Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengalahkan waktu. Ini yang dikerjakan Maryam Daud Abo To’iyah di depan gerbang perbatasan Rafah, yang memisahkan Gaza dan Mesir. Nenek 70 tahun ini tak peduli ia harus menunggu berapa lama untuk bisa menyeberang ke Gaza. Bisa sejam, lima jam, sehari, atau bahkan berhari-hari. Ia menyediakan kesabaran yang tak berbatas.
Kamis pekan lalu, warga Kota Gaza itu sudah antre beberapa jam. Belum ada tanda-tanda pintu gerbang akan dibuka. Sehari sebelumnya, puluhan warga Gaza yang ingin pulang ke kampung halamannya bahkan harus balik badan: kembali ke Al-Arish, Mesir, kota terdekat dari perbatasan Rafah. Pesawat Israel bertubi-tubi menjatuhkan bom, hanya 200 meter dari pintu perbatasan.
”Tak boleh ada yang pulang dalam keadaan terbunuh,” seorang polisi Mesir yang menjaga gerbang pertama perbatasan berteriak. Di belakang gerbang itu masih ada dua gerbang lagi yang dijaga polisi Mesir dan Palestina.
Maryam tak beranjak, kendati helikopter Apache milik Israel melesat di atas kepalanya. Telah 15 hari ia menunggu di Mesir. Ini saatnya untuk pulang menemui suami dan anaknya. ”Saya kangen,” ucapnya kepada Tempo, yang menemuinya di mulut perbatasan, Kamis pekan lalu.
Maryam mengaku baru pulang menunaikan ibadah haji. Ketika ia berangkat, Kota Gaza masih sentosa. Kini Gaza porak-poranda. Hingga Jumat pekan lalu, hari ke-21 sejak Israel menggempur Jalur Gaza, 1.335 orang tewas dan 5.500 orang terluka. Sebagian besar korban penduduk sipil, 500 lebih di antaranya anak-anak. Sebanyak US$ 420 ribu atau sekitar Rp 4,7 miliar per hari ludes dalam perang ini.
Dan Maryam tak tahu apakah suaminya, Mansur al-Ghazali, 75 tahun, dan anak perempuannya, Zahra Mansur, 25 tahun, masih hidup. Tugas seorang istri dan ibu, kata Maryam, ”Mendampingi suami dan anak, dalam kondisi apa pun.” Ia menambahkan, ”Bagi kebanyakan rakyat Palestina, hidup bukanlah segalanya dan mati bukan pula akhir dari perjalanan.”
Tekad untuk tetap ”berada di kancah pertempuran” inilah, kata Maryam, yang membuat 1,5 juta warga Gaza sulit ditaklukkan Israel. Telah tiga pekan pasukan Israel menusuk Gaza, tapi mereka belum benar-benar menundukkan Kota Gaza.
Dokter Wail Muhsin dari Rumah Sakit Al-Arish menceritakan bagaimana warga Gaza yang telah pulih dari luka memilih pulang kampung ketimbang tetap berada di Mesir. ”Mereka ternyata kembali ke Palestina untuk meneruskan perjuangan,” kata Muhsin.
”Laki-laki Palestina, entah anggota Hamas atau bukan, memiliki prinsip menolak mati hina tanpa perlawanan,” ujar Maryam.
Inilah agaknya yang antara lain membuat Hamas begitu alot menerima kesepakatan gencatan senjata hingga kini. ”Kami lebih memilih seluruh Gaza hancur ketimbang menerima syarat-syarat Israel,” seru Kepala Biro Politik Hamas di Damaskus, Suriah, Khalid Misya’al, dalam pembukaan konferensi tingkat tinggi soal agresi militer Israel ke Gaza di Ibu Kota Doha, Qatar, pekan lalu.
Konferensi yang dihadiri 13 kepala negara dari 22 anggota Liga Arab itu bertepatan dengan pertemuan serupa di Kuwait. Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas, yang disokong Mesir dan Arab Saudi, tak hadir di Qatar. Sedangkan Qatar dan Suriah mendukung perjuangan Hamas. Dua pertemuan itu menunjukkan Liga Arab terpecah. ”Situasi Arab dalam kekacauan besar,” ujar Sekretaris Umum Liga Arab Amir Musa.
Misya’al rupanya gerah dengan persyaratan Israel yang menginginkan gencatan senjata: selamanya tak ada lagi roket Hamas yang mengarah ke Israel, serta Mesir dan Palestina secara permanen menghentikan penyelundupan di perbatasan Rafah. Menteri Luar Negeri Tzipi Livni bahkan telah terbang ke Washington, Amerika Serikat, untuk meneken perjanjian antipenyelundupan senjata di Gaza dengan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice.
Hamas sebaliknya mengajukan empat syarat: penghentian agresi, penarikan pasukan Israel dari seluruh Jalur Gaza, pencabutan blokade dengan jaminan hal itu tidak akan terjadi lagi, serta penyerahan pengawasan perbatasan Rafah kepada Mesir dan Palestina.
Pernyataan Misya’al itu dinilai telah mementahkan perundingan Hamas-Israel yang tengah berlangsung di Kairo. Juru runding Israel, Amos Gilad, semula sebenarnya ogah terbang ke Kairo, tapi Kamis pekan lalu ia tiba-tiba sudah berada di ibu kota Mesir itu. Ia mengatakan, ”Israel mungkin saja akan mengakhiri serangan.”
Ayman Taha, juru bicara Hamas, pun telah melunak. Ia mengatakan pihaknya menginginkan Israel keluar dari Gaza dalam dua pekan dan mengakhiri pengepungan di Rafah, selatan Gaza, yang menjadi pintu penyeberangan menuju Mesir. Ia tak menyebut soal pencabutan blokade. Tapi, setelah Misya’al mengeras, Gilad pun kembali memasang kuda-kuda. Livni juga kembali mengeluarkan pernyataan, ”Hanya evaluasi tentara Israel di lapanganlah yang bisa menentukan kapan perang akan berakhir.”
Di tengah upaya perundingan yang digagas Mesir itu, Israel terus menggempur lokasi Hamas. Pernyataan resmi militer Israel menyebutkan setidaknya 40 target di sekujur Gaza telah mereka lumpuhkan. Itu termasuk terowongan tempat penyelundupan di sepanjang perbatasan Mesir, peluncur roket yang konon sudah siap ditembakkan, serta sebuah masjid yang menurut Israel menjadi pintu terowongan dan digunakan untuk menyimpan senjata.
Sebelumnya, pada Kamis pekan lalu, jet-jet tempur Israel membombardir kamp pengungsi di Jabaliya, yang menewaskan Menteri Dalam Negeri Hamas, Said Siyam. Siyam, 50 tahun, adalah pemimpin senior Hamas terakhir yang terbunuh sejak Israel membunuh Dr Abdul Aziz al-Rantissi pada 2004.
Siyam tewas bersama dua anak laki-lakinya serta dua pejabat Hamas lainnya, Saleh Abu Sharkh—direktur keamanan kementerian dalam negeri—dan pemimpin milisi Hamas setempat, Mahmud Abu Waftah.
Pada hari yang sama, Israel juga menyerang kompleks badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pengungsi Palestina (UNRWA). Tiga anggota staf PBB terluka. Dua gudang berisi ratusan ton obat dan bantuan untuk korban perang terbakar.
Penyerangan terhadap kompleks PBB ini dikecam Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert menyatakan permintaan maaf atas serangan tersebut. Namun ia berdalih serangan itu dilancarkan karena kelompok militan berada di lokasi kompleks dan melancarkan serangan kepada pasukan Israel.
Gedung UNRWA yang terletak di Jalan Gamal Abdul Nasser, Kota Gaza, itu mengurus tak kurang dari 4,6 juta pengungsi Palestina yang tersebar di Jalur Gaza, Tepi Barat, Yordania, Libanon, dan Suriah. Sebelumnya, sebuah sekolah UNRWA juga dibom Israel. Sebanyak 43 warga sipil tewas.
”Petugas kami pernah menyaksikan pemandangan yang mengerikan,” ujar Anne-Sophie Bonefeld, juru bicara Komisi Internasional Palang Merah di Palestina. ”Empat anak kecil meringkuk di dekat mayat ibu mereka yang hangus terbakar di antara reruntuhan bangunan.”
Uniknya, sikap militer Israel yang membabi-buta ternyata tak mengurangi dukungan rakyat Israel terhadap pemerintah. Jajak pendapat yang digelar media Haaretz masih menaruh angka dukungan tinggi: 70 persen responden mendukung perang.
Kelompok garis keras negeri zionis itu bahkan mengajukan gagasan gila: menjatuhkan nuklir di Gaza, sebagaimana Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Menurut mereka, hanya dengan cara itulah Hamas bisa ditumpas sampai ke anak-cucu. ”Israel tak akan aman selama Hamas berkuasa,” kata Avigdor Lieberman, pemimpin Yisrael Beitenu, partai oposisi berhaluan ultrakanan, di Tel Aviv.
Gagasan gila ini mendapat tentangan kecil dari Partai Arab dan Partai Komunis di Knesset, parlemen Israel. Di jalanan, kelompok Neturei Karta International, yang bermarkas di New York, bergabung dengan 1.500 warga Kota New York mengecam serangan itu. Organisasi ini dibentuk pada 1935 dan menghimpun sejumlah rabi Yahudi Haredi, rabi-rabi paling ortodoks yang menentang rencana Israel membentuk negara zionis.
Tapi penentangan itu hanya setitik kecil dalam politik temporer Israel. Partai besar seperti Kadima, Likud, dan Buruh seratus persen berada di belakang Perdana Menteri Ehud Olmert.
Maka pesawat-pesawat tempur Israel terus menggempur setiap sudut Jalur Gaza. Di Rafah, misalnya, Israel sepuluh kali mengebom kota dari pagi hingga malam pada Rabu pekan lalu. Ini membikin penduduk Barahma, desa kecil yang hanya berjarak 300 meter dari perbatasan Rafah, geram. ”Anak-anak kami sekarang sedang memasuki masa ujian. Israel telah mengacaukan masa depan anak-anak kami,” ujar Rasyid, warga Barahma.
Sebaliknya, bagi Maryam, pengeboman itu tak membuat dia gentar. Ia tetap berdiri di depan gerbang perbatasan menunggu waktu: pulang ke kampung halaman.
Yos Rizal, Angela Dewi (Jakarta), Akbar Pribadi Brahmana Aji (Rafah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo