Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas seringkali luput dari perhatian, padahal mereka merupakan salah satu kelompok paling rentan. Berdasarkan data Komnas Perempuan 2023, terdapat 105 kasus kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas sepanjang tahun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus-kasus tersebut melibatkan penyandang disabilitas mental (40 kasus), sensorik (33 kasus), intelektual (20 kasus), dan fisik (12 kasus). Daerah dengan jumlah kasus tertinggi adalah DI Yogyakarta (26 kasus), diikuti oleh DKI Jakarta (16 kasus) dan Jawa Barat (14 kasus). Kekerasan ini sebagian besar terjadi di ranah personal (20 kasus), ranah komunitas (16 kasus), dan ranah negara (2 kasus).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data dari WHO pada 2021 juga mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas memiliki risiko tiga kali lebih tinggi mengalami kekerasan seksual dibandingkan non-disabilitas. Masih banyak tantangan lain seperti kurangnya akses informasi tentang kesehatan reproduksi serta minimnya pendidikan berbasis inklusi di sekolah maupun komunitas.
Tantangan ini semakin diperparah oleh stigma sosial yang melekat, yang sering kali menganggap perempuan penyandang disabilitas tidak memiliki kebutuhan atau hak seksual, dan yang lebih parah lagi, tidak mungkin menjadi korban kekerasan, sehingga banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena adanya ketidak percayaan pihak otoritas dari adanya stigma sosial ini.
Meski Indonesia telah memiliki regulasi seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, implementasi di lapangan masih jauh dari memadai. Fasilitas publik seperti kantor polisi, rumah sakit, dan pengadilan belum sepenuhnya ramah disabilitas. Aparat penegak hukum juga sering kali tidak memahami kebutuhan khusus korban penyandang disabilitas, sehingga proses pencarian keadilan menjadi lebih sulit.
Dok YGSI
Karena itu, pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang lebih terfokus, seperti menetapkan standar layanan kesehatan reproduksi yang inklusif dan mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Selain itu, peningkatan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sensitivitas aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus yang melibatkan korban disabilitas harus dioptimalkan.
Perlu juga diingat bahwa perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi ganda, sebagai perempuan dan sebagai individu dengan disabilitas. Perspektif interseksional ini menjadi kunci dalam memahami akar permasalahan dan merancang solusi yang lebih holistik.
Salah satu inisiatif upaya penanggulangan kekerasan untuk penyandang disabilitas yang dapat menjadi model adalah kerjasama strategis antara Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kolaborasi ini berfokus pada pengembangan dan integrasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) ke dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Khusus dalam perkuliahan. Program ini tidak hanya menjadikan UPI sebagai pionir di Asia Tenggara, tetapi juga menciptakan dampak nyata bagi para penyandang disabilitas.
Selama setahun terakhir, program ini melibatkan 30 dosen Fakultas Ilmu Pendidikan, 164 mahasiswa, 9 Sekolah Luar Biasa (SLB), dan 73 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dari berbagai kategori disabilitas. Anak-anak ini, termasuk mereka yang tunanetra, tunarungu, tunagrahita, hingga Autism Spectrum Disorder (ASD), telah merasakan manfaat langsung dari pendekatan pendidikan yang lebih inklusif. Hasil nyata dari program ini adalah pembentukan Pusat Studi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di UPI, yang menjadi rujukan riset berbasis bukti untuk pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Untuk mempercepat perubahan, teknologi dapat menjadi alat yang efektif. Pengembangan aplikasi pelaporan kekerasan berbasis inklusi, misalnya, akan memudahkan perempuan penyandang disabilitas melaporkan kasus mereka tanpa hambatan fisik maupun komunikasi. Selain itu, edukasi berbasis komunitas perlu diperkuat. Keluarga dan lingkungan sekitar perempuan penyandang disabilitas harus dibekali pengetahuan untuk mengurangi stigma dan mendukung korban secara lebih proaktif.
PKRS merupakan pendidikan yang sangat penting dan mendasar, terutama bagi anak-anak dan remaja yang memiliki kebutuhan khusus. Melalui pendidikan ini, tidak hanya memberikan pengetahuan yang dibutuhkan oleh siswa, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih percaya diri dan berdaya.
Karena itu, integrasi PKRS ke dalam kurikulum perguruan tinggi menjadi krusial, untuk membentuk calon guru yang kompeten dalam membantu siswa penyandang disabilitas memahami tubuh mereka, menetapkan batasan, dan membuat persetujuan yang dapat melindungi diri mereka. Hal ini membutuhkan dukungan semua pihak.
Dok. YGSI
Menggandeng UPI, YSGI juga telah mengembangkan buku ‘Mengelola Perkuliahan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) untuk Kampus yang Memiliki Jurusan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus’ yang dapat digunakan sebagai panduan bagi para pengambil kebijakan di perguruan tinggi untuk menerapkan PKRS ke dalam perkuliahan, serta bagi para pendidik dalam mengajarkan PKRS kepada para penyandang disabilitas.
Perlindungan perempuan penyandang disabilitas juga memerlukan dukungan kuat dari sektor swasta melalui kampanye nasional seperti "Keadilan untuk Semua Perempuan, Tanpa Kecuali". Kampanye ini dapat meningkatkan kesadaran publik, memobilisasi sumber daya, dan menghapus stigma yang menghalangi hak mereka. Kolaborasi dengan media dan platform digital juga mampu menjangkau masyarakat luas, menciptakan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya lingkungan yang inklusif.
Sektor swasta juga dapat mendukung riset, pengembangan kurikulum, dan program pelatihan inklusif untuk pendidikan dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Kolaborasi lintas sektor ini menjadi kunci percepatan terciptanya kebijakan dan fasilitas yang menjamin keadilan bagi semua perempuan, tanpa kecuali.
Perlindungan perempuan penyandang disabilitas memerlukan langkah nyata yang dapat diterapkan secara sistematis. Salah satu prioritas utama adalah membangun fasilitas publik yang ramah disabilitas di semua layanan, termasuk rumah sakit, kantor polisi, dan pengadilan. Selain itu, pemerintah perlu memperluas jangkauan program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) ke lebih banyak universitas dan komunitas. Langkah ini tidak hanya membantu membangun kesadaran di tingkat lokal tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi perempuan penyandang disabilitas.
Tidak kalah penting, pelatihan khusus bagi aparat hukum tentang perspektif disabilitas harus menjadi prioritas. Pelatihan ini dapat mencakup pemahaman tentang cara berkomunikasi dengan korban disabilitas, pendekatan yang sensitif, dan penerapan regulasi yang berpihak pada korban. Dengan mengintegrasikan langkah-langkah ini, diharapkan tercipta sistem yang tidak hanya melindungi hak-hak perempuan penyandang disabilitas tetapi juga memberikan mereka rasa aman dan keadilan yang setara.
“Kita tidak dapat berbicara tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan tanpa memasukkan perspektif disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas berhak atas perlindungan yang setara dan akses keadilan tanpa diskriminasi,” ujar Direktur Yayasan Gemilang Sehat Indonesia, Ely Sawitri.
Dengan kolaborasi lintas sektor, komitmen pemerintah, dan partisipasi aktif masyarakat, Indonesia dapat mewujudkan lingkungan yang lebih aman, inklusif, dan adil bagi semua. Kekerasan bukan hanya persoalan individu, tetapi juga cerminan nilai sebuah bangsa. (*)