Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Propaganda</B></font><BR />Kebencian Kesekian dari Belanda

Seorang anggota parlemen Belanda sedang membuat film anti-Al-Quran. Muslim di Belanda memilih diam. Kebebasan berekspresi kembali dipertanyakan.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua berasal dari sebuah surat terbuka yang isinya membuat luka: Al-Quran adalah buku fasis. Surat terbuka yang diterbitkan koran De Volkskrant pada 8 Agustus tahun lalu itu menyebut isi Al-Quran tak jauh beda dengan Mein Kampf yang ditulis Adolf Hitler dan jadi dasar peristiwa Holocaust.

Geert Wilders, penulis surat itu, kemudian menganjurkan agar seluruh muslim di Belanda sebaiknya merobek separuh dari Al-Quran jika ingin tetap tinggal di negeri tulip itu. Reaksi keras pun berdatangan dari sejumlah negara muslim seperti Tunisia, Maroko, dan Arab Saudi.

Merasa mendapat sambutan ”hangat”, Wilders yang juga anggota parlemen Belanda makin bersemangat. Akhir tahun lalu ia mengumumkan, ”Saya sedang membuat film tentang kebobrokan Al-Quran. Judulnya Fitna.” Dan Wilders makin ngelunjak. Apalagi setelah mendapat gelar politikus tahun ini dari stasiun radio NOS, Belanda. Fitna jadi blockbuster sebelum dirilis.

Eropa pun gelisah. Termasuk Menteri Luar Negeri Slovenia, Dimitrij Rupel, yang saat ini bertanggung jawab terhadap urusan luar negeri Uni Eropa di Brussels. Ia, kata ketua delegasi Parlemen Uni Eropa dari Partai Sosialis Belanda, Erik Meijer, meminta Uni Eropa meredam keributan agar tak menimbulkan gerakan perlawanan dari warga muslim se-Eropa.

Pemerintah Belanda juga memberikan peringatan kepada kantor kedutaannya di negara muslim. Reaksi keras sudah terdengar dari Pakistan dan Mesir. Dikhawatirkan masih akan banyak lagi demonstrasi menyusul rencana penayangan Fitna di sebuah situs video online.

Meijer menganggap tindakan Wilders hanyalah gerakan propaganda untuk mencari perhatian dan mungkin posisi politik lebih tinggi. Soal Fitna, Meijer menekankan bahwa ada dua hal yang harus digarisbawahi: pertama, atas nama kebebasan berekspresi, dan kedua sebagai karya provokasi.

Belanda sebagai penganut kebebasan berekspresi dalam konteks demokrasi memang membebaskan siapa saja beropini dan berargumen. Tapi kemudian, kata pria yang duduk di parlemen Eropa sejak 1999 ini, ”Fitna juga karya provokasi, dan tentu saja ini tak bisa dibenarkan.” Maka, kredo kebebasan berekspresi pun kembali jadi topik hangat di Belanda. Masalahnya kemudian, ”Tak ada seorang pun yang pernah menonton film itu. Saya bahkan ragu kalau film itu benar-benar ada,” kata Meijer. Keraguan Meijer cukup beralasan. Wilders sesumbar film itu siap tayang pada Januari lalu, tapi hingga kini tak jelas juntrungannya.

Wilders menawarkan film itu ke berbagai stasiun televisi yang—kemudian—semuanya menolak menyiarkan film tersebut. Menurut Wilders, stasiun TV bukannya menolak, tapi karena memang filmnya belum jadi. ”Saya mengerti, tentu saja saya harus menyelesaikan film itu dulu sebelum mereka memutuskan,” kata Wilders dalam situs Internetnya.

Wilders sendiri sulit disentuh. Selain karena mendapat pengawalan ketat 24 jam dengan tempat tinggal yang berpindah-pindah, Wilders juga terkenal tak suka pada wartawan. ”Ia hanya mau menerima wawancara dari wartawan Amerika, Israel, dan Rusia,” kata Madelon Stokman, wartawan senior dari Nederlandse Islamitische Omroep, stasiun radio dan TV yang khusus menyiarkan kegiatan dan aktivitas muslim.

Menurut Stokman, sampai saat ini sulit bagi siapa saja, termasuk pemerintah dan masyarakat muslim di Belanda, untuk menetapkan langkah lebih lanjut. ”Yang bisa dilakukan sekarang menunggu dan melihat bagaimana jadinya film itu,” kata Stokman.

Masyarakat muslim di Belanda cenderung memilih untuk mengabaikan pernyataan Wilders hingga film itu diputar. Ada juga kelompok muslim di Belanda yang memakai jalur hukum untuk menyikapi film yang belum selesai itu. ”Kata-kata dan provokasi Wilders sudah bisa dikategorikan diskriminasi yang memang diatur dalam hukum,” kata Stokman.

Menurut Stokman, kebebasan berekspresi kini semakin limbung. Ia sendiri tak percaya apa yang dilakukan oleh Wilders atas nama kebebasan berekspresi. ”Selalu ada batas yang tipis antara kebebasan berekspresi dan mengumbar kebencian,” kata Stokman. Jika tak ada perubahan, pada 22 Maret mendatang, di Amsterdam akan ada demonstrasi besar dengan tema ”pro tolerant, against discrimination”.

Demonstrasi ini diharapkan bisa meredam amarah sekaligus mengingatkan agar peristiwa Wilders tak perlu jadi besar seperti pendahulunya, Theo van Gogh. Setiap orang di Belanda tak akan lupa pada peristiwa Van Gogh. Pada 2004, masyarakat muslim Belanda sempat panas terhadap film karya Theo van Gogh berjudul Submission, yang skenarionya ditulis oleh Ayaan Hirsi-Ali, mantan anggota parlemen Belanda yang dipecat karena memalsukan identitas.

Menyusul ricuh film tersebut, Van Gogh kemudian terbunuh pada suatu pagi pada November 2004 di tangan Mohammed Bouyeri dari kelompok muslim ekstrem Belanda yang menamakan diri Hofstad Network. Pembunuhan Van Gogh mengejutkan semua pihak, termasuk masyarakat muslim Belanda. Mereka menganggap, jika memang Submission dibuat untuk mengkritik Islam, Van Gogh dan Ayaan Hirsi-Ali tak cukup cerdas menyampaikan pesannya. ”Submission tak lebih dari film murahan berisi ’curhat’ seorang perempuan yang sesumbar menyebut nama Allah SWT,” kata Ali Nasr Joaman, anggota remaja masjid di Den Haag yang pernah menonton film tersebut.

Tak sedikit pula yang menertawakan film itu. Di film, misalnya, sang wanita terlihat menutup seluruh tubuhnya dan memakai cadar hitam. Tapi penutup tubuhnya transparan. ”Si wanita yang berpakaian seperti itu tentu saja akan mengundang nafsu semua laki-laki,” kata Joaman. Menurut Joaman, mungkin saja film Wilders jauh lebih bodoh dari Submission.

Organisasi muslim terbesar di Belanda, Contactorgaan Moslims en Overheid (The Contact Body for Muslims and Government, CMO), memilih menenangkan massanya. Kepada Tempo, Abu Bakar Oztura, salah seorang juru bicara CMO, mengatakan, sebagai warga negara Belanda, mereka menghargai hukum. Setiap orang bebas mengemukakan pendapat dan mengatakan apa yang mereka pikirkan. ”Yang bisa kami lakukan adalah mencoba meyakinkan warga muslim bahwa tak ada yang bisa menyakiti Islam,” kata Oztura.

Pria keturunan Turki ini bercerita, Geert Wilders hanyalah satu dari sekian banyak cobaan. Eropa sudah menerbitkan begitu banyak buku anti-Islam, anti-Al-Quran. Terhitung setidaknya ada lebih dari 100 film yang dibuat khusus untuk menghina Islam. ”Tapi itu semua tak menghentikan saya untuk menjadi muslim,” kata pria berumur 54 tahun ini.

Generasi keempat keturunan Turki di Belanda ini juga mengatakan, Islam masih menjadi agama rakyat dan masih ada setelah berabad-abad. ”Film 10 menit tak akan mengubah apa-apa dalam Islam. Jalan terbaik menanggapinya adalah diam dan terus menjalani kehidupan sehari-hari sebagai muslim yang baik,” kata Oztura.

Asmayani Kusrini (Den Hag)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus