Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI pundak koyak dan kaki patah, ingatan Rasyid Harun tak pernah cacat. Lelaki 25 tahun warga Kota Gaza itu ingat betul bagaimana ia menggendong kedua adiknya, Sami dan Noora, berlari menghindari bom Israel. Tapi satu ledakan gedung di belakang mereka membuat ketiganya terserak.
Harun kini terkulai di Rumah Sakit Al-Arish, Mesir, 50 kilometer dari perbatasan Rafah—lebih dari seratus kilometer dari rumahnya. Ia dirawat bersama sebelas warga Gaza lain di Al-Arish, kota terdekat Rafah.
Bagaimana dengan Sami, bocah lelaki tujuh tahun, dan Noora, balita mungil yang cantik itu? ”Maafkan saya Sami, maafkan saya Noora,” Harun bergumam ketika dikunjungi Tempo di Rumah Sakit Al-Arish, Kamis siang pekan lalu. Matanya sembab.
Harun menuturkan, ayah dan ibu mereka tewas pada hari ketiga serangan Israel, 29 Desember. Harun dan adiknya kemudian menempati lantai dua satu apartemen sederhana di Kota Gaza. Tapi, baru beberapa hari mereka tinggal di situ, satu ledakan menggelegar di luar gedung. Harun segera membopong Sami dan Noora yang berteriak histeris.
Ia ingat, tangannya masih sempat menyambar boneka kesayangan Noora. ”Itu boneka pemberian Ibu dua tahun lalu,” ujarnya. Tapi sial, ketiganya terpeleset dari tangga lantai dua rumahnya. Dengan terpincang-pincang, Harun meneruskan lari ke luar gedung.
Seorang lelaki menawarkan diri menggendong Sami. Ia menyerahkan adik lelakinya itu. Harun dengan Noora, yang memegang erat bonekanya, berlari di depan. Sami dan lelaki itu menyusul di belakang.
Sebuah bom tiba-tiba meledak. Sami dan lelaki itu terpental: keduanya tewas. ”Saya tahu Sami telah syahid, tapi saya harus menggendongnya untuk menenangkan tangis Noora,” ujarnya lirih.
Mereka terus berlari. Tapi, tak jauh dari situ, gedung lantai tujuh milik Haji Ismail, pedagang gandum tetangganya, kembali dibom Israel.
Harun, Noora, dan Sami pun terpisah. Harun dengan luka menganga baru tersadar setelah dilarikan menyeberangi perbatasan Gaza-Mesir. ”Kalian pasti berjumpa Ayah dan Ibu di surga,” ujar Harun menyebut nama Sami dan Noora, dengan mata menerawang.
BERSAMA sebelas warga Gaza lain, Harun dirawat intensif. Mereka menempati dua ruangan. Masing-masing dengan penderitaannya: dari patah tulang, luka bakar, hingga luka terkena pecahan bom di kepala.
”Mereka ini pasien operan dari rumah sakit As-Syifa di Gaza, yang tak lagi sanggup menanganinya,” kata dokter Wail Muhsin, 43 tahun. Pasien-pasien itu dibawa dari Gaza menggunakan beberapa ambulans hingga mencapai perbatasan Rafah.
Polisi-polisi Palestina, yang memenuhi perbatasan, kemudian memindahkan korban ke mobil-mobil ambulans yang telah berderet menunggu, milik beberapa rumah sakit di Kota Al-Arish dan Ismailiya. Al-Arish, yang terletak di timur Mesir, misalnya, memiliki dua rumah sakit besar: Rumah Sakit Al-Arish dan Mubarak.
Al-Arish berpenduduk sekitar satu juta jiwa. Ambulans-ambulans dari dua rumah sakit itu menempuh perjalanan hanya setengah jam untuk menjemput pasien di perbatasan. ”Beberapa hari ini saya sudah mengangkut lima korban,” ujar Ahmad Ied Abdul Malik, 28 tahun, sopir ambulans.
Malik bercerita, sebagian pasien yang ia bawa sudah dalam kondisi sekarat. Ia juga mendapati seorang bocah yang kehilangan keluarganya di dalam ambulans yang ia kendarai. ”Keluar dari ambulans, ia terus memanggil saya, ’Abi… Abi…’,” tutur Malik. Sang bocah, rupanya, menganggap Malik ayahnya.
Bila pasien yang dirawat meninggal, kata dokter Muhsin, rumah sakit akan mengembalikan jenazah pasien ke Gaza untuk dimakamkan di kota asalnya. Ketika Tempo berada di gerbang perbatasan, Rabu pekan lalu, sebuah ambulans yang membawa jenazah dari sebuah rumah sakit di Mesir tampak antre memasuki Rafah.
Orang-orang di sekeliling ambulans berucap ”Albaqa Lillah”—ucapan jika ada orang meninggal. Orang Indonesia lazim mengucapkannya ”innalillahi wa inna ilaihi rojiun”.
Di dalam ambulans tampak sesosok mayat yang telah dikafani. Seorang relawan Jam’iyah Syariyah Mesir yang mengantar jenazah mengatakan, setiap hari ada saja jenazah yang dikembalikan ke Gaza.
”Setiap hari tiga sampai lima orang yang seperti ini,” katanya. Dua pekan lalu, ada 29 korban yang melewati perbatasan. Separuhnya kembali sudah dalam kondisi tewas.
Rupanya, bukan cuma pasien meninggal yang kembali ke Palestina. Kendati tak diwajibkan pulang, semua pasien di Rumah Sakit Al-Arish yang telah pulih memutuskan pulang kampung. ”Mereka kembali ke Palestina untuk meneruskan perjuangan,” kata dokter Muhsin.
Sejak perang meletus, Rumah Sakit Al-Arish memutuskan menambah ranjang di unit gawat darurat mereka. Dari semula cuma sembilan ranjang, mereka menambah hingga 35 ranjang. Tapi tetap saja jumlah korban yang dirawat di situ jauh lebih sedikit dari jumlah tempat tidur dan dokter.
Dokter dari beberapa negara Arab telah berkumpul di rumah sakit itu. Ditambah dokter lokal, jumlahnya mencapai lebih dari 30 orang. Belum termasuk puluhan dokter yang tiap hari nongkrong di perbatasan menunggu izin masuk Gaza. ”Kami justru membatasi jumlah dokter,” kata Muhsin. ”Jika kebanyakan, kami khawatir semrawut.”
Muhsin menunjukkan ruang belakang rumah sakit, tempat berkumpul dokter dari berbagai negara. Mereka tampak sabar menunggu. Jika rumah sakit memerlukan keahlian tertentu, dokter ahli yang sudah stand by itu dipanggil.
Di rumah sakit mana pun, pasien lazimnya menunggu kehadiran dokter. Tapi, kata Muhsin sembari tersenyum, ”Di sini, dokter antre menunggu pasien.”
Seorang dokter kemudian mendekati Harun, memeriksa luka pada pundaknya. Harun berkali-kali mengucapkan terima kasih kepadanya. ”Anda saudara kami,” katanya berulang-ulang.
Harun bercerita, rumah sakit di Kota Gaza sudah sangat kewalahan menangani pasien. Jumlah dokter, paramedis, dan obat-obatan sangat terbatas. ”Rumah sakit di Gaza sudah bukan lagi rumah penyembuhan, melainkan rumah untuk menyabung nyawa.”
JIKA Harun begitu pilu menceritakan perpisahannya dengan dua adiknya, tak demikian dengan Nada Ahmad Kamil. Siang itu, ibu 43 tahun ini dengan bangga menceritakan kematian tiga anak lelakinya. ”Bagi kami, syahid itu hadiah,” katanya.
Ia punya tiga anak lelaki: Muhammad, Abbas, dan Ibrahim. Ketiganya tewas dalam satu pengeboman tak jauh dari kamp pengungsi di Kota Gaza. Nada dan putri bungsunya terluka dan diangkut ambulans ke perbatasan Rafah.
Nada Kamil bercerita, tiga anaknya itu pernah ikut dalam perang intifadah kedua pada 2000. Suami Nada tewas dalam perang itu. ”Anak-anak saya sudah mengenal perang sejak usia lima tahun.”
Sang ayah, kata Nada, pernah mengajak tiga anaknya itu bertempur melawan pasukan Israel. Anak-anak di Gaza memang sudah biasa bertempur tanpa senjata menghadapi tank-tank baja Israel. ”Masyarakat Palestina adalah benteng Gaza,” ia menggebu-gebu.
Nada bercerita, kali ini korban sipil di Gaza memang banyak. Tapi itu bukan berarti Israel sudah menang. ”Kami merasakan sakit sekarang,” katanya. ”Tapi, lihatlah nanti: kalian akan merasakannya juga.”
Yos Rizal, Akbar Pribadi Brahmana Aji (Rafah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo