Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MICHELLE Obama menyambut keluarga militer pada hari pertama acara ramah-tamah Natal di Gedung Putih dua pekan lalu. Gedung Putih didandani cantik dengan warna-warna hijau, merah, emas, dan perak. Ketika memasuki ruangan, mata pengunjung tak mungkin melewatkan 37 pohon Natal dari cemara asli yang tersebar di tiap ruangan beserta replika Bo, anjing kesayangan keluarga berwarna hitam kriwil. Pernak-pernik dan ornamen Natal menggantung di ranting-ranting cemara. Lampu-lampu yang melilit tubuh cemara mengerling.
Pada salah satu pohon Natal, medali dan lencana militer bergelayut di ranting-rantingnya. Puluhan kartu ucapan terselip di antara ranting dan dedaunan. Hari itu keluarga Obama mengundang keluarga tentara dan veteran untuk menghias seluruh cemara dan ruangan Gedung Putih. Ruangan pun riuh dengan tawa canda anak-anak berpakaian serba merah.
Mengenakan baju terusan berwarna hitam, Michelle menyampaikan kata sambutannya. "Saya berterima kasih kepada semua prajurit, veteran, dan keluarga militer yang jadi inspirasi Amerika," kata Nyonya Obama.
Gegap-gempita perayaan Natal dilanjutkan dengan acara Presiden Barack Obama menyalakan lampu pohon Natal raksasa yang tegak di Taman Kepresidenan. Acara meriah ini disiarkan langsung di Internet. Obama seolah-olah melupakan serangan Partai Republik gara-gara ia merestui rencana pajak pohon Natal sebesar 15 sen untuk pelestarian dan promosi pohon cemara asli, yang dianggap menjadi simbol perayaan Natal di Amerika Serikat.
Ceritanya, pada 9 Desember lalu, Departemen Pertanian mengumumkan pungutan 15 sen untuk setiap pembelian pohon Natal dari cemara asli. Hitungannya, jika 15 sen dikenakan atas tiga pohon cemara yang terjual, bisa terkumpul duit sekitar US$ 2 juta. Dana ini akan dipakai untuk promosi, penelitian, evaluasi, dan informasi demi memperkuat posisi pohon Natal dari cemara asli di pasar, yang kalah pamor dengan pohon imitasi.
Niat Obama menyelamatkan simbol perayaan Natal Negara Abang Sam ini bertepuk sebelah tangan. Tak sampai sehari setelah pengumuman, Partai Republik langsung mengeluarkan pernyataan menentang. David Addington, anggota staf Wakil Presiden Dick Cheney, berkomentar nyinyir di situs The Heritage Foundation. "Perekonomian nyaris tidak tumbuh dan sembilan persen orang Amerika penganggur. Apa cuma pajak pohon Natal yang bisa dikerjakan Presiden Obama?"
Addington menyebutkan industri pohon Natal telah tiga kali membuat program semacam ini, tapi dalam bentuk sumbangan sukarela. Setelah tiga tahun berjalan, pendapatan menurun hingga pada titik program itu dinilai tidak efektif. Dengan kata lain, meski gagal berkali-kali, program semacam ini dipaksa jalan. "Apakah karena ini pemerintah lantas menjadikannya kewajiban?" ujar Addington.
Dunia jejaring sosial seperti Twitter pun melabeli Obama sebagai "anti-Kristen" dan "anti-perayaan Natal" gara-gara mengeluarkan aturan itu. Penolakan ini akhirnya membuat Gedung Putih mengeluarkan pernyataan resmi menunda implementasinya. Michael Jarvis, juru bicara Departemen Pertanian yang mengumumkan penundaan aturan, mencoba menjernihkan situasi. "Kami menundanya agar ada waktu untuk mensosialisasi tujuan dan pelaksanaannya kepada konsumen dan pemangku kepentingan," katanya tanpa menyebut jangka waktu penundaan.
Pajak pohon Natal berawal dari permintaan The National Christmas Tree Association alias Asosiasi Pengusaha Pohon Natal untuk menyelamatkan industri pohon Natal. Sejak 2008, mereka melobi pemerintah Bush karena pertumbuhannya yang makin turun. Menurut data Departemen Pertanian Amerika, pada 2002 populasi pohon cemara 21.904 buah, tapi pada 2007 angkanya menciut jadi 12.255 buah—kalah bersaing dengan pohon Natal imitasi dan imbas krisis ekonomi.
Asosiasi ini pernah membuat program donasi untuk promosi pasar. Pada 2004, seribu orang menyumbangkan lebih dari US$ 900 ribu. Pada 2007, jumlah donasi melorot menjadi US$ 400 ribu. Erosi pendanaan otomatis mempengaruhi pemasaran. Tak ayal, cemara Natal gagal menembus pasar.
Sejak itulah petani kelas menengah dan produsen besar bergabung dan mempertimbangkan pengumpulan dana melalui aturan resmi pemerintah. Penggeraknya kebanyakan produsen dan penjual pohon Natal dari Oregon, Michigan, Wisconsin, California Utara, dan Pennsylvania, serta didukung asosiasi pohon Natal, NSTA. Kemudian, pada 2009, mereka mengajukan petisi ini kepada Departemen Pertanian.
Petisi ini mendapat perhatian Presiden Obama. Setelah petisi direstui, Departemen Pertanian mengumumkannya pada 9 Desember lalu. Usia beleid ini tak panjang gara-gara pendapat sinis Partai Republik. Itu sebabnya Gedung Putih mengumumkan pembatalan.
Partai Republik beralasan masalahnya bukan sekadar "pajak". Di balik "pajak" itu, pemerintah juga akan menolong menjual semua hasil pokok pohon yang beredar di masa Natal ini. Belum lagi kapas, madu, kayu, raspberry, kacang tanah, dan banyak lainnya. Aturan ini dianggap sebagai "hadiah" kesejahteraan perusahaan yang dibungkus dengan pita pemerintah. Oposisi yang belakangan kian gencar menyerang Obama beranggapan aturan ini hanyalah hasil lobi-lobi pengusaha.
Petani dan penjual cemara tak legawa dengan pembatalan ini. Betty Malone, petani pohon cemara dari Oregon, salah satu penggagas program, mengaku kecewa atas keputusan Obama. Ia menganggap kepentingan politik untuk menjatuhkan Obama telah menenggelamkan industri pohon Natal. "Kami sudah berusaha selama tiga setengah tahun demi hal ini," kata Malone.
Cathryn Gregory, pemilik Unicorn Hill Christmas Tree Farm di Gainesville, menolak anggapan bahwa pungutan 15 sen merupakan beban saat Amerika dilanda krisis. "Pohon Natal imitasi yang beredar di sini kebanyakan buatan Cina," ujar Gregory.
Sebelum krisis, industri pohon Natal di Florida menurun drastis dalam 20 tahun terakhir. Jumlah orang yang membeli pohon cemara asli tak berubah setiap tahun. Krisis ekonomi menyebabkan biaya operasi pertanian bertambah, sehingga sulit bagi petani untuk tetap bertahan. Petani pohon Natal ini pun hanya bisa gigit jari ketika kebijakan itu akhirnya menjadi permainan elite politik.
Nieke Indrietta (Wall Street Journal, Daily Mail, Alligator)
Perayaan di Tengah 'Badai'
PUSAT belanja di Birmingham terlihat cantik dengan hiasan lampu warna-warni dan pohon Natal. Anak-anak muda berdandan ala Santa Klaus. Ada yang tak biasa. Bull Ring, mal terbesar di Birmingham, menggoda dengan diskon-diskon sebelum perayaan Natal.
"Sekarang diskon sudah diberikan sebelum Natal karena orang lebih berhati-hati menghabiskan uang mereka," ujar Glenys Hariot, 69 tahun, pensiunan guru, yang ditemui di kawasan Bull Ring.
Ya, biasanya potongan harga besar-besaran atau boxing day di Inggris baru dimulai pada 26 Desember—hingga akhir Januari. Demi memacu penjualan, para pemilik toko mempercepat pesta diskon. Poster bertulisan "sale" terpampang di mana-mana.
Bergeser 164 kilometer dari Birmingham, pusat belanja di London juga gencar merayu konsumen dengan diskon 65 persen. Jurus ini berhasil membuat beberapa trotoar di pusat pertokoan di London, yang biasanya lengang, penuh orang berdesak-desakan. Padahal negara ini sedang dilanda krisis. Oxford Street dan High Street, misalnya. Orang mau saja berjubel pada Sabtu dan Minggu, tak peduli hawa musim dingin yang menggigit kulit.
Di Jerman, Natal masih bisa dirayakan meriah. Meski begitu, sejumlah penduduknya memilih berhemat karena krisis masih merajalela. Christoph Schmidt, 45 tahun, profesor yang bekerja di Deutsche Welle Akademie, Bonn, masih bisa merayakan Natal seperti biasa, membeli kado-kado untuk keluarganya, dan merancang perjalanan liburan tahun baru.
"Ini karena saya memiliki pekerjaan tetap," kata Schmidt seraya menambahkan bahwa karyawan yang paling terkena dampak krisis adalah para pekerja kontrak. Soalnya, ada kemungkinan masa kerja mereka tidak diperpanjang kalau perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Toh, Schmidt memutuskan berhemat. Krisis membuat ia urung beli mobil baru dan memilih menabung. "Untuk berjaga-jaga," dia melanjutkan.
Pemerintah negara-negara Eropa, seperti Spanyol, Portugal, Irlandia, dan Yunani, pun memangkas sejumlah pos anggarannya: dari dana pensiun, pelayanan umum, gaji pegawai negeri, sampai dana perayaan Natal.
Portugal dirundung resesi dengan tingkat pengangguran 12,9 persen. Pemerintah Kota Lisabon tidak main-main dalam mencukur anggaran festival Natalnya, menjadi hanya US$ 200 ribu, dari US$ 1,1 juta tahun lalu. Kebanyakan kota utama di negara Eropa yang dihantam krisis ini berdandan sederhana, walau toko-tokonya menggoda dengan potongan harga. Apa lagi kalau bukan untuk memacu libido belanja.
Nieke Indrietta (AP, Reuters), Dominggus Elcid Li (Inggris), Arti Ekawati (Jerman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo