Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pakistan</B></font><BR />Demi Melucuti Musuh Bersama

Partai anti-Musharraf sepakat membentuk pemerintah koalisi. Misi mereka melucuti kekuasaan presiden.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan di kaki Pegunungan Himalaya, Bhurban, itu berjalan mulus, Ahad dua pekan lalu. Dua partai yang dulu bersaing sengit kini menyatukan barisan melawan musuh bersama: Presiden Pervez Musharraf.

Asif Ali Zardari, Ketua Pelaksana Partai Rakyat Pakistan (PPP), dan Nawaz Sharif, pemimpin partai Liga Muslim Pakistan-N (PML-N), sepakat membentuk pemerintah koalisi untuk menendang Musharraf dari kursi presiden. ”Ini mandat rakyat: Musharraf harus mundur,” ujar Asif, yang menduda karena istrinya, Benazir Bhutto, tewas dibunuh Desember lalu.

Semula, Nawaz Sharif ngotot tak akan masuk kabinet jika Musharraf masih menjabat presiden. Nawaz melumer setelah diyakinkan bahwa satu-satunya jalan untuk memakzulkan sang Presiden adalah bergabung dalam kabinet.

Sebagai pemenang pemilu, PPP meraup 120 kursi di parlemen, sedangkan PML-N meraih 90 kursi. Sebaliknya, partai pendukung Musharraf, PML-Q, cuma mendapat 51 kursi. Kekuatan PML-Q ini tak mungkin membendung niat koalisi mendepak Musharraf dengan amunisi dua pertiga suara di parlemen.

Asif dan Nawaz sepakat kursi perdana menteri di tangan PPP—diduga akan diduduki Asif Ali Zardari atau Makhdoom Amin—dan 50 persen pengisi pos kementerian berasal dari PPP. Selebihnya dari PML-N dan dua partai kecil anti-Musharraf yang diundang bergabung agar koalisi cukup kuat memakzulkan Musharraf, yakni Partai Nasionalis Awami dan partai Islam Jamiat-e-Ulema-e-Islami.

Apa reaksi Musharraf? Ia siap bekerja dengan pemerintah baru, tapi menolak mundur. ”Tuntutan mereka (oposisi) berlebihan. Presiden Musharraf telah dipilih untuk lima tahun,” ujar juru bicara Musharraf, Tariq Azim. Musharraf terpilih kembali sebagai presiden oleh parlemen lawas pada 6 Oktober 2007. Bagi oposisi, kekuasaan Musharraf sekarang ilegal.

Koalisi pun menyiapkan senjata lain untuk mengamankan gerakan mereka: memulihkan jabatan hakim agung. Pemulihan itu akan dilakukan 30 hari setelah pemerintah baru terbentuk lewat resolusi parlemen. Musharraf memecat tujuh hakim agung, termasuk Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Mohammed Chaudhry, saat ia memberlakukan keadaan darurat pada 3 November tahun lalu.

Persekutuan PPP dan PML-N sebenarnya sudah tertuang dalam ”Piagam untuk Demokrasi” yang diteken mendiang Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif pada 2006, saat keduanya masih dalam pembuangan. Piagam itu bertujuan mengembalikan pemerintahan sipil yang demokratis di Pakistan.

PPP dan PML-N juga bertekad melucuti hak prerogatif presiden untuk membubarkan parlemen. Kekuasaan menunjuk komandan militer pun akan dialihkan ke tangan perdana menteri. Dengan demikian, bekas jenderal yang telanjur mencopot seragamnya itu bakal hanya menjadi seorang presiden dengan sederet tugas seremonial.

Namun kubu Musharraf tak tinggal diam. Mereka membujuk PPP agar memutus koalisi dengan PML-N dan, sebaliknya, menjalin koalisi dengan PML-Q. Cara ini pernah berhasil ketika Benazir Bhutto tahun lalu setuju berbagi kekuasaan dengan Musharraf sehingga kekuatan oposisi terbelah. Barisan oposisi menuduh Benazir mengkhianati demokrasi.

Bagi Asif, bersekutu dengan Nawaz Sharif sebenarnya bukan tak berisiko. Hakim agung yang dipecat Musharraf itu bisa menganulir amnesti yang diterima Asif dari Musharraf atas tuduhan korupsi saat istrinya menjabat perdana menteri. ”Asif Zardari seperti memenggal kakinya sendiri,” ujar Ikram Sehgal, analis politik.

Amerika dan Inggris pun berusaha menekan Asif agar tak memulihkan jabatan bekas Ketua Mahkamah Agung Iftikhar, karena ia dinilai pernah mengambil keputusan hukum yang bertentangan dengan kepentingan Amerika dalam perang melawan terorisme. Amerika khawatir, jika Musharraf terlempar dari orbit kekuasaan, itu akan melemahkan perang melawan terorisme. ”Amerika lebih peduli pada Musharraf dan perang melawan terorisme ketimbang pengadilan yang independen,” kata Tariq Mahmood, bekas ketua asosiasi hakim agung.

Raihul Fadjri (Dawn, The Nation, BBC, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus