboureur, esok harinya nekat, agar tak kehilangan muka. Ditemani salah seorang di antara mereka, Jean mendekati seekor kerbau jantan besar di dekat kubangan. Lalu, dengan sekuat tenaga ia bidikkan tombaknya ke arah punuk kerbau. Si kerbau tersungkur, sekarat. Sejak saat itu orang kulit putih ini diakui di antara para pemburu kulit hitam. Ia telah membuktikan keberanian dan kekuatannya. Mereka mengangkat sumpah sebagai saudara: Jean Laboureur dan salah seorang kepala suku. Keduanya menoreh tangan masing-masing. Tetesan darah mereka ditampung dalam segelas anggur. Ketika keduanya minum anggur itulah, satu ikatan persaudaraan tak tertulis terbentuk sampai mati. Dan sejak itu Jean tak mengalami kesukaran apa pun untuk bersahabat dengan orang-orang dari benua hitam itu. Berbeda dengan para pemburu gelap yang asal tembak, Jean waktu itu, selain ia memang menyadari pentingnya memelihara kelangsungan hidup hewan buruan, juga untuk menghormati etika perburuan. Yakni kerbau betina justru harus dilindungi, tidak untuk ditembak. "Tapi saya pernah khilaf, 26 tahun yang lalu saya menembak seekor kerbau betina, dan sampai kini saya tak habis menyesal," tuturnya. Maka, bagaikan Old Shatterhand dalam kisah Winnetou-nya Karl May - orang kulit putih yang diterima di antara orang kulit merah di benua Amerika - Jean Laboureur diterima dengan tangan terbuka oleh pribumi Afrika. Namanya dibawa angin ke semua padang perburuan, ke kampung-kampung suku-suku pribumi. Mengikuti naluri bebasnya, bosan dengan satu pekerjaan, dengan gampang Jean pun ganti pekerjaan yang lain. Pernah ia ikut satu biro transportasi, yang mengangkuti kayu-kayu dari jantung Afrika itu, untuk dibawa ke pelabuhan, lalu diangkut ke Eropa. Tak kurang dari 2.000 pribumi Afrika terlibat dalam pekerjaan ini, yang tiap minggu mengangkut ratusan kubik kayu. Di sini Jean terpaksa membuktikan kesetiaannya kepada saudara-saudara hitamnya. Mereka tak bersedia bekerja bila tak disediakan daging segar. Terpaksa Jean kembali ke hutan, berburu kerbau liar. Ketika Prancis membangun jembatan Salo di atas Sungai Sanga, pemborongnya menunjuk Jean Laboureur untuk membuka navigasi dari Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah kini. Tak kurang 50 orang Afrika beserta keluarganya bergabung dengan Jean. Dan sejak itu nama Jean makin tenar. Kedatangannya akan disambut dengan pesta di kampung-kampung hitam. Bila ada perkampungan yang merasa tak berdaya diganggu seekor singa, kepala kampung akan menyebarkan berita, meminta Jean datang. Dan Jean, begitu mendengar panggilan itu, tentu akan dengan ikhlas meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu, guna memusnahkan si pengganggu . Ketika itulah, di Bangui, Jean bertemu Claudine seorang gadis dari Paris yang lagi berlibur. Beberapa bulan kemudian, Claudine telah mendampingi Jean sebagai Madame Claudine Laboureur. Waktu itu Republik Afrika Tengah telah memperingati enam tahun kemerdekaannya. Pemerintahan yang semakin teratur melihat turisme bisa menjadi sumber pemasukan negara. Ditawarkanlah kepada Jean konsesi hutan seluas 8.000 km2, dari batas Bangui melebar ke perbatasan dengan Sudan dan Chad. Si manusia bebas ini menerimanya. Tak jelas mengapa, tapi mungkin waktu itu ia telah berkeluarga. Dan yang terbayang pertama kali di kepalanya adalah sebuah cagar alam. Dan itulah yang dilakukan kedua suami-istri itu, hingga menentukan sejarah hidup anaknya, si Tarzan Mathieu, yang waktu itu baru berumur beberapa hari. Tak seterusnya konsesi itu berjalan mulus, memang. Jatuhnya Presiden David Dacko dari Republik yang merdeka dari Prancis ini rupanya mengganggu ketenangan Jean dan keluarganya. Bokassa, yang pada 1966 merebut kekuasaan, pada mulanya tak mengusik-usik hutan yang dikonsesikan kepada Jean. Tapi kemudian, di negeri beriklim tropis ini, yang mempunyai musim mirip Indonesia penghujan dan kemarau - sang penguasa berubah pikiran. Pada 1976 Bokassa mengangkat diri menjadi kaisar, dan negara seluas 620.000 km ini pun berubah nama menjadi Imperium Afrika Tengah. Sang kaisar pun lalu unjuk gigi. Pada 1977 ia usir keluarga Laboureur dari hutan konsesinya, tanpa alasan yang jelas. Jean, istri, dan anak balik ke Paris. Di kota peradaban modern justru Claudine merasa sedih. "Saya menangis hampir tiap hari," katanya. Bukan terutama karena ia merindukan suara hutan, bukan. Tapi ia sangat sedih melihat perkembangan Mathieu. Anak itu telanjur jadi Tarzan beneran. Tak apa pun menarik dia di Paris. Ia hanya mencintai keringnya padang ilalang, basahnya rawa-rawa hutan. Ia bahagia dengan raungan singa dan jeritan monyet-monyet daripada kebisingan lalu lintas kota besar. Dan Mathieu, lebih dari itu semua, kehilangan kebebasan bergerak di kota yang dijejali bangunan itu. Ia sangat merindukan hamparan padang dan luasnya langit. Sementara itu, kaisar seumur hidup Bokassa digulingkan. Bekas guru sekolah yang menjadi presiden pertama Republik Afrika Tengah, David Dacko, kembali berkuasa, 1979. Toh ia tetap dianggap tak meyakinkan. Dan pada 1981, sekali lagi sebuah kup oleh seorang jenderal berlangsung sukses. Andre Kolingba, jenderal itu, mengambil alih kekuasaan pada 1981 atas negeri berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa itu. Tampaknya ia jenderal yang kuat. Republik Afrika Tengah - nama ini dikembalikan ketika Dacko berkuasa kembali - kembali stabil. Di saat inilah, penguasa negeri mulai memikirkan pula kehidupan ekonomi. Ia teringat cagar alam sebagai obyek turisme. Maka, memanggillah kembali Laboureur sekeluarga. Tarzan pun kembali ke Sungai Kambala, kembali menemui saudara-saudaranya tercinta: Pambo si macan kumbang, Josephine si babi hutan, dan Toto yang dulu selalu memberinya susu. Tapi Laboureur kaget, menemukan hutan koneinya agak kacau. Pemburu-pemburu gelap dari Sudan dan Chad yang menyelundup masuk, senaknya membunuhi gajah untuk hanya diambil gadingnya. "Mereka membunuh gajah dengan tombak yang mereka lemparkan sambil menunggang kuda," tutur Jean, si bapak. "Lalu mereka potong gadingnya dengan kapak, dan meninggalkan bangkainya begitu saja. Selain gajah, pemburu liar itu pun membunuhi badak untuk diambil culanya." Surga Mathieu ternyata terguncang. Satwa liar terancam. Inilah awal mulanya si Tarzan menyatakan perang melawan para pemburu gading dan cula. Ulah pemburu liar bukan saja mengganggu populasi gajah dan badak. Tapi keseimbangan hutan secara keseluruhan jadi pincang. Ditinggalkannya bangkai gajah dan badak begitu saja oleh mereka membuat singa-singa pada malas berburu. Ini tampaknya membuat raja hutan itu punya waktu luang berlebih buat bercanda dengan ratu dan selir-selirnya. Maka, populasi singa meningkat. Maka, etika hutan pun bergeser. Makin banyak singa makin keras persaingan berburu mangsa antara mereka. Bila singa-singa semula tak mau, entah mengapa, menyerang gajah-gajah yang lagi sakit, kini tak peduli sehat atau sakit gajah itu pun digasak. Itu sebabnya Tarzan Mathieu selain mengawasi hutan dari pemburu gelap, ia pun sering berkelana mengikuti kawanan gajah, terutama bila di antara kelompok itu banyak terdapat anak gajah atau gajah terluka. Kawanan itu harus dijaga dan serangan singa. Mathieu tak habis mengerti mengapa manusia bisa begitu kejam. Ia, yang sejak kecil akrab dengan binatang buas, akhirnya melihat manusia ternyata bisa lebih buas daripada, misalnya, buaya. Tentu saja. Si Tarzan ini, berbeda dengan Tarzannya Edgar Rice Burroughs, tak pernah bertarung dengan buaya. Justru di masa kecilnya, menurut Claudine, ibunya, Mathieu bisa tenang berenang di samping buaya. Ajaib, memang. Dan bila ia sampai membunuh kerbau, itu sekadar kebutuhan mencari makan, atau untuk menjamu tamu sekadarnya. Bila ia menembak singa, karena naluri hutannya mengharuskan dia begitu. Entah untuk melindungi gajah, melindungi diri, atau karena singa itu sakit, dan bisa menularkan penyakit itu lebih luas lagi. Mathieu memang seorang Tarzan. Memang, seperti bisa dilihat dalam potret itu, Mathieu bukanlah Tarzan seperti dalam komik-komik, atau film Johny Weismuller. Ia sebenarnya tak begitu berotot, pun tak punya dada bidang yang fantastis. Lebih lagi, ia jarang bergelantungan di akar-akar pohon. Mathieu pun tak pernah duel dengan singa lalu, sambil mengangkangi korbannya, berteriak ke seantero hutan mengumumkan kemenangannya. Tidak. Mathieu barangkali lebih mirip Tarzan-nya sutradara Hugh Hudson dalam filmnya Greystoke: The Legend of Tarzan, Lord of the Apes. Yakni lebih terlihat menyatu dengan dan mencintai hutan daripada merajainya. Kebetulan, Christopher Lambert, pemeran Tarzan dalam film Hudson, pun orang Prancis. Perburuan liar hingga kini memang jadi masalah di sekitar 12 suaka margasatwa di Afrika. Menurut dugaan, di cagar-cagar alam itulah terkumpul separuh jumlah satwa liar di seluruh Afrika. Gangguan terhadap binatang-binatang itu, apalagi yang termasuk langka, jadinya merupakan ancaman serius. Tercatat, perburuan itu mulai meningkat dan dengan peralatan canggih, yakni mulai tahun 1900. Lebih memuncak ketika senapan mesin ditemukan, dan para syeikh dari Arab kemudian punya hobi baru di padang rumput dan hutan-hutan Afrika. Maka, tak cuma gajah yang diburu untuk diambil gadingnya. Atau badak diambil culanya - yang, konon, sisiran cula badak dan anggur menjadi obat mujarab lemah syahwat. Tapi burung unta pun ditembaki karena bulunya yang indah. Jerapah dan zebra dibantai untuk diambil kulitnya. Sementara itu, bangsa antilop jadi sasaran untuk diambil kulit dan tanduknya. Untunglah, muncul pula pecinta-pecinta alam yang cukup gigih, di samping para pemburu liar. Suaka margasatwa pun diadakan. Yang pertama Suaka Margasatwa Sabi, yang kemudian terkenal dengan nama Taman Nasional Kruger, Afrika Selatan. Hingga kini, suaka margasatwa ini terbesar dan terbaik pemeliharaannya. Tapi, memang, dari 12 taman margasatwa itu, hanya yang di Republik Afrika Tengah mempunyai seorang Tarzan: dibesarkan di lingkungan hutan, dikitari binatang-binatang buas. Ini pasalnya, di Republik Afrika Tengahlah kini perang terhadap pemburu liar paling keras. Mathieu tidak cuma cerdik, tapi juga bisa ganas. Ditungguinya pemburu-pemburu itu keluar dari gubuk-gubuk darurat mereka. Setelah mereka pergi agak jauh, dibakarnyalah gubuk-gubuk itu. Asap yang membubung akan membuat panik para pemburu itu, antara meneruskan perburuannya atau kembali ke gubuk menyelamatkan perlengkapan yang ditinggalkan. Sementara itu, di sekitar gubuk terbakar sudah siap Mathieu dan pembantu-pembantunya, komplet dengan borgol. Mathieu tak akan sempat berpikir mengapa singa dan gajah, dan antilop, mesti diselamatkan. Ia hanya tak rela bila "saudara-saudara"nya itu dibantai dengan tak semena-mena. Di sebuah sudut sungai, seorang pemuda, telanjang dada, dengan senapan di tangan tiarap dengan sabar. Ia mengamati gajah-gajah yang lagi minum. Matanya dengan awas melacak ke sekitar. Bukan gajah yang dia cari benar, tapi beberapa sosok tubuh berkaki dua, yang mengendap-endap dengan senapan, siap membidik yang lagi minum. Perang Mathieu kapan usainya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini