Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Salah Maksud, Keris Dicabut

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu sungguh menegangkan bagi United Malays National Organization (UMNO) dan Barisan Nasional. Pada sekian pemilu sebelumnya, acara penghitungan suara di markas besar partai itu, Gedung Putra World Trade Center, Kuala Lumpur, selalu ramai oleh para pejabat partai. Sabtu malam dua pekan lalu, keriuhan tersebut tidak terjadi. Di aula besar Gedung Putra hanya sedikit kursi terisi. Itu pun wartawan dari beragam media. Di layar monitor besar, data real time hasil pemilu ke-12 tengah ditayangkan.

Suasana genting kian terasa saat suara oposisi melambung. Beberapa menteri Barisan yang bertanding dalam pemilu itu kalah. Misalnya Samy Vellu, Ketua Umum Malaysia Indian Congress (MIC). Selama 30 tahun, dia menjabat Menteri Pekerjaan Umum dalam pemerintahan Barisan. Kini Samy harus lengser.

Meski masih di atas angin, Barisan Nasional gagal menjadi ”mayoritas tunggal” alias meraup dua pertiga total suara. Mereka hanya melampaui simple majority: 140 dari 222 kursi parlemen. Barisan jelas terpukul. Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi menyadari koalisi itu harus rajin berkaca. ”Ini isyarat yang harus diberi perhatian,” ujar Abdullah Badawi setelah memimpin rapat Barisan.

Kesalahan, kata Badawi, tak sepenuhnya ada pada pundak UMNO. Beberapa partai komponen, seperti Malaysian Chinese Association (MCA) dan MIC, menyumbang kemerosotan suara koalisi. UMNO sendiri mengumpulkan 79 suara. Sisanya diberikan 14 partai yang bergabung dalam Barisan. ”Ada partai yang kurang melayani pendukungnya,” ujar Badawi.

Meski begitu, Barisan mengaku siap melakukan otokritik. Penyebab kekalahan pun segera ditelisik. Agar obyektif, pengurus UMNO dan Barisan sepakat membentuk badan ”post-mortem”. Tugasnya menganalisis semua laporan kinerja partai pada masa pemilu dan sebelumnya.

Mengapa Barisan begitu merosot? ”Kami kalah dalam perang cyber,” ujar Dato’ Sri Abdul Azim Mohd. Zabidi. Bendahara Agung UMNO itu mengutip diskusi internal mereka. Rupanya, banyak pemilih muda memantau Internet, mencari alternatif informasi. Beragam blog muncul dan mengupas kebijakan Barisan secara kritis. Sumber berita semacam situs Malaysiakini.com adalah media alternatif yang punya peran membingkai pikiran pemilih.

Para pemilih baru berpaling ke media alternatif karena media massa di kerajaan itu—baik televisi maupun media cetak—semua berafiliasi dengan Barisan. ”Misalnya, The Star dekat dengan MCA. New Straits Times sejak dulu menjadi wadah Perdana Menteri,” ujar Eddin Khoo, intelektual muda dan penulis Malaysia.

Penyebab lain, kata Dato’ Azim, adalah gagalnya Barisan mengelola kasus aksi warga India. Sekitar 20 ribu orang India memprotes marginalisasi mereka dalam lapangan sosial dan ekonomi, November lalu. Itu puncak dari berbagai kasus yang mengiris hati mereka. Awalnya, mereka memprotes ke Kedutaan Inggris, meminta semacam ”pampasan” atas dosa Kerajaan Inggris membawa kaum India ke Malaya. ”Tapi pemerintah salah urus. Mereka malah ditangkap dan ditahan pakai Internal Security Act,” ujar Eddin. Kepercayaan warga India pun rontok.

Soal lain adalah arogansi sejumlah pengurus. ”UMNO amat arogan,” ujar Zaid Ibrahim. Dia anggota UMNO dan bekas anggota parlemen Kota Baru, Kelantan. Menurut Zaid, patronase dalam partai Melayu—yang telah berkuasa lebih dari setengah abad—itu terlalu kuat. Akibatnya, kreativitas mati. Pikiran politik UMNO, kata Zaid, jadi tumpul.

Yang paling konyol, misalnya, aksi sejumlah kader muda UMNO. Maksud hati mau berlagak patriotis, yang terkesan justru keangkuhan. Pada kongres UMNO, November 2006, Ketua Pemuda UMNO Hishamuddin Hussein mencabut keris, lalu menciumnya. ”UMNO akan mengorbankan jiwa serta siap mandi darah mempertahankan agama dan ras,” ujarnya. Seorang anggota delegasi lain menimpali, ”Hak Melayu tak boleh ditentang. Kalau tidak, akan terjadi amuk seperti 13 Mei 1969,” ujarnya. Semua adegan itu ditayangkan media massa. Warga non-Melayu pun merekamnya dalam ingatan.

”Mereka selalu menghidupkan hantu ’13 Mei’,” ujar Kua Kia Soong, Direktur Suaram, lembaga hak asasi manusia. Kua baru saja meluncurkan bukunya, May 13, yang mengupas soal kerusuhan rasial di Malaysia pada 1969. Sejarah itu, kata Kua, tak pernah dibicarakan tuntas. Bahkan tak ada niat membuat rekonsiliasi nasional terkait dengan kerusuhan yang sejarahnya masih dibuat gelap itu. Tanpa usaha itu, kata Kua, ketegangan etnik tak pernah usai.

Nezar Patria (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus